Dalam diri manusia terdapat dua macam emosi yang bertolak
belakang, yang keduanya ketika mengkristal dan menemukan objeknya akan
mampu melahirkan tindakan ekstrem, jauh di luar dugaan kita semua, yaitu
kekuatan cinta dan benci.
Banyak karya dan peristiwa besar dalam sejarah yang digerakkan oleh
kekuatan cinta dan benci. Monumen cinta yang paling terkenal adalah Taj
Mahal di India. Sebaliknya adalah kekuatan rasa benci. Kebencian yang
intens akan menimbulkan daya rusak yang juga di luar dugaan terhadap
musuh yang dibencinya. Berbagai peristiwa perang dan teror pasti memiliki
akar kebencian terhadap yang lain. Dalam bahasa Inggris terdapat
kata-kata serumpun yang menggambarkan emosi kebencian yang tumbuh dalam
diri manusia antara lain hate,
dislike, detestation, enmity, ill-will, malevolence.
Berbagai emosi kebencian itu memiliki daya rusak terhadap harmoni sosial.
Terlebih lagi ketika kebencian itu mengental sebagai emosi kolektif dan
melahirkan sikap kelompok berupa prejudice,
bigotry, dan hatred. Semua
katakata ini menunjukkan intensitas emosi kebencian satu kelompok
terhadap kelompok yang berbeda, atau komunitas tertentu, yang penyebabnya
tidak lagi rasional dan diwariskan secara turun-temurun. Berbagai tragedi
konflik antarsuku, ras, bangsa, dan komunitas beragama seringkali
didorong oleh kebencian yang diwariskan secara turun-temurun sehingga
mengalahkan upaya damai sekalipun disertai penjelasan rasional
panjang-lebar.
Yang memprihatinkan, sikap prejudice
dan bigotry seringkali juga
melekat pada mereka yang dari segi pendidikan sudah tinggi, yang mestinya
mampu berpikir dan bersikap rasional, bukannya emosional. Sikap ini
semakin mengental dan memiliki daya destruksi tinggi ketika mendapatkan
amunisi dari keyakinan agama sehingga memusuhi dan menghancurkan mereka
yang berbeda agama itu kesalehan dan membela Tuhan. Bertemunya semangat
membela agama dan etnis menjadi satu biasanya melahirkan militansi yang
amat dahsyat dan seseorang atau kelompok rela mati untuk
mempertahankannya atau bahkan bersikap agresif.
Ini mudah diamati di berbagai belahan dunia. Indonesia dengan ragam
etnis, budaya, agama yang penduduknya tersebar ke ribuan pulau sangat
potensial bagi munculnya a culture
of hatred kalau pemerintah dan masyarakat tidak kerja keras untuk
menjaga kesatuan Nusantara yang merupakan keajaiban politik dan budaya
ini. Andaikan peta entitas Indonesia ini diposisikan di Eropa atau Timur
Tengah, itu ekuivalen dengan 40-an negara. Jadi, sangat wajar kalau dunia
merasa kagum terhadap realitas sosial dan geografis Indonesia yang
sedemikian majemuk dan terjaga kesatuannya.
Namun, keutuhan dan keharmonisan hidup warga Nusantara ini tidak bisa
disikapi dengan taken for granted. Benihbenih konflik bermunculan di
sana-sini. Jika pemerintah tidak bisa memberantas korupsi dan
menyejahterakan warga negaranya dengan adil dan merata, sangat mungkin
akan muncul sentimen negatif, bahkan rasa antipati, beberapa daerah
terhadap pemerintah pusat yang merepresentasikan negara Indonesia. Mereka
yang merasa daerahnya makmur dan kaya, namun warganya terbelakang,
sementara hasil alamnya disedot oleh pusat, akan mudah diprovokasi bagi
munculnya kebencian beberapa tokoh dan kelompok yang pada urutannya
melahirkan a culture of hatred
terhadap pihak lain yang dianggap menyengsarakan mereka.
Yang juga perlu dicermati adalah munculnya gerakan berlabel keagamaan
yang melakukan cuci otak (brain
washing) untuk membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak sepaham
dan segolongan. Mereka didoktrin bahwa kelompok di luarnya adalah musuh
Tuhan, hartanya halal dirampas, darahnya halal ditumpahkan, dan semua itu
dilakukan semata sebagai pembelaan dan pengabdian terhadap Tuhan. Paham
dan doktrin keagamaan seperti ini juga amunisi bagi munculnya sikap prejudice, bigotry, dan hatred. Adalah merupakan realitas
sejarah, sosial, politik, dan bahkan teologis bahwa di atas planet bumi
ini dihuni oleh beragam suku bangsa dan beragam agama yang kemudian
menciptakan rumah-rumah bernama negara yang masing-masing berdaulat.
Dulu ketika penduduk bumi masih sedikit, apa yang dinamakan negara dalam
pengertian hari ini belum ada dan memang tidak diperlukan. Tetapi, hari
ini ketika penduduk bumi sudah mencapai lebih dari enam miliar,
pembentukan rumah-rumah bernama negara bermunculan. Ada negara yang
kemunculannya disemangati oleh kesetiaan pada nilai-nilai kekeluargaan
(dinasti), keagamaan, kesukuan, kemerdekaan, kemanusiaan, dan sebagainya.
Jadi, hampir semua negara lahir didahului dengan perjuangan berdarah.
Di sana ada kebencian, permusuhan, penaklukan, peperangan, dan
pembunuhan. Semakin beradab semua bangsa, mestinya semakin berkurang
konflik fisik dan kekerasan, lalu dialihkan pada dialog, perundingan, dan
negosiasi dalam suasana damai. Indonesia sebagai masyarakat yang amat
majemuk memiliki peluang dan panggilan kemanusiaan yang amat mulia
bagaimana menciptakan tradisi dialog secara damai sebagai kontribusi pada
dunia, sebagai kontra warisan a
culture of hatred. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar