Rabu, 15 Mei 2013

Pemimpin Idealistis atau Siterklistis?


Pemimpin Idealistis atau Siterklistis?
R Tuwoliu Mangangue ;  Pengajar pada Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano
SUARA KARYA, 14 Mei 2013

Idealistis, kita tahu artinya. Sinterklistis, ya 'sinterklas', kata bakunya. Adjektivanya sinterklistis. Ternyata, pemimpin yang sinterklistis atau berhati seperti tokoh Sinterklas lebih disukai oleh masyarakat kita. Dalam setiap pilkada, atau pemilihan anggota legislatif, mayoritas calon yang terpilih adalah pemimpin yang berhati seperti Sinterklas.

Namun, banyak kasus, mulanya Sinterklas, selanjutnya culas. Pemimpin idealistis yang realistis dan tidak mau berpolitik uang, justru sering tersingkir. Sementara pemimpin berhati seperti Sinterklas tetapi culas banyak berjaya hingga makin banyaklah koruptor di Tanah Air tercinta ini.

Dari para pemimpin, kita bisa belajar apa? Faktanya, di Tanah Air ini, sangat sulit mencari seorang pemimpin yang dapat memberikan pelajaran positif untuk kehidupan kita. Kita tidak memerlukan pemimpin yang hanya jago berwacana tetapi dalam tindakan nol. Kita tidak memerlukan pemimpin yang hebat dalam pencitraan, tetapi tujuannya untuk menutupi kekurangannya. Kita tidak memerlukan pemimpin yang berkata 'A' pada saat kampanye, tetapi berbuat 'B' ketika memimpin.

Bukankah hal itu sebuah dusta besar? Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah dilengserkan dari jabatan kepala daerah, tetapi masih nekat jadi anggota DPD. Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah terkena kasus hukum, tetapi masih nekat jadi anggota DPR. Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah meninggalkan kursi DPR, tetapi mendaftar lagi untuk kursi DPR yang telah ditinggalkannya. Kita tidak memerlukan pemimpin yang sudah divonis bersalah, bahkan sampai tingkat MA, masih juga menolak untuk dieksekusi.

Lantas, apa yang dapat dipetik dari para pemimpin kita? Hampir tidak ada! Mengapa? Para pemimpin kita hanya bergelut dalam kubangan kekuasaan, popularitas dan harta. Slogan untuk membangun dan menyejahterakan orang-orang yang dipimpinnya hanyalah sekadar slogan. Justru kepentingan kelompok dan pribadilah yang diutamakan, bukan kepentingan rakyat banyak.

Demokrasi yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, kini telah berubah menjadi kekuasaan berada di tangan uang, sehingga muncul istilah money politics atau politik uang. Pilkada-pilkada yang diselenggarakan di berbagai wilayah di Tanah Air dihiasi dengan fenomena munculnya banyak Sinterklas yang membagi-bagikan uang atau bingkisan.

Bukan hanya dalam pilkada, dalam pemilihan anggota legislatif pun, politik uang turut bermain. Mau tidak mau, para calon anggota legislatif harus mengubah sikapnya. Para pemimpin eksekutif dan legislatif sama-sama tidak idealistis, dan cenderung kompromistis.

Jadi, tidaklah mengherankan bila banyak orang yang bersukacita setiap ada pilkada atau pemilihan anggota 
legislatif. Bagi yang memilih, uang atau sumbangan bingkisan dapat menjadi penghibur di kala kesusahan hidup tidak pernah berhenti mendera. Dalam pandangan mereka, biarlah yang terpilih nanti berbuat 'sesuatu' selama masa pemerintahannya, atau selama menjadi anggota DPR.

Sikap seperti ini tentu akan membuat banyak pemilih hanya melirik calon pemimpin yang berharta melimpah dan berhati seperti Sinterklas. Maka, bagaimana dengan mereka yang terpilih menjadi pemimpin karena berhati seperti Sinterklas, tetapi kemudian bersikap culas? Sahkah mereka? Bagaimana dengan mereka yang memiliki idealisme yang tinggi dan memiliki kesungguhan merealisasikan idealismenya itu, tetapi tidak terpilih karena hartanya sekadarnya saja?

Bagaimana dengan mereka yang berharta tetapi tidak mau berhati seperti Sinterklas, karena memegang teguh prinsip dan idealismenya? Berarti, mereka akan tersingkir. Pemimpin-pemimpin idealistis tidak akan muncul dari pilkada, dan pemilihan anggota legislatif, karena yang banyak terpilih adalah pemimpin berduit yang berhati seperti Sinterklas pada awalnya, tetapi kemudian menjadi culas.

Setelah terpilih sebagai pemimpin, mereka berusaha mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan dengan cara apa pun. Tidak heran, banyak pemimpin daerah atau wakil rakyat masuk bui. Jadi, di antara kita sendiri yang secara tidak langsung mendorong para pemimpin kita untuk melakukan korupsi, karena kita yang memilih mereka. Kita menyingkirkan calon-calon pemimpin yang penuh idealisme tetapi tidak mau berhati seperti Sinterklas, atau kekayaannya hanya pas-pasan.

Sejatinya, seorang calon pemimpin yang menggunakan politik uang tidak layak dipilih. Masyarakat seharusnya sadar akan hal ini. Masyarakat jangan memilih mereka. Mengapa? Karena, dari mereka kita bisa belajar apa? Tidak ada! Bukankah mereka sama sekali tidak memberikan pelajaran yang baik?

Seorang pemimpin idealistis tidak harus melakukan pencitraan melalui spanduk atau baliho untuk meningkatkan popularitasnya. Demikian juga pencitraan tidak perlu dilakukan melalui iklan-iklan di media cetak, radio dan televisi. Mereka harus mampu meyakinkan khalayak bahwa mereka dipilih karena memiliki program-program yang bermuara untuk kesejahteraan rakyat.

Fakta di lapangan, setelah sekian tahun menjadi pemimpin, mereka yang sebelumnya hidup biasa-biasa saja, berubah menjadi kaya harta. Seorang pemimpin yang hidup biasa-biasa saja, sejatinya, sesudah mengakhiri masa jabatannya, tetap hidup seperti sebelumnya atau kalaupun meningkat, hanya meningkat sedikit saja, bukan malah menjadi orang terkaya di kota, kabupaten, atau provinsinya.

Kita tidak hanya memerlukan satu atau dua pemimpin sejati. Kita memerlukan banyak pemimpin sejati, bukan pemimpin yang hanya numpang lewat dan tidak akan pernah dikenang. Kita memerlukan pemimpin-pemimpin sejati yang dari mereka kita dapat belajar banyak hal yang positif dan inspiratif, bukan yang negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar