Jumat, 19 April 2013

Enam Spasi dan Dua Koma Demokrasi


Enam Spasi dan Dua Koma Demokrasi
Ostaf Al Mustafa  ;  Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Sulawesi-Selatan
KORAN SINDO, 19 April 2013

  
Kerusuhan harus diterima sebagai bagian dari demokrasi, lengkap dengan aksesori tambahan berupa pembakaran, perusakan fasilitas pemerintah, atau apapun instalasi yang dilewati. 

Pemilu merupakan barang pecah belah demokrasi, meski tak selalu sebening gelas, tapi mudah retak. Kemarahan karena kalah dalam pilkada, cukup dilampiaskan dengan melempar satu gelas ke tembok. Masalahnya tak cukup gelas untuk semua, jadi batu, kayu, besi, busur, papporo, dan api ikut dilemparkan. Menerima demokrasi harus juga dengan semua keburukankeburukan eksesnya, seperti bentrokan, kerusuhan, amuk massa, dan tindakan kemarahan anonim lainnya. 

Kalau hanya mau menerima satu sisi miring kebaikan demokrasi, maka Indonesia tak akan riuh tinggi dengan para politisi hitam dan belang-belang. Salah bila menempatkan tindakan anarkistis massa, satu kalimat dengan demokrasi maupun subdomain-nya berupa pilgub/pilkada. Anarkistis dan tindakan anarkis berada di luar domain demokrasi. Demokrasi sejenis olahraga super-keras, tapi tak ada bola untuk ditendang, meski ada gawang imajiner saat perhitungan suara. 

Kerusuhan dalam Pilgub Sulsel atau Pilkada Palopo, harus diterima sebagai suatu bagian dari prinsip demokrasi, bukan menolaknya sebagai cercaan terhadap para pelaku. Prinsip utama demokrasi, yakni “Dari pemenang, oleh pemenang, dan untuk pemenang”. Demokrasi hanya sukses untuk mereka yang menjadi pemenang. Bagian untuk yang kalah hanya ‘enam spasi’ dan ‘dua tanda koma’ dari prinsip demokrasi. 

Di luar zona enam spasi dan dua koma itu, anarkistis massa akan memerankan episode baru yang berapi-api. ”Setiap kali seorang anarkis berkata, saya percaya pada demokrasi, maka selalu ada peri yang jatuh di suatu tempat, lalu mati,” ujar JM Barrie dalam “Peter Pan 1928”. Tidak ada satu karakter makhluk hidup yang sekarat ketika Palopo mengalami kerusuhan. Kalaupun ada peri mati, itulah tragedi kejatuhan ‘peri-kemanusiaan’. 

Enam jarak spasi itu akan dipergunakan pihak yang kalah dalam melampiaskan tendangan yang tanpa mengenai bola. Enam spasi bisa mewakili menit, jam, dan hari. Massa dua pasangan, yakni Ilham Arief Sirajuddin- Azis Qahhar Muzakkar (IA) dan Syahrul Yasin Limpo- Agus Arifin Nu’mang (Sayang) terlibat bentrok, terjadi kurang dari enam jam pascapenetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan oleh Komisi Pemilihan Umum (Kamis, 31/1). 

Massa IA bahkan melampiaskan kemarahan, kurang dari enam menit sebelum selesai rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara sekaligus penetapan gubernur terpilih oleh KPU Sulsel di Hotel Singgasana. Teknik membakar motor sendiri sebagai pemancing kerusuhan, cukup sukses merapatkan amarah dari mereka yang konvoi di Jalan Pattimura Makassar. Kerusuhan memang harus dilakukan pada tempat mencolok dan perlu mengusik riuh perekonomian. 

Khusus untuk Makassar, pilihan pemancing rusuh di sentra bisnis merupakan kelogisan dari perayaan kemarahan, seperti yang terjadi di Jalan Pattimura, Somba Opu, Penghibur, dan Pasar Ikan. Tidak hanya dalam urusan pemilu, perluasan kebencian memang harus dilakukan pada pusat kepemilikan para pemodal. Ketika kecenderungan ‘occupy’terjadi di beberapa negara, pilihan kemarahan rasional dan kedongkolan logis juga dilakukan di sentra-sentra per-dagangan. 

Kemarahan seperti itu bukan tindakan tolol para setan yang akan menggigit ekornya sendiri, tapi dilakukan dengan melibatkan sisi ke-lucifer-an yang pintar. Kekalahan adalah wilayah gelap dalam pilkada, jadi perlu api sebagai penerang. Tentu bukan dengan membakar lilin dan obor, sebagaimana pertunjukan kedukaan da-lam seni ja-lanan. Penerang itu harus dilakukan dengan membakar motor, atribut partai, gedung, mobil, dan benda apapun berkaitan dengan struktur yang ada dalam pilkada. 

Pers merupakan pilar garam dalam pilkada, karena bumbu demokrasi bagaimana pun enak racikannya harus dibubuhi rasa asin. Kekalahan perlu sajian menu ekstrem. Kalau biasanya garam langsung dimasukkan ke masakan, maka kali ini perlu diubah pengolahannya dengan membakar pilar itu. Itu yang terjadi pada Palopo Pos dalam kerusuhan Pilkada (Ahad 31/3/13). 

Pers merupakan tonggak debu keempat penopang rumah serbuk demokrasi, seharusnya cukup dengan siraman air, bisa melelehkan tinta yang mengecati tiang penopang bangunan itu. Seiring detik ke menit, tak selalu ada tinta yang mewarnai hitam aksara di tonggak debu itu. Api merupakan pilihan untuk mengembalikan ke abu, apa yang sebelumnya berasal dari rekatan bubuk-bubuk. 

Eksistensi pers tak akan hancur oleh air dan api, selama debu itu masih bisa menggarami setiap kabar agar menjadi berita asin secukupnya. Seharusnya para jurnalis tak usah menambah ricuh kemarahan karena pembakaran, karena pers tak akan habis riwayat dari sebuah kantor yang jadi bara. Tinta pers yang terbakar pada kertas adalah sejarah hangus suatu demokrasi. Pilihan massa untuk membakar bukanlah serangan acak, karena kekalahan selalu lebih rumit urusannya daripada kemenangan. 

Urutan pembakaran memang harus beragam tanpa perlu ada dendam pribadi. Tidak mungkin ada pribadi-pribadi bersekongkolun- tuk memilih pembakaran kantor DPD Partai Golkar Palopo, kantor Wali Kota Palopo, kantor Koran Palopo Pos, kantor camat, dan bangunan perguruan tinggi serta sejumlah fasilitas umum lainnya. Semua yang dibakar karena berada di alur panas area pilkada. 

Selain kantor Koran Palopo Pos, semua target pembakaran memang berada dalam kenormalan suatu konvoi kerusuhan dan amuk massa. Seperti halnya Pilkada Sulsel, Pilkada Palopo juga masih berada dalam modus operandi ‘enam jarak spasi’. Kemarahan diparalelkan kurang dari enam jam pengobarannya, pascapengumuman kemenangan oleh KPU Palopo. 

Ketika IA kalah melawan Sayang, proses dua koma terjadi ketika kalah dua kali pada perhitungan cepat dan perhitungan riil. Kurang dari enam hari, setelah rentetan kekalahan, gugatan pun diterbangkan ke Jakarta. “Bismillahirrahmanirahim, IA menggugat di MK,” kata Ilham saat konferensi pers di Posko IA, Jalan Gunung Batu Putih, Makassar, (Sabtu 2/2/13). 

Itu kekalahan sempurna dan selesai episodenya, ketika gugatan IA ditolak MK. Sidang hasil sengketa Pilgub Sulsel 2013 di gedung MK pada pukul 19.25 Wita, menetapkan penolakan atas gugatan IA (Selasa (26/2/13). Kekalahan di Pilkada Palopo masih satu koma, karena cuma melewati KPU. Seharusnya perlu satu kekalahan lagi bagi Haidir Basir- Thamrin Jufri (Hati) untuk membuat kemenangan pihak Judas-Amir (HA) menjadi komplet. 

Terlalu cepat kemurkaan berapi-api itu untuk disegerakan membakar seisi kota. Berharap kekisruhan dituntaskan di MK, bisa membuat pihak yang kalah membantu menyempurnakan kemenangan pihak pesaing. Pendukung demokrasi harus percaya pada angka-angka, meski ada bilangan bertambah digit karena penggelembungan suara. 

Di saat ketidakpercayaan pada angka-angka mengapung di permukaan curiga, siapapun harus menerima ekses papakerma dari massa yang tanduknya memerah oleh rasa marah di kepala. Kalau tidak siap menerima, polisi harus berbenturan dengan massa dalam semua pola perlakuan represif. 

Hanya polisi di Palopo tak punya kemampuan deteksi dini sehingga bagian gelap demokrasi harus terjadi di Bumi Sawerigadingitu. Tak bisa lagi mengangkat satu seloki untuk polisi, karena gelas telah retak di tangan KPU. Demokrasi harus demikian, terimalah apinya, kalaupun tidak, semua akan terkena asapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar