Kita mungkin adalah kumpulan
anak muda yang tak sabar! Lahir dari kehidupan keras sebuah kampus
berwarna darah.
Kawan, kita adalah matahari,
nasi sekepal, sesekali mi instan yang tak masak betul. Semuanya cukup
jadi bekal bagi pemberontakan, melawan apa saja yang kita pandang tak
adil; tak berpihak pada apa yang kita yakini benar.
Lalu kita sama-sama sadar bahwa
suara itu terbatas dan tak cukup lama bertahan karena riuh rendahnya
kendaraan lalu-lalang, suara pedagang asongan, dan tentu saja tulinya
para penguasa. Maka, kita mulai menuliskan amarah kita di media apa saja,
lantas bergabung menjadi bagian dari pers mahasiswa.
Indah betul masa itu ketika aksi
jalanan, mantra tulisan, dan cinta menjadi satu. Menjadi bagian dari
gelora ”anak-anak muda” yang ingin keadilan ditegakkan, suara kebenaran
di bagikan!
Episode itu kembali berputar di
kepalaku. Ketika menyaksikan namamu di sebut-sebut di televisi terkait
kasus bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) seorang mantan ketua
partai. Wiwin Suwandi, sekretaris pribadi Abraham Samad, sang ketua KPK,
menjadi orang di balik bocornya sprindik Anas. Segera saya menghubungimu
melalui pesan singkat, menanyakan kebenaran kabar tersebut.
Dengan tenang kau menjawab, ”Terima kasih senior, mohon doa dan
dukungannya. Yakinlah, saya tidak menjual idealisme dan kehormatan dalam
kasus ini. Saya hanya ingin menunjukkan idealisme yang mungkin berlawanan
dengan sistem.”
Jawaban yang tak jauh berbeda
dari apa yang dahulu sering kita bicarakan tujuh atau enam tahun yang
lalu saat kita berjumpa terakhir kalinya di sebuah sore di fakultasmu:
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kala itu, kita terlibat diskusi
panjang tentang perjalanan mahasiswa di akhir masa studi.
Kemudian aku tahu, kau
mendirikan Lembaga Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, sebuah
lembaga yang banyak terlibat pada isu hukum dan advokasi. Tahun lalu,
dari kawan kita, aku dengar dirimu akhirnya diangkat menemani Bung
Abraham Samad, ketua KPK terpilih.
Belenggu Etika dan Sistem
Maka, seolah melanjutkan episode
diskusi yang terpotong, banyak hal kembali kita bicarakan menyangkut
keadaan negeri ini. Termasuk soal lembaga tempatmu bekerja, lembaga yang
jadi begitu tenar karena kerap berani menindak ”orang-orang kuat” di
negeri ini. Mulai dari politisi, aparat kepolisian, hingga sejumlah
petinggi negara lainya.
Kalian dengan berani melibas
mereka yang berlaku curang! Dirimu masih berapi-api seperti dahulu, masih
berani dan bernyali seperti dahulu. Ingin menegakkan keadilan dan segala
sesuatu yang kau pandang benar!
Kadang aku khawatir terhadap
kondisimu. Karena, dalam benakku yang bukan siapa-siapa ini,
serangan balik dari orang-orang yang kalian habisi pasti terjadi. Lalu,
hari ini tiba. Sebuah kecelakaan terjadi. Namamu disebutkan sebagai orang
yang paling bertanggung jawab atas bocornya sprindik yang misterius itu.
Sebagai kawan, aku bisa memahami
langkahmu itu. Langkah anak muda yang merasa birokratisasi, pertimbangan
kuasa, kadang terlalu lambat untuk menyampaikan kebenaran kepada rakyat.
Dirimu terbiasa menyuarakan sesuatu yang kau anggap benar secara
langsung, membaginya kepada media yang dirimu kenali betul wataknya; ”para pemburu aktualitas”.
Benar juga katamu, ”kau hanya menyampaikan keyakinanmu
yang mungkin berlawanan dengan sistem”. Namun, itulah negeri ini,
kita selalu saja diperhadapkan dan dibenturkan oleh sistem. Pertanyaanku
kemudian, mengapa para petinggi di lembagamu
itu tidak menyuarakannya dari awal kalau
memang sejak dahulu Anas Urbaningrum atau siapa pun yang kau bocorkan
sprindiknya telah ditetapkan sebagai tersangka?
Mengapa mereka perlu waktu lama
untuk menyuarakan hal itu? Bukankah jika alat bukti sudah cukup mereka
bisa langsung menyebutkan tersangkanya kepada khalayak luas? Bukankah
membiarkan mereka yang terbukti melakukan kejahatan dalam waktu yang lama
justru membuat kemungkaran menjadi lebih panjang?
Memang, kadang etika dan sistem
adalah dalih yang ampuh mengontrol suara kebenaran. Seperti juga kata
Michel Foucault, di balik sebuah sistem tersembunyi pengetahuan yang
dibangun untuk mengontrol kesadaran. Itulah kita, oleh sistem maka
pengetahuan akan kebenaran harus dibangun dengan dalih kekuasan; ”jika bertentangan, kita mungkin saja
akan dibersihkan dan dibuang serta dicap sebagai orang-orang yang tak
taat sistem, lalu dikatakan tak sadar (gila)!”
Kembali kepada kasusmu, aku
yakin bahwa apa yang kau lakukan tidak bermaksud untuk mendapatkan
keuntungan dari pihak-pihak yang senang dari jatuhnya mantan ketua partai
tersebut. Justru dirimu ingin memberi kabar bagi para penguasa bahwa dari
rahim ”jas merah” masih ada para pembawa berita untuk kebenaran.
Dirimu hanya ingin menjadi lilin
yang menerangi dari pekatnya zaman ini. Di mana kita tidak lagi tahu mana
jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Walau kecil, setidaknya
dirimu sudah menyalakan lilin itu, yang mungkin akan membakar habis
dirimu. Itulah risiko kita, risiko anak-anak muda yang di pandang sering
tergesa-gesa dan tak sabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar