Rabu, 08 Mei 2013

BBM Bersubsidi, Kompensasi dan Dilema Pemerintah


BBM Bersubsidi, Kompensasi dan Dilema Pemerintah
Abdul Hakim MS Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 07 Mei 2013
  

Rencana pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) benar-benar menjadi dilema sulit bagi pemerintah. Disatu sisi, jika tak segera dicarikan solusi, beban subsidi terhadap BBM terus mengancam stabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara jika dinaikkan, efek dominonya akan berdampak luar biasa terhadap kehidupan masyarakat luas.

Dilema pemerintah itu bisa dilihat dari berkali-kali ditundanya rencana kenaikan. Seperti saat rapat kabinet yang diselenggarakan di Istana Cipanas, Bogor pada 13-14 April 2013 lalu, yang agendanya akan menaikkan harga BBM, akhirnya gagal menuai keputusan akibat sulitnya langkah yang aan dipilih pemerintah.

Di tengah rundungan dilema yang ada, pemerintah sempat mewacananakan akan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan skema dua harga (dual price), yakni menjual BBM bersubsidi di SPBU dengan dua ongkos yang berbeda. Bagi mobil berplat hitam, biaya yang dipatok antara Rp 6.500 - 7.000 per liter. Sementara untuk sepeda motor dan angkutan umum tetap pada harga semula, yakni Rp 4.500 per liter.

Wacana ini sempat menjadi polemik selama beberapa minggu terakhir. Namun belakangan, rencana skema dua harga (dual price) kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi urung dilakukan. Hal itu mengacu pada sulitnya pelaksanaan teknis dilapangan. Saat ini, pemerintah pun lebih memilih opsi menaikkan harga BBM bersubsidi dengan skema satu harga saja, yakni naik tak melebihi Rp 6.500.

Sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2013, kenaikan harga BBM bersubsidi ini tidak bisa dihindarkan lagi dan merupakan solusi terakhir yang harus diambil guna menyelamatkan struktur Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN).

Melilit

Kepentingan menaikkan harga BBM, hemat saya, memang sudah menjadi kebutuhan mendesak. Hal itu jika kita melihat komposisi subsidi yang ada di APBN kita. Pada tahun 2012, misalnya, subsidi BBM —baik yang dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)—sudah menembus angka Rp 300 triliun. Hal itu berarti subsidi BBM telah memakan porsi 20 persen dari volume APBN sebesar Rp 1.500 triliun. 

Tahun 2013, alokasi subsidi BBM diperkirakan akan meningkat mencapai Rp 320 triliun dari jumlah APBN sebesar Rp 1.600 triliun. Jika tidak segera dicarikan solusi, mungkin tahun 2014 beban subsidi bisa saja berada di angka Rp 400 triliun! 

Angka itu tentu membuat kita ternganga. Sebagai ilustrasi, biaya pembangunan jalan tol di Bali yang saat ini sedang dikerjakan di atas laut sepanjang 12 kilometer, hanya membutuhkan biaya sebesar Rp 2,5 triliun. Itu artinya, jika biaya subsidi BBM bisa dipangkas Rp 100 triliun saja, sudah bisa dipakai untuk membangun 40 jalan tol di atas laut seperti di Bali.

Ilustrasi lain, Monorel di Jakarta yang pembangunannya tersendat dan hanya meninggalkan tiang pancang sebagai prasasti, biaya pengerjaannya cuma memakan dana Rp 6 triliun. Biaya membangun angkutan massal dari Blok M ke Dukuh Atas—termasuk di antaranya kereta bawah tanah (subway)”hanya” Rp 27 triliun. Bahkan, Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menghebohkan itu pun menelan biaya Rp 200 triliun. Angka itu masih jauh di bawah beban APBN untuk subsidi BBM. 

Bayangkan jika APBN kita bisa terbebas dari beban subsidi BBM. Tanpa adanya pihak swasta yang mau mendanai proyek-proyek infrastruktur sebagaimana diilustrasikan di atas, sebetulnya APBN kita tetap mampu membiayainya sendiri. Pembangunan infrastruktur bagi Indonesia saat ini sangat penting guna menunjang pembangunan ekonomi yang sedang membaik. Jika kita gagal menyediakan infrastruktur yang memadai, bisa saja pertumbuhan ekonomi akan tersendat seperti yang sudah dialami oleh India.

India dalam beberapa tahun terakhir, selalu mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen. Namun karena kelalaian membangun infrastruktur, negara ini hanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen saja pada tahun 2012. Penyebabnya adalah berkurangnya minat investor untuk melakukan ekpansi investasi karena kurang kondusifnya infrastruktur. Tentu Indonesia harus belajar dari hal ini.

Kompensasi

Meski nantinya harga BBM bersubsidi harus dinaikkan karena mengacu pertimbangan-pertimbangan di atas, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah mengurangi dampak sosial-ekonomi yang terjadi akibat kebijakan ini. Karena sebesar apapun kenaikan yang akan dipituskan pemerintah, nantinya pasti akan membawa dampak gejolak harga di kalangan masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, tentu masyarakat miskin memerlukan bantuan untuk melalui masa transisi terhadap harga-harga yang baru. Sembari melakukan adaptasi, pemerintah wajib hukumnya menyalurkan bantuan untuk lebih meringankan beban hidup masyarakat miskin yang jumlahnya masih cukup besar dinegeri ini.

Kita patut bersyukur karena pemerintah sepertinya memperhatikan hal ini. Sebagaimana dikemukakan Presiden SBY, kenaikan harga BBM hanya akan dilakukan setelah adanya kepastian persetujuan DPR terkait adanya dana kompensasi yang diajukan pemerintah melalui APBN Perubahan tahun 2013. Tanpa adanya kompensasi, pemerintah masih terus akan menunda kenaikannya.

Seperti dikemukakan oleh Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, pemerintah sedang mengajukan angaran untuk 4 kompensasi kenaikan harga BBM subsidi kepada DPR. Empat program kompensasi tersebut adalah berupa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan penyediaan Beras Miskin (Raskin). Hemat saya, program-program kompensasi ini sejatinya cukup baik untuk membantu imbas langsung yang dirasakan masyarakat terkait kenaikan harga BBM. 

Akan tetapi, ada catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah. Program kompensasi-kompensasi ini tidak boleh bocor lagi seperti pengalaman program Bantuan Langusng Tunai (BLT). BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. Karena merujuk hasil studi dan analisis LP3ES, program BLT pernah mengalami kebocoran sampai sekitar 2,5 persen.

Merujuk kondisi ini, ada baiknya DPR tak lagi mempersoalkan dan mempolitisasi permintaan dana kompensasi yang diajukan pemerintah. DPR harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi masyarakat jika tak ada program kompensasi terhadap kenaikan harga BBM. Sehingga, kenaikan bisa dilakukan dan beban subsidi dalam APBN bisa dialokasikan ke pembangunan infrastruktur yang saat ini sangat mendesak untuk dilakukan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar