Rabu, 15 Mei 2013

Impresidensi dan Narasi Kekerasan


Impresidensi dan Narasi Kekerasan
Max Regus ;  Mahasiswa S-3 International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda
MEDIA INDONESIA, 14 Mei 2013

ANGGAPAN yang menegaskan bahwa penghargaan World Statesman 2013 dari Yayasan Appeal of Conscience, AS, yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pukulan telak bagi masa depan perlindungan politik minoritas religius yang mengalami kekerasan masif, tidak dapat dibantah. Presiden SBY menerima anugerah pada saat diskriminasi sosial politik sedang membingkai keberadaan beberapa komunitas minoritas religius.

Media Indonesia melalui Editorial (7/5/2013) Ironi di Balik Penghargaan mengafirmasi suasana hati publik yang menggelisahkan prospek komunitas religius yang selama ini menjadi sasaran amuk kekerasan. Penghargaan itu datang ketika jemaat Ahmadiyah, GKI Yasmin, Syiah dan sejumlah grup minoritas lainnya tengah mengalami beberapa kepungan kekerasan. Inkoherensi begitu jelas terlihat.

Di awal tumbangnya HM Suharto, Donald K Emerson (2000) menulis sebuah analisis menarik dengan judul Will Indonesia Survive? Pertanyaan ini berhubungan dengan keruwetan politik dan sosial yang segera membayangi langkah bangsa sebesar Indonesia sesudah rubuhnya demarkasi kekuasaan absolut selama tiga dekade. Mungkin ada asumsi tentang betapa sulitnya bangsa yang begitu plural ini menegakkan keberadaannya pascakematian Orde Baru.

Keriuhan demokratisasi pada hari-hari awal reformasi dengan mudah menyediakan jawaban singkat untuk pertanyaan semacam ini. Hampir tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mematahkan keyakinan bahwa bangsa ini pasti meraih banyak kemajuan.

Cukup mudah bagi kita untuk menyodorkan begitu banyak aspek kebangsaan dan kenegaraan yang menguatkan anggapan bahwa kita sudah survive. Formulasi politik berkembang dengan cepat. Pergeseran kekuasaan berlangsung dengan drastis. Keterlibatan publik dalam proses politik terus membesar.

Meski begitu, ternyata beberapa soal paling hakiki yang berhubungan dengan transisi demokrasi justru mengalami kemunduran. Sejumlah prinsip fundamental seperti kesetaraan, keadilan, dan kebebasan sipil tidak menjadi bagian dari praktik-praktik keberadaban demokrasi. Krisis minoritas religius yang sedang menjadi bagian dari pengalaman publik belakangan ini seolah menuntun kita pada pertanyaan penting di atas.

Majoritarianisme

Pada hari-hari ini, tidak ada ketakutan yang lebih besar selain beroperasinya tirani mayoritas yang sedang meremukkan basis pemihakan utama demokrasi. Majoritarianisme bukan hanya bersinggungan dengan grup sosial yang punya basis massa, melainkan terutama berhubungan dengan opini publik. Di sini, demokrasi sebetulnya menuntun masyarakat ke level yang lebih tinggi. Tidak hanya mewadahi kemenangan mayoritas dalam arena politik, tetapi terutama memberi ruang merdeka bagi kelompok kelompok minoritas.

Majoritarianisme sedang membajak kesadaran masyarakat sehingga publik berada pada dua titik yang sama berbahayanya bagi minoritas religius. Entah ikut mengancam keberadaan mereka secara langsung atau diam di hadapan kekerasan terhadap minoritas religius. Masyarakat sedang kehilangan empati politik kepada sesama yang kecil, grup-grup minoritas religius. Sulit ditampik bahwa majoritarianisme menjadi salah satu alasan yang menjadikan Indonesia mungkin tidak selamat. Di level sosial, ini adalah ancaman paling serius sejauh ini.

Majoritarianisme adalah basis utama narasi kekerasan terhadap minoritas religius pada hari-hari ini. Penghargaan apa pun bagi penguasa yang berhubungan dengan aspek saling respek antarelemen sosialreligius di Indonesia serentak kehilangan substansinya.

Impresidensi

Tragisnya, tidak ada tandatanda kepemimpinan politik hadir untuk melawan narasi kekerasan ini. Bahkan banyak pemimpin politik semakin besar menyumbangkan masalah ke dalam peta konflik dan kekerasan. Kita bisa lihat bagaimana kekuasaan di level lokal bisa begitu leluasanya membatasi hak-hak sosial politik anggota Ahmadiyah. Hilangnya ukuran dan dasar paling fundamental yang menempatkan semua orang sebagai warga sah dari keindonesiaan sedang menghadirkan deretan meninggalkan kerumitan.
Para pemimpin politik dan penguasa yang sebenarnya bisa menjamin kenyamanan dan keamanan setiap warga negara serentak kehilangan imajinasi untuk melindungi kelompok minoritas dengan kekuasaan yang ada di tangan mereka.

Keadilan adalah ekspresi dari kehendak kelompok yang berkuasa, yang bisa mendikte proses-proses sosial, politik, dan yuridis. Mereka yang bisa mementahkan keputusan keputusan hukum paling tinggi di level negara.

Kathryn Sikkink, Profesor Ilmu Politik dari Universitas Minnesota USA, dalam buku The Justice Cascade (2011) mengungkapkan pentingnya ketegasan politik dan hukum untuk menerjemahkan keadilan pada level paling konkret. Keadilan paling asasi. Bukan hanya berhubungan dengan jaminan hak bagi setiap orang, melainkan lebih radikal berhubungan dengan pengutamaan kelompok dan grup sosial yang miskin dan rentan kekerasan. Itu tugas paling primer dari setiap pemimpin politik. Mereka harus memastikan bahwa keadilan bekerja dengan benar dan tepat.

Tidak sulit untuk membaca kontradiksi yang mencuat dari kenyataan ini, umat GKI Yasmin yang selalu hadir di depan Istana Negara, dan pada saat yang sama sebuah penghargaan internasional menjadi bagian dari lingkungan istana.
Penghargaan dari negara dengan Human Rights Watch yang saban kali mengkritik ketidaktegasan pemerintah Indonesia untuk melindungi minoritas religius, ada di sana. Apakah pemberi penghargaan ini pura-pura tidak peduli dengan kondisi jemaat Yasmin, Ahmadiyah, dan Syiah di Indonesia yang hampir pasti belum mendapatkan pembelaan ter buka dari presidennya sendiri? Sejauh ini, tidak ada presiden yang memihak para korban kekerasan.

Malevolensi

Penghargaan itu diberikan kepada presiden karena ketokohan dalam bidang kerukunan hidup beragama di Indonesia. Jika sikap diam di hadapan rentetan kekerasan dan kebrutalan terhadap minoritas religius sudah dianggap sebagai pencapaian penting dalam menyuburkan kerukunan, penghargaan itu sedang mengalami cacat moral yang akut. Lebih dari itu, para perusak minoritas religius akan menganggap kekejian yang mereka umbar di ruang publik sebagai hal yang wajar dan benar. Hasrat dan tindakan yang bermaksud merusak kehidupan orang lain secara langsung (malevolensi) sedang mengalami pembenaran dari penghargaan internasional ini, juga dari ketidaktegasan para pemimpin politik kita.

Kita tidak pernah bisa mencapai horizon demokrasi dan politik yang beradab manakala kekerasan sudah dianggap sebagai ungkapan pendapat untuk meniadakan orang lain dari konstelasi sosial. Membagi ruang kehidupan bagi kelompok minoritas dengan dorongan suci dari pemerintah merupakan ciri masyarakat demokratis yang matang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar