|
JAWA
POS, 13 Mei 2013
WALAU bukan anggota atau pengurus Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), saya memiliki ikatan batin dengan partai ini. Sejumlah pendiri partai
ini (awalnya Partai Keadilan/PK) adalah guru-guru saya di Ma'had Al Ishlah
(Perguruan Islam), Pondok Aren, Tangerang, pada era 1990-an. Sebuah ma'had kecil
dengan belasan murid saja. Saya bangga, guru-guru saya yang dulu mengajar tanpa
pamrih dan sederhana kini masuk jajaran elite politik di negeri ini.
Sejak
awal PK dideklarasikan, saya menyambut dengan antusias karena saya mengenal
orang-orang di belakang partai ini. Saya ikut mempromosikan partai ini.
Sejumlah pertanyaan dilontarkan teman dan kerabat saya. Partai apa ini? Siapa
tokohnya? Dari mana dananya?
Agak sulit menjawab pertanyaan mereka. Maklum, secara umum, saat itu
partai Islam selalu identik dengan ormas Islam. Sementara PK dibangun para
aktivis yang berdakwah nyaris tanpa bendera ormas apa pun. Tokoh-tokohnya hanya
dikenal di kalangan lingkungan aktivis Islam dan simpatisannya.
Tokoh seperti Anis Matta dikenal sebagai ustad muda yang pintar berdakwah
dan piawai menulis masalah-masalah keluarga. Ustad Anis adalah penulis Kolom Ayah di majalah Ummi selama beberapa tahun. Salim Segaf Al
Jufri dikenal sebagai ulama pendidik bergelar doktor. Sama dengan Hidayat Nur
Wahid.
Walau tak paham betul tentang sumber dana PK, saya pernah memiliki kartu
sumbangan untuk partai ini. Sejumlah simpatisan dengan sukarela menyumbang
harta, tenaga, dan pikiran demi perjuangan suci partai ini.
Saya pernah berkunjung ke salah satu kantor partai ini di rumah sederhana
milik simpatisan. Mobil sederhana partai itu juga sumbangan simpatisan. Bahkan,
kakak kelas saya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) rela melepas status
PNS demi menjadi pengurus PK. Padahal, saat itu banyak orang yang memandang
sebelah mata partai ini. Mereka yakin, lewat PK, idealisme mereka dapat
diperjuangkan.
Dalam Pemilu 1999, PK tertinggal jika dibandingkan dengan partai lain
yang berbasis massa Islam, seperti PPP, PKB, PAN, bahkan PBB. Kemudian, saat
Presiden PK Nur Mahmudi Ismail menjadi menteri kehutanan kabinet Gus Dur,
gebrakan terjadi. Nur Mahmudi yang didampingi Sekjen Kementerian Kehutanan
Soeripto berhasil membongkar sejumlah kasus korupsi besar. Salah satunya, kasus
dana reboisasi yang memenjarakan Bob Hasan, orang dekat mantan Presiden
Soeharto.
Dalam Pemilu 2004, PK yang berubah nama menjadi PKS melejit. Banyak yang
jatuh simpati karena PKS dinilai bersih dan peduli. Keberhasilan PKS bertambah
karena masuk koalisi pengusung SBY-JK yang menang Pilpres 2004. Kursi-kursi
empuk kekuasaan pun mulai ditempati para kader partai ini. Pemilu 2009, PKS
juga sukses.
Kader-kader PKS tak perlu lagi berkantor di gang. Tak perlu memakai mobil
pinjaman. Guru-guru saya di ma'had pun tampil di televisi berdebat dengan
politisi kawakan dari partai lain. Dengan gaya dan penampilan yang sebanding.
Guru saya di ma'had memasang ribuan baliho karena ikut
bertarung dalam pilkada. Partai Keadilan Sejahtera pun menjelma menjadi partai
yang benar-benar sejahtera.
Seiring dengan banyaknya kekuasaan yang direngkuh kader PKS, bisik-bisik
negatif bermunculan. Saat berkumpul dengan teman-teman pengusaha atau pimpinan
proyek, ada keluhan para kader PKS berani meminta "imbalan" untuk
membantu memenangkan proyek atau memuluskan perizinan.
Saya tak percaya. Saya membela partai ini. Saya membeberkan sejumlah
fakta tentang kader PKS yang tak silau oleh gemerlap dunia.
Namun, terkuaknya satu per satu fakta tentang kasus suap daging sapi yang
menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) membuat saya mulai ragu.
Penyitaan sejumlah mobil mewah dan pengenaan pasal pencucian uang terhadap LHI
membuat saya berpikir, jangan-jangan kader PKS mulai tak mampu melawan godaan
harta dan kekuasaan.
Jalan berliku juga pernah saya alami. Pernah mendaki dengan idealisme
yang tertanam dari kampus. Pernah di atas dan akhirnya terjungkal dalam kasus
mafia pajak. Saya pun masuk penjara karenanya.
Peristiwa yang saya alami, dan guncangan pada PKS, membuat saya rindu
pada masa lalu. Masa ketika saya dan guru-guru Ma'had Al Ishlah duduk bersama
dalam ruang kelas sederhana dengan penerangan ala kadarnya. Berdiskusi tentang
banyak hal yang terjadi di negeri ini. Tanpa terlintas kelak kami menjadi apa.
Saya juga rindu kala PKS masih menjadi Partai Keadilan tanpa kata sejahtera.
Sebuah partai kecil dengan sedikit kekuasaan, dikenal bersih dan peduli, serta
kesederhanaan hidup para tokohnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar