Rabu, 15 Mei 2013

Badai Fathanah dan Sikap PKS


Badai Fathanah dan Sikap PKS
Burhanuddin Muhtadi ;  Penulis buku Dilema PKS: Suara dan Syariah
MEDIA INDONESIA, 14 Mei 2013

`BADAI Fathanah' tak kunjung berlalu menghantam citra Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fathanah awalnya bukan siapa-siapa. Namanya melejit seiring dengan proses tertangkap tangan dalam kasus dugaan suap daging impor. Fathanah menjadi momok bagi PKS karena setidaknya ada dua jalinan yang susah dimungkiri siapa pun. Pertama, meski dibantah sebagai kader PKS, Fathanah memiliki hubungan akrab dengan mantan orang nomor satu di partai, yakni Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang kemudian menjadi tersangka dalam kasus yang sama.

Kedua, kasus suap daging impor yang melibatkan Fathanah terjadi di kementerian yang dipegang oleh kader PKS. Sekuat apa pun bantahan Fathanah bukan kader partai, tapi akal sehat mengatakan bahwa dia mustahil bermanuver selincah itu jika tidak diberi ruang oleh partai, atau setidaknya oleh oknum partai. Terlebih lagi, ada beberapa `bocoran' hasil penyidikan KPK yang menunjukkan ada kaitan diam-diam antara aksi Fathanah dan sebagian elite partai.

Misalnya, salinan sertifikat rumah milik istri Anis Matta, Anaway Irianti Mansyur, yang ditemukan penyidik KPK di tas Ahmad Fathanah saat ope rasi tangkap tangan beberapa waktu lalu. Memang hal itu menjadi urusan adik Anis, yakni Saldi Matta. Saldi mengaku dapat transferan uang dari Fathanah senilai Rp50 juta. Menurut Saldi, uang tersebut merupakan pembayaran utang. Fathanah berutang padanya September 2012 dan baru dibayar pada Januari 2013.

Pertanyaannya, masak Fathanah yang mampu membelikan rumah-rumah mewah dan mobil-mobil bermerek ke istri maupun `teman-teman' wanitanya masih perlu utang Rp50 juta?

Selain itu, nama putra Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, Ridwan Hakim, juga `terseret' oleh pusaran kasus daging impor ketika dipanggil sebagai saksi. Belakangan Hilmi dan Anis juga dipanggil sebagai saksi dalam kasus yang sama. Belum lagi aliran dana kasus ini juga menyerempet ke DPW PKS Sulsel dalam proses pemenangan calon gubernur yang didukung partai. Suka tidak suka, nama partai ikut terkena getah akibat `badai Fathanah' ini.

Meski PKS berulang kali membantah kasus yang melilit Fathanah dan LHI terkait dengan partai dan selalu meminta publik memakai asas praduga tak bersalah, PKS diam-diam justru larut dan `membenarkan' asosiasi publik tentang kaitan kasus ini dengan partai.

Adanya perubahan tagline PKS dalam rapimnas sekaligus milad ke-15 di Semarang baru-baru ini seolah mengukuhkan hal tersebut. Rebranding partai dari `Bersih, Peduli, dan Profesional' menjadi `Cinta, Kerja, dan Harmoni' malah mengonfirmasi dugaan publik bahwa PKS tidak percaya diri lagi sebagai partai bersih setelah dihempas `badai Fathanah'. Secara tidak langsung, perubahan tagline itu malah membenarkan kaitan LHI dan Fathanah dengan partai.

Respons berlebihan

Di samping itu, sikap PKS dalam menanggapi upaya penyitaan mobil-mobil yang diduga hasil pencucian uang juga kontraproduktif. Coba misalnya PKS kooperatif, paling banter penyitaan itu hanya diberitakan sesaat saja oleh media. Namun karena upaya KPK menyita mobil-mobil itu direspons secara berlebihan, justru malah menjadikan PKS sebagai bulan-bulanan media. Meski ada tudingan KPK tidak melakukan prosedur penyitaan yang benar, reaksi PKS seperti menghalangi, mengempiskan ban-ban mobil yang mau disita, lalu melaporkan pihak KPK dan juru bicaranya ke polisi malah menambah runyam situasi.

Bukan hanya itu, langkah PKS dalam merespons upaya penyitaan mobil oleh KPK malah secara sadar menyeret nama partai untuk berhadapan secara diametral dengan KPK. Selama ini hampir semua partai punya kader yang bermasalah dengan korupsi. Akan tetapi, partai-partai biasanya balik badan dan mempersilakan kader-kader yang bermasalah tadi untuk menyelesaikan kasusnya sendiri.

Paling banter, partai menyediakan bantuan hukum pengacara agar kader yang bermasalah tadi tidak `bernyanyi'. Tapi dalam kasus ini, PKS secara gagah berani malah mempertaruhkan nama institusi untuk berhadapan dengan KPK.

Menurut saya, nama PKS terlalu mahal dan berharga untuk dipertaruhkan dalam kasus ini. Ada beberapa argumen yang saya pergunakan agar elite partai tidak memperhadapkan PKS dengan KPK. Pertama, argumen elektoral. Secara empiris survei membuktikan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK jauh lebih tinggi ketimbang trust terhadap partai-partai, termasuk PKS. Jika PKS terkesan melawan KPK, publik akan membela KPK dan makin meninggalkan partai. Bagaimanapun juga insentif terbesar yang dicari partai mana pun adalah dukungan elektoral. Jika pemilih menjauhi PKS karena dituding melawan KPK, target tiga besar di Pemilu 2014 menjadi jauh panggang daripada api.

Kedua, PKS lahir dengan membawa misi suci reformasi. PKS adalah produk sah reformasi. Agenda reformasi yang paling krusial ialah melawan korupsi. Sebelum `badai Fathanah' menghantam citra partai, PKS adalah role model, atau setidaknya fresh practice partai yang relatif bersih dari noda korupsi. Jika dibandingkan dengan partai-partai lainnya, kader PKS juga paling sedikit terkena isu tak sedap terkait korupsi. Ketika PKS membawa nama institusi melaporkan KPK ke polisi, publik akan melakukan generalisasi atau gebyah uyah terhadap PKS dengan seluruh kader dan elitenya bahwa seolah-olah partai ini melindungi koruptor.

Kasihan para kader atau elite PKS yang bersih dan bersahaja karena terkena asosiasi dan generalisasi. Jika PKS memandang KPK tidak melakukan penyitaan mobil sesuai prosedur, bicarakan dengan baik-baik agar `miskomunikasi' itu bisa diselesaikan tanpa meninggalkan riak-riak yang menodai citra partai. Manajemen isu harus mampu dijalankan secara elegan agar publik tidak mengaitkan kasus LHI dan Fathanah ke PKS.
PKS juga harus kembali ke khitah dengan menerapkan standar ketat mobilisasi pendanaan bagi partai. PKS menghidupkan kembali prinsip tiga aman dalam mencari dana politik, yakni aman syar'i, aman politis, dan aman yuridis. Inilah conventional wisdom yang mampu mengembalikan muruah PKS di mata publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar