Kerusuhan harus diterima sebagai bagian dari
demokrasi, lengkap dengan aksesori tambahan berupa pembakaran, perusakan
fasilitas pemerintah, atau apapun instalasi yang dilewati.
Pemilu merupakan barang pecah belah demokrasi, meski tak selalu sebening
gelas, tapi mudah retak. Kemarahan karena kalah dalam pilkada, cukup
dilampiaskan dengan melempar satu gelas ke tembok. Masalahnya tak cukup
gelas untuk semua, jadi batu, kayu, besi, busur, papporo, dan api ikut
dilemparkan. Menerima demokrasi harus juga dengan semua
keburukankeburukan eksesnya, seperti bentrokan, kerusuhan, amuk massa,
dan tindakan kemarahan anonim lainnya.
Kalau hanya mau menerima satu sisi miring kebaikan demokrasi, maka
Indonesia tak akan riuh tinggi dengan para politisi hitam dan
belang-belang. Salah bila menempatkan tindakan anarkistis massa, satu
kalimat dengan demokrasi maupun subdomain-nya berupa pilgub/pilkada.
Anarkistis dan tindakan anarkis berada di luar domain demokrasi.
Demokrasi sejenis olahraga super-keras, tapi tak ada bola untuk
ditendang, meski ada gawang imajiner saat perhitungan suara.
Kerusuhan dalam Pilgub Sulsel atau Pilkada Palopo, harus diterima sebagai
suatu bagian dari prinsip demokrasi, bukan menolaknya sebagai cercaan
terhadap para pelaku. Prinsip utama demokrasi, yakni “Dari pemenang, oleh
pemenang, dan untuk pemenang”. Demokrasi hanya sukses untuk mereka yang
menjadi pemenang. Bagian untuk yang kalah hanya ‘enam spasi’ dan ‘dua
tanda koma’ dari prinsip demokrasi.
Di luar zona enam spasi dan dua koma itu, anarkistis massa akan
memerankan episode baru yang berapi-api. ”Setiap kali seorang anarkis
berkata, saya percaya pada demokrasi, maka selalu ada peri yang jatuh di
suatu tempat, lalu mati,” ujar JM Barrie dalam “Peter Pan 1928”. Tidak
ada satu karakter makhluk hidup yang sekarat ketika Palopo mengalami
kerusuhan. Kalaupun ada peri mati, itulah tragedi kejatuhan
‘peri-kemanusiaan’.
Enam jarak spasi itu akan dipergunakan pihak yang kalah dalam
melampiaskan tendangan yang tanpa mengenai bola. Enam spasi bisa mewakili
menit, jam, dan hari. Massa dua pasangan, yakni Ilham Arief Sirajuddin-
Azis Qahhar Muzakkar (IA) dan Syahrul Yasin Limpo- Agus Arifin Nu’mang
(Sayang) terlibat bentrok, terjadi kurang dari enam jam pascapenetapan
Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan oleh Komisi Pemilihan Umum (Kamis,
31/1).
Massa IA bahkan melampiaskan kemarahan, kurang dari enam menit sebelum
selesai rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara sekaligus penetapan
gubernur terpilih oleh KPU Sulsel di Hotel Singgasana. Teknik membakar
motor sendiri sebagai pemancing kerusuhan, cukup sukses merapatkan amarah
dari mereka yang konvoi di Jalan Pattimura Makassar. Kerusuhan memang
harus dilakukan pada tempat mencolok dan perlu mengusik riuh
perekonomian.
Khusus untuk Makassar, pilihan pemancing rusuh di sentra bisnis merupakan
kelogisan dari perayaan kemarahan, seperti yang terjadi di Jalan
Pattimura, Somba Opu, Penghibur, dan Pasar Ikan. Tidak hanya dalam urusan
pemilu, perluasan kebencian memang harus dilakukan pada pusat kepemilikan
para pemodal. Ketika kecenderungan ‘occupy’terjadi di beberapa negara,
pilihan kemarahan rasional dan kedongkolan logis juga dilakukan di
sentra-sentra per-dagangan.
Kemarahan seperti itu bukan tindakan tolol para setan yang akan menggigit
ekornya sendiri, tapi dilakukan dengan melibatkan sisi ke-lucifer-an yang
pintar. Kekalahan adalah wilayah gelap dalam pilkada, jadi perlu api
sebagai penerang. Tentu bukan dengan membakar lilin dan obor, sebagaimana
pertunjukan kedukaan da-lam seni ja-lanan. Penerang itu harus dilakukan
dengan membakar motor, atribut partai, gedung, mobil, dan benda apapun
berkaitan dengan struktur yang ada dalam pilkada.
Pers merupakan pilar garam dalam pilkada, karena bumbu demokrasi
bagaimana pun enak racikannya harus dibubuhi rasa asin. Kekalahan perlu
sajian menu ekstrem. Kalau biasanya garam langsung dimasukkan ke masakan,
maka kali ini perlu diubah pengolahannya dengan membakar pilar itu. Itu
yang terjadi pada Palopo Pos dalam kerusuhan Pilkada (Ahad 31/3/13).
Pers merupakan tonggak debu keempat penopang rumah serbuk demokrasi,
seharusnya cukup dengan siraman air, bisa melelehkan tinta yang mengecati
tiang penopang bangunan itu. Seiring detik ke menit, tak selalu ada tinta
yang mewarnai hitam aksara di tonggak debu itu. Api merupakan pilihan
untuk mengembalikan ke abu, apa yang sebelumnya berasal dari rekatan
bubuk-bubuk.
Eksistensi pers tak akan hancur oleh air dan api, selama debu itu masih
bisa menggarami setiap kabar agar menjadi berita asin secukupnya.
Seharusnya para jurnalis tak usah menambah ricuh kemarahan karena
pembakaran, karena pers tak akan habis riwayat dari sebuah kantor yang
jadi bara. Tinta pers yang terbakar pada kertas adalah sejarah hangus
suatu demokrasi. Pilihan massa untuk membakar bukanlah serangan acak,
karena kekalahan selalu lebih rumit urusannya daripada kemenangan.
Urutan pembakaran memang harus beragam tanpa perlu ada dendam pribadi.
Tidak mungkin ada pribadi-pribadi bersekongkolun- tuk memilih pembakaran
kantor DPD Partai Golkar Palopo, kantor Wali Kota Palopo, kantor Koran Palopo
Pos, kantor camat, dan bangunan perguruan tinggi serta sejumlah fasilitas
umum lainnya. Semua yang dibakar karena berada di alur panas area
pilkada.
Selain kantor Koran Palopo Pos, semua target pembakaran memang berada
dalam kenormalan suatu konvoi kerusuhan dan amuk massa. Seperti halnya
Pilkada Sulsel, Pilkada Palopo juga masih berada dalam modus operandi
‘enam jarak spasi’. Kemarahan diparalelkan kurang dari enam jam
pengobarannya, pascapengumuman kemenangan oleh KPU Palopo.
Ketika IA kalah melawan Sayang, proses dua koma terjadi ketika kalah dua
kali pada perhitungan cepat dan perhitungan riil. Kurang dari enam hari,
setelah rentetan kekalahan, gugatan pun diterbangkan ke Jakarta.
“Bismillahirrahmanirahim, IA menggugat di MK,” kata Ilham saat konferensi
pers di Posko IA, Jalan Gunung Batu Putih, Makassar, (Sabtu 2/2/13).
Itu kekalahan sempurna dan selesai episodenya, ketika gugatan IA ditolak
MK. Sidang hasil sengketa Pilgub Sulsel 2013 di gedung MK pada pukul
19.25 Wita, menetapkan penolakan atas gugatan IA (Selasa (26/2/13).
Kekalahan di Pilkada Palopo masih satu koma, karena cuma melewati KPU.
Seharusnya perlu satu kekalahan lagi bagi Haidir Basir- Thamrin Jufri
(Hati) untuk membuat kemenangan pihak Judas-Amir (HA) menjadi komplet.
Terlalu cepat kemurkaan berapi-api itu untuk disegerakan membakar seisi
kota. Berharap kekisruhan dituntaskan di MK, bisa membuat pihak yang
kalah membantu menyempurnakan kemenangan pihak pesaing. Pendukung
demokrasi harus percaya pada angka-angka, meski ada bilangan bertambah
digit karena penggelembungan suara.
Di saat ketidakpercayaan pada angka-angka mengapung di permukaan curiga,
siapapun harus menerima ekses papakerma dari massa yang tanduknya memerah
oleh rasa marah di kepala. Kalau tidak siap menerima, polisi harus
berbenturan dengan massa dalam semua pola perlakuan represif.
Hanya polisi di Palopo tak punya kemampuan deteksi dini sehingga bagian
gelap demokrasi harus terjadi di Bumi Sawerigadingitu. Tak bisa lagi
mengangkat satu seloki untuk polisi, karena gelas telah retak di tangan
KPU. Demokrasi harus demikian, terimalah apinya, kalaupun tidak, semua
akan terkena asapnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar