|
KOMPAS, 10 Mei 2013
Wibawa negara semakin merosot. Warga tidak
takut lagi menentang dan mengancam lembaga-lembaga negara dengan senjata hukum.
Bunyi pasal demi pasal bergaung di udara setiap hari. Pasal-pasal bikinan
manusia yang tidak sempurna ini menjelma sebagai ayat-ayat sakral.
Lembaga-lembaga negara menjadi sasaran
permainan otak-otak cerdas atau otak pokrol bambu sehingga kriminal diubah
menjadi pahlawan, bintang-bintang panggung dan televisi diubah menjadi
politikus, atau maling pisang dihukum setara dengan koruptor miliaran rupiah
milik negara. Inilah zaman emas para pengacara yang kian menjamur di seluruh
Indonesia sejak Reformasi.
Belum memiliki struktur permanen
Reformasi yang mengedepankan hukum di atas
segalanya dan kebebasan individu di bawah hukum itu telah berkembang tanpa
kontrol tegas atas nama wibawa negara. Wibawa negara menjadi lemah karena
aparat negara sendiri sering mempermainkan hukum negara. Sejak Reformasi,
berapa banyak aparat negara yang terseret tindak kriminal korupsi, skandal, dan
pelanggaran moral lainnya.
Negara dengan pemerintahannya yang taat asas,
bersih dari pelanggaran moral, akan menjadi sosok yang punya wibawa sehingga
dapat bertindak tegas tanpa takut disalahkan dan sulit menjadi obyek permainan.
Mengapa kita sampai tersesat dalam kondisi yang gawat ini?
Setelah hampir 75 tahun merdeka, kita belum
pernah memiliki struktur negara permanen. Dalam kurun itu, senantiasa terjadi
bongkar-pasang negara. Berbagai sistem pemerintahan di segala sektornya tidak
memiliki struktur permanen yang mentradisi. Sialnya, setiap kegagalan satu
sistem senantiasa diganti dengan sikap kontradiktif.
Kegagalan demokrasi liberal 1950-an segera
diganti dengan sistem sebaliknya, yakni demokrasi terpimpin yang membesarkan
otoritas tunggal presiden. Kebebasan individu itu buruk sebab menimbulkan
berbagai pertentangan primordialisme partai politik dan gerakan-gerakan
separatis. Negara terancam perpecahan dan obatnya banting setir ke arah
kediktatoran sipil.
Ternyata, bentuk otoriter juga gagal karena
rakyat harus antre beras. Gerakan 66 yang dipimpin golongan intelektual, seperti
gerakan Reformasi, menginginkan kembali pada liberalisme. Melihat timbulnya
gejala kebisingan liberalisme, bandul negara bergerak kembali pada penindasan
kebebasan dengan diktator militer yang bersembunyi di balik demokrasi
(Pancasila).
Akhirnya, tibalah Reformasi sampai saat ini
yang prinsipnya mengembalikan bandul kembali ke liberalisme.
Tampak jelas hubungan antara wibawa negara
dan kebebasan individu. Ketika pemerintahan otoriter menindas kebebasan, wibawa
negara menjadi kukuh, bahkan ditakuti. Ketika kebebasan individu dijalankan,
negara menjadi permainan karena kehilangan wibawa.
Menyimak dialektika yang amat disederhanakan
ini, struktur dan sistem negara yang bagaimana yang cocok untuk bangsa ini?
Ketika lembaga negara kuat, kebebasan yang dinginkan. Ketika kebebasan
diberikan, selalu ada kecenderungan unsur bangsa yang ingin menguasai Indonesia
untuk diperintah secara otoriter dengan kebenaran tunggalnya.
Ketika negara kuat dan berwibawa, rakyat
takut dan tertekan. Ketika rakyat diberi kekuatan dengan kebebasan yang
diinginkannya, negara menjadi barang mainan. Setiap orang yang mengaku dirinya
pakar hukum sekarang ini tidak segan-segan berani mengancam negara dengan dalih
kebebasan individunya.
Ketika Indonesia ini merdeka, yang terjadi
adalah ”mendadak Indonesia”, seperti halnya para artis sekarang ini yang
”mendadak politikus”. Struktur dan sistem negara kolonial yang memerintah
Indonesia dalam suasana Pax Nederlandica segera ditinggalkan dan diganti dengan
UUD 1945 yang digarap tergesa-gesa kurang dari tiga bulan. UUD ini belum pernah
dilaksanakan konsisten dan konsekuen dan melahirkan dialektika bongkar pasang
negara yang tak kunjung mapan ini. Pinjam sana pinjam sini, kutip sana kutip
sini. Negara dalam struktur tambal sulam dan kumparan benang yang semakin
ruwet.
Puncaknya terjadi sekarang ini. Siapa pun
Anda yang tersohor melalui layar televisi akan dikenal rakyat sampai ke pelosok
desa. Tidak peduli lagi apakah tersohornya Anda karena bakat Anda menghibur
rakyat dengan lawak atau gaya menyanyi Anda, atau Anda terkenal akibat terlibat
kasus kriminal yang disorot televisi hampir setiap jam. Sekarang malah ditambah
dengan bintang olahraga.
Mendadak merdeka
Semua ini menunjukkan penyakit kaget kita
atau ”mendadak merdeka” sejak 1945. Kita masih mengidap penyakit bingung
bernegara dan meraba-raba dalam gelap. Lantas kita mencoba-coba main dadu
dengan mengangkat para selebritas (baik atau buruk) menjadi pemimpin negara
ini. Jika kita punya tokoh selebritas setingkat almarhum Michael Jackson, barangkali
dia calon kuat presiden tahun depan.
Bobot kenegarawanan semakin tidak dikenal
sekarang ini. Jabatan negara berubah menjadi semacam ”cari kerja” dengan
iming-iming gaji tinggi. Ditambah dengan banjirnya kaum pesohor dalam jabatan
negara, kerja mendadak ini mau tidak mau amatiran alias negarawan gadungan.
Nasib kita ada di tangan mereka.
Kita belum pernah mengenal baik siapa diri
kita, Indonesia ini, bangsa ini, rakyat ini, tanah air kepulauan ini. Bagaimana
akan memimpin bangsa ini kalau tidak mengenalnya? Cuma mengenal secara
meraba-raba? Realitas bangsa yang masih merupakan bayangan kabur para
pemimpinnya inilah yang bikin sejarah eksperimen negara kita ini tak kunjung
selesai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar