Rabu, 17 April 2013

Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013 (693) - Mahsun


Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013
Mahsun  Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud,
Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Mataram
MEDIA INDONESIA, 17 April 2013


Dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa.

Dengan kata lain, proses sosial akan merefl eksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks. Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, akan beragam pula jenis teks.

Selanjutnya, proses sosial yang berlangsung selalu memiliki muatan nilai-nilai atau norma-norma kultural. Nilainilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda. Tidak berstruktur tunggal seperti dipahami dalam kurikulum bahasa Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang semua jenis teks berstruktur: pembuka, isi, dan penutup (periksa kompetensi dasar (KD) BI, kelas XI, semester 2, butir: 12.2).

Pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu lampau, dengan struktur; orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu sehingga teksnya berstruktur: orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi.

Berbeda dengan eksemplum, pada jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang maupun anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi (perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi, insiden, lalu diikuti interpretasi.

Adapun jenis teks naratif, peristiwa yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu, teks naratif berstruktur: orientasi, kom plikasi, dan resolusi.

Setiap struktur teks dalam tiap-tiap jenis teks memiliki perangkat-perangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran yang dikehendaki. Dan secara terpadu diorientasikan pada pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks, bukan dalam bentuk serpihan-serpihan.

Pesan Komunikasi

Dalam teori genre, terdapat dua konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mengejawantahkan diri melalui proses sosial). Dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat: pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode).

Hadirnya konteks budaya dalam teks dapat ditunjukkan, misalnya pada teks laporan dan teks 
deskripsi yang dike lompokkan ke dalam genre faktual, tetapi memiliki struktur teks dan nilai/ norma yang melatarbelakangi berbeda. Teks laporan berstruktur: klasifikasi umum lalu diikuti deskripsi bagian, sedangkan teks deskripsi berstruktur: deskripsi umum diikuti deskripsi bagian-bagian. Satuan leksikogramatikal yang terdapat pada teks laporan harus mendukung nilai-nilai objektif, faktual, bukan opini serta bersifat generik.

Adapun pada teks deskripsi satuan leksikogramatikal yang merupakan opini ataupun tanggapan yang bersifat subjektif masih dapat dimunculkan dan lebih bersifat spesifik. Itu sebabnya, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks tidak boleh dilihat bahasa secara parsial, melainkan secara utuh.
Pilihan pada pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Mulai dari kegiatan guru membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri.
Hal itu dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada akhirnya siswa mampu menyajikan teks secara mandiri.

Kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan fi losofi pengembangan kurikulum 2013. Khususnya yang terkait dengan rumusan kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Kompetensi inti yang menyangkut sikap, baik sikap spiritual (KI: A) maupun sikap sosial (KI: B) terkait dengan konsep kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks). Kompetensi inti yang menyangkut pengetahuan (KI: C) dan keterampilan (KI: D) terkait langsung dengan konsep kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks).

Selain itu, antar-KD yang dikelompokkan berdasarkan KI tersebut memiliki hubungan pendasaran satu sama lain. Ketercapaian KD dalam kelompok KI: A dan B ditentukan oleh ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. KD dalam kelompok KI: A dan B bukan untuk diajarkan, melainkan implikasi dari ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. Mengkritisi keberadaan KD-KD dalam kurikulum 2013, termasuk tentang Kurikulum Bahasa Indonesia secara lepas, mengakibatkan munculnya tanggapan yang menyesatkan.

Jika rumusan KD tentang sikap dihubungkan dengan KD tentang pengetahuan dan keterampilan, tentu pernyataannya tentang tidak logisnya rumusan KD, dalam kurikulum 2013, seperti dinyatakan Acep (Kompas, 18/3), tidak akan muncul. Begitu pula jika KD tentang pengetahuan yang dikritisi itu dihubungkan dengan KD tentang keterampilan, pernyataan bahwa kurikulum 2013 hanya akan menghasilkan siswa penghafal, seperti dinyatakan Bambang (Kompas, 20/3) tidak akan lahir. 
Hanya saja, pada kurikulum 2013 dibedakan antara KD yang berhubungan dengan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Adapun perbedaannya, KD pada KTSP masih banyak yang disusun berdasarkan pandangan linguistik struktural.

Kurikulum bahasa Indonesia sejak kurikulum 1994 sampai KTSP yang didengungdengungkan berbasis kontekstual adalah tidak sepenuhnya benar. Berbeda jauh dengan kurikulum 2013 yang sepenuhnya berbasis teks. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar