|
KOMPAS,
13 Mei 2013
Drama
En Attendant Godot alias Menunggu
Godot karya Samuel Beckett, sastrawan Irlandia, diakui sebagai karya besar,
walaupun karya tulis itu pertama kali hanya dicetak 400 eksemplar oleh sebuah
penerbit kecil.
Tujuh
belas tahun setelah bukunya terbit, Beckett mendapat penghargaan Hadiah Nobel
bidang sastra. Lewat karyanya ia dinilai mampu mengungkapkan secara indah
alegori karakter manusia dalam diri Gogo dan Didi, si tuan tanah Pozzo dan
budaknya Lucky. Keduanya berbeda cara pandang tentang masalah hidup
masing-masing dan berbeda visi tentang cara mengatasi masalah tadi.
Namun,
yang menarik, manusia yang saling berbeda itu sama-sama berharap pada Godot
untuk mengeluarkan mereka dari ketidakberdayaan dan keputusasaan. Ternyata
sampai akhir cerita, Godot tidak kunjung datang.
Menunggu
UU ASN
Drama
Menunggu Godot dapat menjadi alegori tentang upaya Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan pembangunan aparatur negara melalui reformasi birokrasi, yang
intinya adalah 4,7 juta pegawai negeri sipil. Seluruh anak bangsa berharap,
melalui upaya tersebut akan terbangun aparatur negara yang berkekuatan dan
berkemampuan tingkat dunia untuk merealisasikan tujuan nasional, yaitu bangsa
Indonesia yang mandiri, adil, dan makmur. Pada Maret 2011, pimpinan DPR
berkirim surat kepada Presiden SBY, menyampaikan keputusan Sidang Paripurna DPR
berupa suatu rancangan undang-undang tentang aparatur sipil negara (ASN).
Sebagai
kerangka hukum bagi sistem manajemen sumber daya aparatur negara, RUU ASN
mengandung pemikiran yang sangat reformis. Untuk pertama kalinya sejak
kemerdekaan RI, semua jabatan dalam aparatur sipil negara dinyatakan sebagai
profesi bernama aparatur sipil negara. Ini sepadan dengan rekannya sesama
aparatur negara, yaitu TNI dan Polri.
Sebagaimana
laiknya setiap profesi, profesi ASN—termasuk subprofesi di dalamnya—memiliki
norma dasar yang menjadi acuan bagi anggotanya sebagai pemegang jabatan publik.
Juga memiliki code of conducts yang
memedomani perilaku setiap anggotanya.
RUU
ASN juga menetapkan jabatan pimpinan karier yang pegawainya merupakan pegawai
ASN tingkat pusat. Pemegang jabatan pimpinan karier adalah kader pimpinan
nasional ASN. RUU ASN juga mengusulkan pendirian Komisi Aparatur Sipil Negara
untuk menjamin penerapan prinsip merit dalam perekrutan, pengangkatan,
penempatan, dan promosi pegawai di dalam administrasi pemerintahan nasional dan
daerah.
Untuk
memperbaiki kesejahteraan sosial pegawai aparatur negara, RUU ASN juga
mengusulkan penataan sistem penggajian dan penerapan sistem pensiun iuran pasti
bagi pegawai ASN. Dengan perubahan-perubahan ini, diharapkan dalam 5-10 tahun
akan terbangun aparatur sipil Indonesia yang memiliki kekuatan dan kemampuan
yang cukup tangguh untuk mendukung politik Indonesia yang semakin demokratis
dan ekonomi nasional yang mengalami pertumbuhan jangka panjang yang
mengesankan.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, 5,5-6 persen, selama lebih dari satu
dekade telah diakui berbagai pihak. Pengakuan itu dapat kita baca dalam terbitan
Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, McKinsey, ataupun dalam tulisan Indonesianis
dari Australian National University.
Semua laporan tersebut secara meyakinkan menunjukkan bahwa ”Indonesia is Rising” sehingga memiliki potensi untuk menjadi
ekonomi ketujuh dunia sebelum negeri ini berusia seabad.
Human Development Report 2013 yang
diluncurkan UNDP di Jakarta, Maret lalu, menyimpulkan, Indonesia termasuk dalam
barisan 18 kelompok negara Selatan yang memiliki pertumbuhan di atas rerata 49
negara Selatan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.
Indonesia akan mampu mengejar tiga negara juara dari Selatan, yaitu China,
India, dan Brasil, kalau ke depan Indonesia menerapkan strategi developmental state, memiliki
kepemimpinan nasional yang lebih visioner, pemerintahan yang lebih efektif
untuk mengoordinasi perencanaan pembangunan pada hampir 600 satuan
pemerintahan, serta kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan pembangunan
sumber daya manusia dan pemerataan hasil pembangunan.
Sayang
sekali Godot bernama UU ASN itu tak kunjung datang walaupun seluruh
bangsa—terutama 4,7 juta pegawai aparatur negara—sudah lebih dari tiga tahun
menunggu dengan harap-harap cemas. Hampir dua setengah tahun Wakil Presiden
Boediono selaku Ketua Komite Pengarah Program Reformasi Birokrasi bekerja keras
menyiasati perbedaan pandangan di antara kementerian-kementerian yang resisten
terhadap perubahan manajemen SDM aparatur negara yang, antara lain, bertujuan
mengeliminasi praktik jual-beli formasi PNS dan jual-beli jabatan pemimpin
dalam pemerintahan di daerah.
Menunggu
keputusan SBY
Resistensi
pada perubahan tersebut sangat kuat dan sangat merepotkan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara sebagai pouvoir executive
dalam bidang aparatur negara dan reformasi birokrasi. Dalam drama Beckett, sang
menteri diwujudkan dalam diri Pozzo si tuan tanah karena di beberapa
kementerian ada oknum-oknum pejabat yang lebih mengutamakan kepentingan jangka
pendek, bukan kepentingan jangka panjang bangsa. Jadi, ibarat Dodo dalam drama
Beckett yang berpikir keras untuk mengatasi persoalan jangka pendeknya,
melepaskan sepatu sempit dari kakinya, para pemimpin kementerian yang resisten
tetap bergeming pada sikapnya.
Apakah
Godot akan muncul dalam bentuk persetujuan Presiden atas daftar inventarisasi
masalah pemerintah tentang RUU ASN yang sudah ada di meja beliau? Atau, seperti
klimaks drama Beckett, Godot akhirnya tidak muncul? Kalau keputusan Presiden
tentang RUU ASN bersemangat nothing to be done seperti tak munculnya Godot
dalam drama Beckett, Presiden masa bakti 2015-2019 yang akan dikenang bangsa legacy-nya, yaitu UU ASN yang sudah lama
ditunggu kehadirannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar