|
Salah satu variabel yang turut
menentukan konsolidasi demokrasi Indonesia adalah kualitas hubungan
sipil-militer. Kerangka kerja demokratis pada dasarnya memberikan porsi
tanggung jawab besar kepada otoritas politik sipil untuk mengendalikan
militer.
Jika dalam proses demokratisasi
profesionalitas militer gagal dibangun, kegagalan terbesar bersumber pada
kapasitas sipil dalam melakukan institusionalisasi hubungan sipil-militer
yang kokoh.
Tulisan ini menjabarkan lima
tingkatan kendali sipil atas militer yang seharusnya terjadi di
Indonesia, yaitu: (1) pemerintah dan DPR berhasil merumuskan
regulasi-regulasi politik untuk menyelenggarakan pertahanan negara; (2)
Menteri Pertahanan merumuskan strategi dan kebijakan pertahanan militer
sebagai pedoman umum bagi perumusan strategi militer di tingkat
operasional dan taktis; (3) Dewan Pertahanan Nasional merumuskan
kebijakan terpadu untuk mewujudkan sinergi antarkementerian/lembaga lain
dengan Kementerian Pertahanan dan TNI dalam menghadapi ancaman
nonmiliter; (4) anggaran operasional TNI sepenuhnya berasal dari APBN;
dan (5) kendali pengerahan pasukan TNI ada di otoritas politik presiden
dan DPR.
Kendali Regulasi dan Strategi
Di tingkat kendali pertama,
pemerintah dan DPR belum berhasil menuntaskan paket undang-undang yang
diperlukan untuk menguatkan kendali sipil atas militer. Sampai saat ini,
hanya UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 Tahun
2004 tentang TNI yang berhasil disahkan pada masa kepresidenan Megawati
Soekarnoputri. Hingga tahun kesembilan masa jabatannya, Presiden SBY
belum juga berhasil mengesahkan paket UU utama yang berkaitan dengan
pertahanan dan militer.
Beberapa RUU seperti Keamanan
Nasional, Komponen Cadangan dan Pendukung, Bela Negara, Mobilisasi,
Peradilan Militer, dan Tugas Perbantuan bukan saja belum berhasil
disahkan, melainkan juga malah memunculkan polemik publik tentang
kemungkinan kembalinya peran militer dalam sistem sosial dan politik
Indonesia.
Di tingkat kendali kedua dan
ketiga, pada 2008 telah terbentuk produk-produk strategis Kementerian
Pertahanan seperti Kaji Ulang Pertahanan (Strategic Defense Review), Buku
Putih Pertahanan, Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara,
serta Postur Pertahanan Negara. Di kedua tingkat ini, konsolidasi kendali
sipil akan terwujud jika terjadi sinkronisasi dokumen kebijakan
pertahanan dengan strategi dan doktrin militer. Sinkronisasi ini
dilakukan terutama dengan menyelaraskan Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma
dan ketiga doktrin angkatan (AD—Kartika Eka Paksi, AU—Swa Buana Paksa,
dan AL—Eka Sasana Jaya) dengan Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara.
Konsolidasi lain yang diharapkan
terjadi adalah pembentukan kebijakan dan postur pertahanan nonmiliter
untuk menghadapi ancaman nonmiliter. Untuk membentuk kebijakan dan postur
itu, presiden harus membentuk Dewan Pertahanan Nasional sesuai mandat
Pasal 15 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dewan Pertahanan
Nasional ini mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan terpadu yang
memungkinkan terpenuhinya prinsip kesemestaan dalam sistem pertahanan.
Terobosan utama pemerintahan SBY
di masa Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro terjadi di tingkat keempat
kendali sipil atas militer. Saat ini, anggaran operasional militer
sepenuhnya berasal dari APBN. Topangan anggaran di luar APBN yang
bersifat struktural dan sistematis, terutama yang berasal dari bisnis
militer, telah dihilangkan sesuai mandat Pasal 76 UU No 34 Tahun 2004
tentang TNI. Alokasi anggaran ini bahkan berhasil dinaikkan secara
signifikan sehingga sejak 2007 anggaran Kementerian Pertahanan dan Mabes
TNI merupakan pos anggaran terbesar pemerintah pusat.
Kenaikan signifikan ini juga
diikuti dengan dukungan jangka menengah untuk pengadaan senjata sebesar
Rp 156 triliun dari tahun 2010 hingga tahun 2014 sebagai bagian dari
pembangunan Kekuatan Pertahanan Minimum 2024.
Kegamangan Pengerahan TNI
Di tingkat kelima, masalah utama
kendali sipil atas militer terlihat di kasus penyerangan markas polisi di
OKU, Sumatera Selatan, dan pelibatan anggota TNI pada penyerangan Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Kedua kasus itu secara ekstrem
menunjukkan adanya kelemahan mekanisme dan prosedur pengerahan kekuatan
sehingga ada unit TNI bisa melakukan penggunaan kekuatan represif tanpa
proses politik yang sah.
Kegamangan politik untuk
pengerahan TNI memang belum berhasil dihilangkan. Pasal 14 UU No 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara mengatur secara rinci prosedur pengerahan
kekuatan TNI untuk kebutuhan operasi militer perang. Untuk operasi
militer selain perang, prosedur pengerahan diatur Pasal 7 UU No 34 Tahun
2004 tentang TNI. Hingga hari ini, kedua prosedur pengerahan itu belum
pernah secara formal dilakukan presiden dan DPR.
Pasal 14 memang belum pernah digunakan
karena Indonesia belum pernah menyatakan perang dengan negara lain.
Namun, Pasal 7 UU TNI seharusnya sudah beberapa kali berlaku seperti
untuk penugasan Satuan Tugas Merah Putih dalam rangka operasi pembebasan
sandera bajak laut Somalia, misi perdamaian Pasukan Garuda di Lebanon,
perbantuan TNI untuk beberapa operasi tanggap darurat penanggulangan
bencana, atau pengamanan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya
oleh Pasukan Pengaman Presiden.
Kegamangan ini sebaiknya segera
dihilangkan dengan merumuskan suatu konsistensi prosedur pengerahan TNI
sehingga menutup kemungkinan munculnya celah kompromi politik yang bisa
melemahkan kendali sipil atas militer.
Intervensi Militer
Salah satu ujian terbesar bagi
kendali sipil atas militer adalah apakah TNI akan terlibat atau
dilibatkan dalam melakukan intervensi proses Pemilu 2014. Kajian-kajian
hubungan sipil-militer menunjukkan, militer cenderung akan melakukan
intervensi ke proses politik jika militer memiliki persepsi kuat tentang
adanya kegagalan sipil dalam menyelenggarakan negara, dan sipil yang
gagal ini juga mengganggu kepentingan institusi militer.
Jika kasus korupsi, kelangkaan
bawang, atau kerusuhan Pilkada Poso dipersepsikan TNI sebagai wujud
lemahnya kapasitas sipil, dan persepsi ini diperkuat kegelisahan TNI
tentang campur tangan sipil yang dianggap terlalu dalam, misalnya,
tentang pengadaan senjata atau pergantian pucuk pimpinan TNI, kemungkinan
intervensi militer dalam proses politik Indonesia kembali terbuka.
Kemungkinan intervensi harus
dihilangkan terutama dengan memperkokoh konsolidasi hubungan
sipil-militer. SBY masih punya waktu hingga Oktober 2014 untuk menutup
lubang-lubang yang muncul dalam lima tingkatan hubungan sipil militer. Di
sisa masa baktinya, SBY harus berupaya maksimal menuntaskan paket UU
bidang pertahanan dan militer terutama UU Keamanan Nasional, UU Komponen
Cadangan, dan UU Peradilan Militer. Presiden juga harus kembali
mempertimbangkan pembentukan Dewan Pertahanan Nasional untuk memungkinkan
terwujudkan suatu kebijakan terpadu tentang strategi dan postur
pertahanan semesta.
Di tengah kemungkinan imbas
krisis ekonomi global ke Indonesia, presiden harus bisa menjamin komitmen
kesinambungan alokasi anggaran pertahanan untuk mewujudkan Kekuatan
Pertahanan Minimum 2024.
Kegamangan politik pengerahan
kekuatan TNI harus segera dihilangkan dengan melakukan konsultasi politik
dengan DPR untuk mendapatkan pemahaman tunggal tentang otoritas
pengerahan presiden dan DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar