Dua RUU, RUU KUHP dan RUU KUHAP,
diajukan pemerintah ke DPR pada 11 Desember 2012. DPR melalui Komisi III
kemudian mempersiapkan pembahasan 766 pasal RUU KUHP dan 285 pasal RUU
KUHAP. Ini tentu saja memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Dua RUU itu merupakan karya ahli
hukum Indonesia tiga generasi sejak almarhum Prof Oemar Senoaji, Prof
Roeslan Saleh, dan Prof Soedarto. Tiga tokoh dan ahli hukum selanjutnya
menghaluskannya.
RUU KUHAP di bawah koordinasi
Prof Andi Hamzah, sedangkan RUU KUHP di bawah koordinasi Prof Muladi dan
Prof Barda. Misi penyusunan kedua RUU adalah unifikasi hukum dan
kodifikasi hukum pidana Indonesia.
Sejak pemberlakuan UU RI Nomor
7/Drt/1955 jo UU RI Nomor 1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi, banyak UU yang dibentuk di luar
KUHP sekaligus dengan hukum acara yang menyimpang dari UU RI Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Konsekuensi reposisi
perundang-undangan pidana adalah dalam RUU KUHP (2012) beberapa tindak
pidana khusus, termasuk korupsi, menjadi materi muatan Buku Kedua tentang
Kejahatan dengan konsekuensi hukum tindak pidana korupsi tidak lagi
merupakan tindak pidana khusus (special
crimes) dan bersifat luar biasa, melainkan hanya tindak pidana umum (conventional crimes).
Dengan demikian, hukum acara
pidana penerapan tindak pidana tidak boleh lagi menyimpang dari asas-asas
umum hukum pidana yang diakui universal seperti asas praduga tak
bersalah, asas fair and impartial
trial termasuk mekanisme pembuktian terbalik dan tindakan penyadapan,
penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan.
RUU KUHP Dulu
Konsekuensi itu diperkuat
penjelasan penyusun RUU KUHAP yang merujuk pada beberapa konvensi
internasional tentang perlindungan HAM. Sesuai dengan doktrin hukum
pidana bahwa hukum acara pidana (hukum formal) adalah untuk melaksanakan
dan mempertahankan hukum pidana (hukum materiil), sepatutnya pembahasan
RUU KUHP didahulukan daripada RUU KUHAP.
Ide pembahasan paralel kedua RUU
itu rentan inkonsistensi capaian misi konsolidasi penyusun RUU KUHP, dan
berlawanan dengan tujuan keseimbangan antara kepastian hukum dan
keadilan. Kekhawatiran lain, untuk mewujudkan misi konsolidasi, korporasi
dicantumkan sebagai subyek tindak pidana (Bagian Buku Kedua,
Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 6). Langkah maju itu perlu dirumuskan
secara teliti dalam tanggung jawab korporasi karena korporasi bukan
manusia yang memiliki mens rea dan nurani.
Kedua, entitas korporasi abad
ke-21 sangat kompleks, berbeda dengan ketika masih disebut ”perusahaan
dagang” (koophandel) sehingga
perumusan tidak mempertimbangkan asas proporsionalitas dan asas
subsidiaritas (Remmelink, 2003)
dan pendekatan ilmu ekonomi terhadap hukum: asas maksimalisasi,
efisiensi, dan keseimbangan (Cooter
dan Ullen, 2004).
Menempatkan korporasi sebagai
subyek tindak pidana bukan tanpa risiko ekonomi nasional karena berakibat
perilaku korporasi tidak lagi hanya semata-mata aspek hukum perdata,
melainkan juga memiliki karakter ganda, yaitu bermuatan aspek hukum
perdata sekaligus aspek hukum pidana. Sering dalam praktik hukum di
Indonesia, perilaku korporasi memasuki wilayah abu-abu (grey areas).
Di era globalisasi, penempatan
korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam RUU KUHP akan
kontraproduktif. Penempatannya yang hanya pada tindak pidana tertentu
akan merugikan. Padahal, pelaku korporasi bisa pengurusnya residivis,
tidak beritikad baik memasukkan devisa kepada negara seperti tindak
pidana ekonomi, tindak pidana di bidang sumber daya alam, tindak pidana
terorisme, tindak pidana pencucian uang, korupsi, serta tindak pidana di
bidang pertahanan dan telekomunikasi.
Aspek Prosedural
Kekhawatiran terakhir, sekalipun
RUU KUHAP disusun untuk tujuan perlindungan HAM tersangka/terdakwa,
penyusun lebih mengutamakan aspek prosedural yang tampak berlebihan
dibandingkan dengan aspek substansial, yaitu menciptakan kepastian hukum
dan keadilan berlandaskan asas maksimalisasi, efisiensi, dan keseimbangan
(Cooter dan Ullen, 2004);
bahkan berlawanan dengan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas.
Hal ini akan menjadi hambatan serius perencanaan hukum nasional khususnya
rancangan strategis pemberantasan korupsi, terorisme, dan pencucian uang.
Dalam pembahasan di DPR, kedua
RUU dengan total 1.051 pasal tentu memerlukan waktu cukup dan pemikiran
yang jernih dan teliti karena kedua RUU merupakan jantung perlindungan
kedaulatan negara, kedaulatan individu, dan komunitas masyarakat yang
berasaskan kekeluargaan. Jangan sampai demi mempertahankan kepastian
hukum, keadilan, dan perlindungan HAM, keutuhan bangsa dan Negara
Kesatuan RI terkoyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar