Jumat, 19 April 2013

The Culture of Hatred


The Culture of Hatred
Komaruddin Hidayat  ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 17 April 2013

  
Dalam diri manusia terdapat dua macam emosi yang bertolak belakang, yang keduanya ketika mengkristal dan menemukan objeknya akan mampu melahirkan tindakan ekstrem, jauh di luar dugaan kita semua, yaitu kekuatan cinta dan benci. 

Banyak karya dan peristiwa besar dalam sejarah yang digerakkan oleh kekuatan cinta dan benci. Monumen cinta yang paling terkenal adalah Taj Mahal di India. Sebaliknya adalah kekuatan rasa benci. Kebencian yang intens akan menimbulkan daya rusak yang juga di luar dugaan terhadap musuh yang dibencinya. Berbagai peristiwa perang dan teror pasti memiliki akar kebencian terhadap yang lain. Dalam bahasa Inggris terdapat kata-kata serumpun yang menggambarkan emosi kebencian yang tumbuh dalam diri manusia antara lain hate, dislike, detestation, enmity, ill-will, malevolence. 

Berbagai emosi kebencian itu memiliki daya rusak terhadap harmoni sosial. Terlebih lagi ketika kebencian itu mengental sebagai emosi kolektif dan melahirkan sikap kelompok berupa prejudice, bigotry, dan hatred. Semua katakata ini menunjukkan intensitas emosi kebencian satu kelompok terhadap kelompok yang berbeda, atau komunitas tertentu, yang penyebabnya tidak lagi rasional dan diwariskan secara turun-temurun. Berbagai tragedi konflik antarsuku, ras, bangsa, dan komunitas beragama seringkali didorong oleh kebencian yang diwariskan secara turun-temurun sehingga mengalahkan upaya damai sekalipun disertai penjelasan rasional panjang-lebar. 

Yang memprihatinkan, sikap prejudice dan bigotry seringkali juga melekat pada mereka yang dari segi pendidikan sudah tinggi, yang mestinya mampu berpikir dan bersikap rasional, bukannya emosional. Sikap ini semakin mengental dan memiliki daya destruksi tinggi ketika mendapatkan amunisi dari keyakinan agama sehingga memusuhi dan menghancurkan mereka yang berbeda agama itu kesalehan dan membela Tuhan. Bertemunya semangat membela agama dan etnis menjadi satu biasanya melahirkan militansi yang amat dahsyat dan seseorang atau kelompok rela mati untuk mempertahankannya atau bahkan bersikap agresif.

Ini mudah diamati di berbagai belahan dunia. Indonesia dengan ragam etnis, budaya, agama yang penduduknya tersebar ke ribuan pulau sangat potensial bagi munculnya a culture of hatred kalau pemerintah dan masyarakat tidak kerja keras untuk menjaga kesatuan Nusantara yang merupakan keajaiban politik dan budaya ini. Andaikan peta entitas Indonesia ini diposisikan di Eropa atau Timur Tengah, itu ekuivalen dengan 40-an negara. Jadi, sangat wajar kalau dunia merasa kagum terhadap realitas sosial dan geografis Indonesia yang sedemikian majemuk dan terjaga kesatuannya. 

Namun, keutuhan dan keharmonisan hidup warga Nusantara ini tidak bisa disikapi dengan taken for granted. Benihbenih konflik bermunculan di sana-sini. Jika pemerintah tidak bisa memberantas korupsi dan menyejahterakan warga negaranya dengan adil dan merata, sangat mungkin akan muncul sentimen negatif, bahkan rasa antipati, beberapa daerah terhadap pemerintah pusat yang merepresentasikan negara Indonesia. Mereka yang merasa daerahnya makmur dan kaya, namun warganya terbelakang, sementara hasil alamnya disedot oleh pusat, akan mudah diprovokasi bagi munculnya kebencian beberapa tokoh dan kelompok yang pada urutannya melahirkan a culture of hatred terhadap pihak lain yang dianggap menyengsarakan mereka. 

Yang juga perlu dicermati adalah munculnya gerakan berlabel keagamaan yang melakukan cuci otak (brain washing) untuk membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak sepaham dan segolongan. Mereka didoktrin bahwa kelompok di luarnya adalah musuh Tuhan, hartanya halal dirampas, darahnya halal ditumpahkan, dan semua itu dilakukan semata sebagai pembelaan dan pengabdian terhadap Tuhan. Paham dan doktrin keagamaan seperti ini juga amunisi bagi munculnya sikap prejudice, bigotry, dan hatred. Adalah merupakan realitas sejarah, sosial, politik, dan bahkan teologis bahwa di atas planet bumi ini dihuni oleh beragam suku bangsa dan beragam agama yang kemudian menciptakan rumah-rumah bernama negara yang masing-masing berdaulat. 

Dulu ketika penduduk bumi masih sedikit, apa yang dinamakan negara dalam pengertian hari ini belum ada dan memang tidak diperlukan. Tetapi, hari ini ketika penduduk bumi sudah mencapai lebih dari enam miliar, pembentukan rumah-rumah bernama negara bermunculan. Ada negara yang kemunculannya disemangati oleh kesetiaan pada nilai-nilai kekeluargaan (dinasti), keagamaan, kesukuan, kemerdekaan, kemanusiaan, dan sebagainya. Jadi, hampir semua negara lahir didahului dengan perjuangan berdarah. 

Di sana ada kebencian, permusuhan, penaklukan, peperangan, dan pembunuhan. Semakin beradab semua bangsa, mestinya semakin berkurang konflik fisik dan kekerasan, lalu dialihkan pada dialog, perundingan, dan negosiasi dalam suasana damai. Indonesia sebagai masyarakat yang amat majemuk memiliki peluang dan panggilan kemanusiaan yang amat mulia bagaimana menciptakan tradisi dialog secara damai sebagai kontribusi pada dunia, sebagai kontra warisan a culture of hatred.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar