|
SUARA
KARYA, 14 Mei 2013
Idealistis, kita tahu artinya.
Sinterklistis, ya 'sinterklas', kata bakunya. Adjektivanya sinterklistis.
Ternyata, pemimpin yang sinterklistis atau berhati seperti tokoh Sinterklas
lebih disukai oleh masyarakat kita. Dalam setiap pilkada, atau pemilihan
anggota legislatif, mayoritas calon yang terpilih adalah pemimpin yang berhati
seperti Sinterklas.
Namun, banyak kasus, mulanya
Sinterklas, selanjutnya culas. Pemimpin idealistis yang realistis dan tidak mau
berpolitik uang, justru sering tersingkir. Sementara pemimpin berhati seperti
Sinterklas tetapi culas banyak berjaya hingga makin banyaklah koruptor di Tanah
Air tercinta ini.
Dari para pemimpin, kita bisa
belajar apa? Faktanya, di Tanah Air ini, sangat sulit mencari seorang pemimpin
yang dapat memberikan pelajaran positif untuk kehidupan kita. Kita tidak
memerlukan pemimpin yang hanya jago berwacana tetapi dalam tindakan nol. Kita
tidak memerlukan pemimpin yang hebat dalam pencitraan, tetapi tujuannya untuk
menutupi kekurangannya. Kita tidak memerlukan pemimpin yang berkata 'A' pada
saat kampanye, tetapi berbuat 'B' ketika memimpin.
Bukankah hal itu sebuah dusta
besar? Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah dilengserkan dari jabatan
kepala daerah, tetapi masih nekat jadi anggota DPD. Kita tidak memerlukan
pemimpin yang sudah terkena kasus hukum, tetapi masih nekat jadi anggota DPR.
Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah meninggalkan kursi DPR, tetapi
mendaftar lagi untuk kursi DPR yang telah ditinggalkannya. Kita tidak
memerlukan pemimpin yang sudah divonis bersalah, bahkan sampai tingkat MA,
masih juga menolak untuk dieksekusi.
Lantas, apa yang dapat dipetik
dari para pemimpin kita? Hampir tidak ada! Mengapa? Para pemimpin kita hanya
bergelut dalam kubangan kekuasaan, popularitas dan harta. Slogan untuk
membangun dan menyejahterakan orang-orang yang dipimpinnya hanyalah sekadar
slogan. Justru kepentingan kelompok dan pribadilah yang diutamakan, bukan
kepentingan rakyat banyak.
Demokrasi yang berarti kekuasaan
berada di tangan rakyat, kini telah berubah menjadi kekuasaan berada di tangan
uang, sehingga muncul istilah money politics atau politik uang. Pilkada-pilkada
yang diselenggarakan di berbagai wilayah di Tanah Air dihiasi dengan fenomena
munculnya banyak Sinterklas yang membagi-bagikan uang atau bingkisan.
Bukan hanya dalam pilkada, dalam
pemilihan anggota legislatif pun, politik uang turut bermain. Mau tidak mau,
para calon anggota legislatif harus mengubah sikapnya. Para pemimpin eksekutif
dan legislatif sama-sama tidak idealistis, dan cenderung kompromistis.
Jadi, tidaklah mengherankan bila
banyak orang yang bersukacita setiap ada pilkada atau pemilihan anggota
legislatif. Bagi yang memilih, uang atau sumbangan bingkisan dapat menjadi
penghibur di kala kesusahan hidup tidak pernah berhenti mendera. Dalam
pandangan mereka, biarlah yang terpilih nanti berbuat 'sesuatu' selama masa
pemerintahannya, atau selama menjadi anggota DPR.
Sikap seperti ini tentu akan
membuat banyak pemilih hanya melirik calon pemimpin yang berharta melimpah dan
berhati seperti Sinterklas. Maka, bagaimana dengan mereka yang terpilih menjadi
pemimpin karena berhati seperti Sinterklas, tetapi kemudian bersikap culas?
Sahkah mereka? Bagaimana dengan mereka yang memiliki idealisme yang tinggi dan
memiliki kesungguhan merealisasikan idealismenya itu, tetapi tidak terpilih
karena hartanya sekadarnya saja?
Bagaimana dengan mereka yang
berharta tetapi tidak mau berhati seperti Sinterklas, karena memegang teguh
prinsip dan idealismenya? Berarti, mereka akan tersingkir. Pemimpin-pemimpin
idealistis tidak akan muncul dari pilkada, dan pemilihan anggota legislatif,
karena yang banyak terpilih adalah pemimpin berduit yang berhati seperti
Sinterklas pada awalnya, tetapi kemudian menjadi culas.
Setelah terpilih sebagai pemimpin,
mereka berusaha mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan dengan cara apa pun.
Tidak heran, banyak pemimpin daerah atau wakil rakyat masuk bui. Jadi, di
antara kita sendiri yang secara tidak langsung mendorong para pemimpin kita
untuk melakukan korupsi, karena kita yang memilih mereka. Kita menyingkirkan
calon-calon pemimpin yang penuh idealisme tetapi tidak mau berhati seperti
Sinterklas, atau kekayaannya hanya pas-pasan.
Sejatinya, seorang calon pemimpin
yang menggunakan politik uang tidak layak dipilih. Masyarakat seharusnya sadar
akan hal ini. Masyarakat jangan memilih mereka. Mengapa? Karena, dari mereka
kita bisa belajar apa? Tidak ada! Bukankah mereka sama sekali tidak memberikan
pelajaran yang baik?
Seorang pemimpin idealistis tidak
harus melakukan pencitraan melalui spanduk atau baliho untuk meningkatkan
popularitasnya. Demikian juga pencitraan tidak perlu dilakukan melalui
iklan-iklan di media cetak, radio dan televisi. Mereka harus mampu meyakinkan
khalayak bahwa mereka dipilih karena memiliki program-program yang bermuara
untuk kesejahteraan rakyat.
Fakta di lapangan, setelah sekian
tahun menjadi pemimpin, mereka yang sebelumnya hidup biasa-biasa saja, berubah
menjadi kaya harta. Seorang pemimpin yang hidup biasa-biasa saja, sejatinya,
sesudah mengakhiri masa jabatannya, tetap hidup seperti sebelumnya atau
kalaupun meningkat, hanya meningkat sedikit saja, bukan malah menjadi orang
terkaya di kota, kabupaten, atau provinsinya.
Kita tidak hanya memerlukan satu
atau dua pemimpin sejati. Kita memerlukan banyak pemimpin sejati, bukan
pemimpin yang hanya numpang lewat dan tidak akan pernah dikenang. Kita
memerlukan pemimpin-pemimpin sejati yang dari mereka kita dapat belajar banyak
hal yang positif dan inspiratif, bukan yang negatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar