Rabu, 10 April 2013

Jejak Global Neolib Thatcher


Jejak Global Neolib Thatcher
Juwita Hayyuning Prastiwi  ;  Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Brawijaya
JAWA POS, 10 April 2013

  
Tanggal 8 April 2013, Margaret Hilda Thatcher mengembuskan napas terakhir pada usia 87 tahun. Dunia mengenangnya sebagai perempuan yang berhasil melawan arus dominan patriarki dalam politik. Pada usianya yang menjelang setengah abad, Thatcher berhasil menjadi perempuan pertama yang memimpin partai besar dalam sejarah Britania Raya modern. 

Sebelum menjadi perdana menteri, pada 24 Januari 1976, harian Krasnaya Zvezda (Bintang Merah) di Uni Sovyet memunculkan julukan "Iron Lady" atau "Wanita Besi" kepada Margaret Thatcher. Saat itu, dia bahkan belum genap setahun menjabat sebagai ketua Partai Konservatif. 

Pada saat yang bersamaan, negeri Ratu Elizabeth itu mulai terbenam dalam krisis ekonomi. Pemicunya overproduksi barang-barang manufaktur dalam negeri serta dampak embargo minyak. Tingkat inflasi dan angka pengangguran pun melambung. Maka, gagasan untuk mereposisi peran negara mulai dikedepankan. 

Pada Maret 1979, Inggris menyelenggarakan pemilu. Thatcher berhasil memenangkan kursi perdana menteri (PM). Ibu dua anak kelahiran Grantham, Lincolnshire, itu sekaligus mengukuhkan diri sebagai PM Inggris pertama dan satu-satunya dari kalangan perempuan. 

Sejak Thatcher berkuasa, diktum baru ekonomi memengaruhi Inggris ataupun Britania Raya, bahkan juga ikut mengubah wajah dunia. Thatcher merupakan politikus yang tak mengenal konsesus, berdisiplin, dan keras hati dalam pendirian. Demi melontarkan keyakinan atas semua regulasi ekonominya, Thatcher pernah berseru: "T.I.N.A: There is No Alternative". 

Thatcher mulai menjalankan tampuk kekuasaan di tengah lapuknya teori ekonomi John Maynard Keynes. Ekonomi Keynesian mendasarkan pentingnya peran negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jalan Keynesian itu dipandang berhasil mengentaskan Eropa dan AS dari depresi besar tahun 1930-an dan menjadi model pembangunan pasca-Perang Dunia II. Namun, akhir 1960-an hingga 1970-an ekonomi kembali mengalami stagflasi atau kemandekan. 

Thatcher pun terdorong untuk menjalankan diktum ekonomi yang diyakininya. Bersama koleganya, Presiden Ronald Reagan di AS, lahirlah istilah Reaganomic dan Thatcherism. Fondasinya pada tesis ekonomi Milton Friedman dan Friedrich von Hayek. Pemikiran ekonom Chicago School of Economic dan London School of Economic itu kemudian dikenal sebagai neoliberal policy. 

Pandangan neoliberal mengkritik peran negara dalam ekonomi. Intervensi negara hanya dianggap akan mengganggu mekanisme alami pasar. Penghilangan peran negara secara berangsur-angsur akan menciptakan keadaan yang sempurna guna menuju titik ekuilibrium alias titik keseimbangan pasar. Praktisnya, lahirlah privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, anggaran belanja sosial yang ketat, pemangkasan tarif pajak, dan pemotongan subsidi sektor publik. 

Neoliberalisme kemudian diujicobakan di Amerika Latin. Di Cile, pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet mengudeta Salvador Allende, presiden sosialis yang dipilih secara demokratis. Dengan dukungan AS, Pinochet mulai menjalankan program-program neoliberal dipandu sarjana-sarjana lulusan Chicago (dijuluki Chicago Boys). 

Di Inggris sendiri, Thatcher segera mengeluarkan kebijakan berbeda dari sebelumnya. Demi mengatasi krisis, pemerintah mulai menjalankan pembatasan anggaran belanja pemerintah dan pemotongan subsidi. Saat menjadi menteri pendidikan, Thatcher bahkan telah menghapus susu gratis di sekolah. Partai Buruh menghujatnya sebagai "Si Perampas Susu". (Ini terasa pahit ketika di awal film Iron Lady yang menceritakan dirinya, Thatcher sepuh mengeluhkan harga susu yang naik sepulang dia belanja sendiri di toko). 

Langkah swastanisasi besar-besaran dan spartan Thatcher itu ditulis oleh John Naisbitt dalam bukunya, Megatrends 2000. Tercatat hanya dalam waktu delapan tahun (1980-1988) lebih dari 40 persen BUMN Inggris diswastanisasi. Termasuk di antaranya British Gas, Saving Bank, Jaguar, dan British Airways. 

Di bidang perburuhan, diberlakukan labour market flexibility atau pasar tenaga kerja yang fleksibel serta pemangkasan kekuasaan dan pengaruh serikat buruh. Sepanjang masa kekuasaannya, Thatcher dituding jadi bidan kelahiran enam UU yang dianggap mengekang serikat buruh dan diprotes aneka pemogokan. Salah satu yang paling terkenal adalah pemogokan buruh tambang 1984-1985 yang ditindak represif.

Dalam perjalanannya, diktum ekonomi yang dijalankan Thatcher di Inggris dan Reagan di Amerika itu kemudian diglobalisasi. Lembaga-lembaga donor dan moneter internasional kemudian mempromosikan resep tersebut sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an. Di banyak negeri, termasuk di Indonesia, disuntikkan resep IMF yang disebut structural adjusment program (SAP). 

Berbarengan dengan SAP, berjalanlah pembentukan pakta-pakta perdagangan bebas di berbagai kawasan, semisal AFTA, NAFTA, dan FTAA. Pada periode awal saja, sedikitnya lebih dari 50 negara di berbagai benua mengadopsi model ekonomi yang digagas Thatcher ini. Berbagai penilaian pun bisa diajukan menyangkut dampak yang dihasilkan dari penerapan sistem ekonomi yang kondang dengan jargon globalisasinya tersebut. 

Kini Margaret Thatcher telah tiada. Dia wafat akibat penyakit stroke yang diidapnya. Di Eropa, benua tempat dia lahir, tumbuh, dan memberi pengaruh besar, krisis finansial masih terus berlangsung dan belum tersembuhkan. Angka pengganguran telah mencapai rekor 12 persen. Kondisi ekonomi bergerak lebih buruk dibanding krisis akhir 1970-an saat kali pertama dia mulai berkuasa dan menjalankan regulasi ekonominya. 

Tanpa perlu menghakimi, jejak langkah "Wanita Besi" itu dapat terlihat jelas pada berbagai bangunan ekonomi di banyak negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar