Indonesia kini mencuat,
menempati posisinya di dunia sebagai salah satu negara berpendapatan
menengah yang sedang menanjak, melangkah pasti mewujudkan potensinya.
Jalan menuju kesejahteraan dan
demokrasi merupakan jalan yang luar biasa dan sekaligus menantang.
Semangat kewirausahaan yang tak kenal lelah terus mendukung bertumbuhnya
dunia usaha, sementara profesionalisme yang kian meningkat kini mendorong
proses transformasi di tubuh pemerintah.
Jutaan manusia telah mengarungi
perjalanan dari kemiskinan menuju peluang. Melalui berbagai tantangan
sosial dan politik, Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya. Dalam
dekade 1960-an, sekitar 60 persen penduduk hidup dalam kemiskinan dan
produk domestik bruto (PDB) per kapita kurang dari 60 dollar AS. Pada
2012, tingkat kemiskinan telah dipangkas hingga 12 persen, jauh dari
ideal, tetapi tetap kemajuan signifikan ketimbang masa lalu. Kelas
menengah yang kian berkembang membuktikan dirinya sebagai sumber
kreativitas. Berbagai inovasi yang dihasilkan telah menjadi sumber daya
kaya bagi pasar konsumen yang demikian besar dan dinamis.
Indonesia dan Bank Dunia telah
menjalin kemitraan selama hampir 60 tahun. Pada 1968, Bank Dunia membuka
kantor pertamanya di negara berkembang, Indonesia, dan memfokuskan
dukungannya pada sektor pertanian lewat dana kredit sebesar 4 juta dollar
AS untuk memperbaiki irigasi dan meningkatkan produksi beras. Presiden
Bank Dunia Robert McNamara saat itu sangat yakin akan komitmen Indonesia
dalam mengembangkan potensinya: ”…jelas
bahwa Indonesia, dikarenakan luas wilayah, potensi kekayaan, serta sumber
daya manusianya (SDM), merupakan kawasan yang penting di dunia dan,
akibat kelalaian di masa lalu, amatlah membutuhkan dukungan dalam upaya
pembangunannya.”
Indonesia menikmati perkembangan
ekonomi yang kuat serta kemajuan yang konsisten sebelum akhirnya diguncang
krisis 1997-1998. Seketika, jutaan orang kembali terpuruk dalam
kemiskinan. Namun, Indonesia kembali memperlihatkan ketangguhan dan
berhasil pulih setelah melalui proses reformasi politik dan ekonomi.
Pembelajaran dari masa krisis telah mendorong negara ini untuk memperkuat
kelembagaannya secara sistematis.
Berbasis Masyarakat
Salah satu pilar kiprah Bank
Dunia di negara-negara berkembang—yaitu pembangunan yang dimotori
masyarakat (community-driven
development)—juga bermula dari Indonesia. Masyarakat yang memutuskan
apakah ingin membangun sekolah, klinik kesehatan, jalan atau jembatan,
sesuai kebutuhan dan aspirasi mereka. Pendekatan pembangunan yang
menyertakan masyarakat telah terterapkan dan menyebar ke berbagai penjuru
negara ini dan ke negara-negara lain di dunia. Pendekatan ini berhasil
mentransformasi kehidupan masyarakat dan mendorong diterapkannya
pengambilan keputusan yang menyertakan berbagai komponen masyarakat.
Ketangguhan Indonesia kembali
terlihat saat negara ini mengalami bencana alam tsunami yang
meluluhlantakkan Aceh dan Nias pada 2004. Dengan dukungan melimpah dari
dalam dan luar negeri, termasuk dana multidonor yang dikelola Bank Dunia,
masyarakat Indonesia melakukan upaya rekonstruksi, membangun kembali
masyarakat lebih baik dan lebih kuat lagi.
Perkembangan ekonomi hanya salah
satu ukuran keberhasilan. Kebebasan yang kini telah menemukan semangat
barunya—untuk berbicara dan berorganisasi—juga membantu meningkatkan
kualitas kehidupan secara keseluruhan. Faktor-faktor ini, serta pasar
domestik yang besar dan kekayaan sumber daya alam (SDA), menarik masuknya
investasi asing yang turut mendorong pertumbuhan. Studi baru Organisasi
Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan menyebutkan, PDB Indonesia 2030
diproyeksikan 9.400 dollar AS per kapita, sementara 2060 berpotensi naik
tiga kali lipat, mencapai 25.000 dollar AS per kapita.
Tantangan ke Depan
Agar target ini tercapai,
pertumbuhan dan pembangunan inklusif perlu dipertahankan dan
ditingkatkan. Beberapa tahun terakhir, fundamental ekonomi makro
Indonesia terlihat cukup kuat. Namun, tantangan ke depan adalah menempuh
sejumlah langkah reformasi yang akan berpengaruh besar pada pembangunan
dan kesejahteraan.
Pertama, generasi penerus
Indonesia harus mendapat akses terhadap pendidikan yang lebih berkualitas.
Besarnya jumlah SDM muda, atau yang disebut sebagai ”dividen demografi”,
akan habis dalam 10-15 tahun ke depan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
diperlukan investasi besar untuk meningkatkan keterampilan dan
mengantarkan lebih banyak siswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Meskipun anggaran pendidikan Indonesia mencapai 20 persen dari total
anggaran negara, sebagian besar anggaran dialokasikan ke program wajib
belajar sembilan tahun—porsi ini lebih tinggi dari anggaran yang
dialokasikan Thailand dan Malaysia untuk hal yang sama. Sementara siswa
keluarga miskin jarang sekali bisa menamatkan pendidikan menengah atas
dan lebih sedikit lagi yang berhasil lulus dari perguruan tinggi. Hal ini
mencerminkan kesenjangan pendidikan yang semakin intens.
Kedua, masalah perubahan iklim
harus menjadi bagian integral agenda pembangunan. Kekayaan SDA Indonesia
tentunya memiliki batas dan investasi di bidang energi terbarukan dan
keberlanjutan hutan sangat dibutuhkan. Moratorium konsesi hutan baru yang
diterapkan selama dua tahun, serta target pemerintah untuk menurunkan
emisi sebesar 26 persen, merupakan langkah yang patut dipuji. Semua ini
membutuhkan komitmen dan usaha keras dari berbagai lapisan masyarakat.
Komunitas-komunitas lokal, sektor swasta, sektor publik, dan masyarakat
sipil harus bersatu padu melestarikan SDA negara demi masa depan generasi
penerus.
Ketiga, masalah subsidi bahan
bakar minyak (BBM) yang jumlahnya hampir mencapai 20 persen dari
keseluruhan anggaran negara dan lebih menguntungkan bagi pemilik
kendaraan roda empat juga perlu diatasi. Alokasi anggaran ini akan lebih
bermanfaat jika diarahkan ke infrastruktur dan program jaminan sosial.
Sebagai contoh, hanya 2 persen dari penduduk perkotaan memiliki akses
terhadap sistem sanitasi terpadu. Saat ini, investasi total pemerintah
dan swasta di bidang infrastruktur hanya 4 persen dari PDB, jauh di bawah
investasi Vietnam dan China yang mencapai 10 persen PDB tiap tahunnya.
Tingkat investasi infrastruktur Indonesia saat ini belum cukup untuk menyediakan
air bersih, listrik, pengelolaan sampah, transportasi, dan berbagai
layanan publik lainnya secara memadai. Salah satu cara mengatasi berbagai
kekurangan ini adalah dengan mengurangi subsidi BBM dan melakukan
realokasi anggaran.
Selama beberapa dekade terakhir,
terlihat jelas kemampuan Indonesia dalam mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan. Visi jangka panjang dan reformasi
berkelanjutan dibutuhkan untuk meneruskan momentum pertumbuhan dan
meningkatkan kesejahteraan. Bank Dunia yakin Indonesia berpotensi besar
menjadi negara berpendapatan menengah atas pada masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar