|
MEDIA
INDONESIA, 14 Mei 2013
ANGGAPAN yang menegaskan
bahwa penghargaan World Statesman 2013
dari Yayasan Appeal of Conscience,
AS, yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pukulan telak
bagi masa depan perlindungan politik minoritas religius yang mengalami
kekerasan masif, tidak dapat dibantah. Presiden SBY menerima anugerah pada saat
diskriminasi sosial politik sedang membingkai keberadaan beberapa komunitas
minoritas religius.
Media Indonesia melalui Editorial
(7/5/2013) Ironi di Balik Penghargaan
mengafirmasi suasana hati publik yang menggelisahkan prospek komunitas religius
yang selama ini menjadi sasaran amuk kekerasan. Penghargaan itu datang ketika
jemaat Ahmadiyah, GKI Yasmin, Syiah dan sejumlah grup minoritas lainnya tengah
mengalami beberapa kepungan kekerasan. Inkoherensi begitu jelas terlihat.
Di awal tumbangnya HM Suharto, Donald K Emerson (2000)
menulis sebuah analisis menarik dengan judul Will Indonesia Survive? Pertanyaan ini berhubungan dengan keruwetan
politik dan sosial yang segera membayangi langkah bangsa sebesar Indonesia sesudah
rubuhnya demarkasi kekuasaan absolut selama tiga dekade. Mungkin ada asumsi
tentang betapa sulitnya bangsa yang begitu plural ini menegakkan keberadaannya
pascakematian Orde Baru.
Keriuhan demokratisasi pada hari-hari awal reformasi dengan
mudah menyediakan jawaban singkat untuk pertanyaan semacam ini. Hampir tidak
ada alasan yang cukup kuat untuk mematahkan keyakinan bahwa bangsa ini pasti
meraih banyak kemajuan.
Cukup mudah bagi kita untuk menyodorkan begitu banyak aspek
kebangsaan dan kenegaraan yang menguatkan anggapan bahwa kita sudah survive. Formulasi politik berkembang
dengan cepat. Pergeseran kekuasaan berlangsung dengan drastis. Keterlibatan
publik dalam proses politik terus membesar.
Meski begitu, ternyata beberapa soal paling hakiki yang
berhubungan dengan transisi demokrasi justru mengalami kemunduran. Sejumlah
prinsip fundamental seperti kesetaraan, keadilan, dan kebebasan sipil tidak
menjadi bagian dari praktik-praktik keberadaban demokrasi. Krisis minoritas
religius yang sedang menjadi bagian dari pengalaman publik belakangan ini
seolah menuntun kita pada pertanyaan penting di atas.
Majoritarianisme
Pada hari-hari ini, tidak ada ketakutan yang lebih besar
selain beroperasinya tirani mayoritas yang sedang meremukkan basis pemihakan
utama demokrasi. Majoritarianisme bukan hanya bersinggungan dengan grup sosial
yang punya basis massa, melainkan terutama berhubungan dengan opini publik. Di
sini, demokrasi sebetulnya menuntun masyarakat ke level yang lebih tinggi.
Tidak hanya mewadahi kemenangan mayoritas dalam arena politik, tetapi terutama
memberi ruang merdeka bagi kelompok kelompok minoritas.
Majoritarianisme sedang membajak kesadaran masyarakat
sehingga publik berada pada dua titik yang sama berbahayanya bagi minoritas
religius. Entah ikut mengancam keberadaan mereka secara langsung atau diam di
hadapan kekerasan terhadap minoritas religius. Masyarakat sedang kehilangan
empati politik kepada sesama yang kecil, grup-grup minoritas religius. Sulit
ditampik bahwa majoritarianisme menjadi salah satu alasan yang menjadikan
Indonesia mungkin tidak selamat. Di level sosial, ini adalah ancaman paling
serius sejauh ini.
Majoritarianisme adalah basis utama narasi kekerasan
terhadap minoritas religius pada hari-hari ini. Penghargaan apa pun bagi penguasa
yang berhubungan dengan aspek saling respek antarelemen sosialreligius di
Indonesia serentak kehilangan substansinya.
Impresidensi
Tragisnya, tidak ada tandatanda kepemimpinan politik hadir
untuk melawan narasi kekerasan ini. Bahkan banyak pemimpin politik semakin
besar menyumbangkan masalah ke dalam peta konflik dan kekerasan. Kita bisa
lihat bagaimana kekuasaan di level lokal bisa begitu leluasanya membatasi
hak-hak sosial politik anggota Ahmadiyah. Hilangnya ukuran dan dasar paling
fundamental yang menempatkan semua orang sebagai warga sah dari keindonesiaan
sedang menghadirkan deretan meninggalkan kerumitan.
Para pemimpin politik dan penguasa yang sebenarnya bisa menjamin kenyamanan dan
keamanan setiap warga negara serentak kehilangan imajinasi untuk melindungi
kelompok minoritas dengan kekuasaan yang ada di tangan mereka.
Keadilan adalah ekspresi dari kehendak kelompok yang
berkuasa, yang bisa mendikte proses-proses sosial, politik, dan yuridis. Mereka
yang bisa mementahkan keputusan keputusan hukum paling tinggi di level negara.
Kathryn Sikkink, Profesor Ilmu Politik dari Universitas
Minnesota USA, dalam buku The Justice
Cascade (2011) mengungkapkan pentingnya ketegasan politik dan hukum untuk
menerjemahkan keadilan pada level paling konkret. Keadilan paling asasi. Bukan
hanya berhubungan dengan jaminan hak bagi setiap orang, melainkan lebih radikal
berhubungan dengan pengutamaan kelompok dan grup sosial yang miskin dan rentan
kekerasan. Itu tugas paling primer dari setiap pemimpin politik. Mereka harus
memastikan bahwa keadilan bekerja dengan benar dan tepat.
Tidak sulit untuk membaca kontradiksi yang mencuat dari
kenyataan ini, umat GKI Yasmin yang selalu hadir di depan Istana Negara, dan
pada saat yang sama sebuah penghargaan internasional menjadi bagian dari
lingkungan istana.
Penghargaan dari negara dengan Human
Rights Watch yang saban kali mengkritik ketidaktegasan pemerintah Indonesia
untuk melindungi minoritas religius, ada di sana. Apakah pemberi penghargaan
ini pura-pura tidak peduli dengan kondisi jemaat Yasmin, Ahmadiyah, dan Syiah
di Indonesia yang hampir pasti belum mendapatkan pembelaan ter buka dari
presidennya sendiri? Sejauh ini, tidak ada presiden yang memihak para korban
kekerasan.
Malevolensi
Penghargaan itu diberikan kepada presiden karena ketokohan
dalam bidang kerukunan hidup beragama di Indonesia. Jika sikap diam di hadapan
rentetan kekerasan dan kebrutalan terhadap minoritas religius sudah dianggap
sebagai pencapaian penting dalam menyuburkan kerukunan, penghargaan itu sedang mengalami
cacat moral yang akut. Lebih dari itu, para perusak minoritas religius akan
menganggap kekejian yang mereka umbar di ruang publik sebagai hal yang wajar
dan benar. Hasrat dan tindakan yang bermaksud merusak kehidupan orang lain
secara langsung (malevolensi) sedang
mengalami pembenaran dari penghargaan internasional ini, juga dari
ketidaktegasan para pemimpin politik kita.
Kita tidak pernah bisa mencapai horizon demokrasi dan
politik yang beradab manakala kekerasan sudah dianggap sebagai ungkapan pendapat
untuk meniadakan orang lain dari konstelasi sosial. Membagi ruang kehidupan
bagi kelompok minoritas dengan dorongan suci dari pemerintah merupakan ciri
masyarakat demokratis yang matang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar