Sepertinya, virus flu burung
ingin menunjukkan jati diri. Ia tidak gampang dimusnahkan dan selalu
bermanuver untuk bertahan.
Belum reda kekhawatiran terhadap
ancaman pandemik flu burung H5N1, mendadak muncul virus flu burung H7N9
di China. Sebetulnya, virus ini sudah lama ada, tetapi baru kali ini
menginfeksi manusia. Korban tewas 10 orang dan 38 orang terinfeksi virus
H7N9. Kebanyakan korban berasal dari Shanghai.
Di Indonesia—negara dengan
korban tewas dan terinfeksi virus flu burung H5N1 varian 2.1.3 tertinggi
di dunia—sudah muncul virus H5N1 varian baru 2.3.2 yang banyak
menginfeksi itik akhir 2012. Keduanya belum hilang dari Indonesia, dan
sekarang sudah menghadapi kemungkinan masuknya H7N9 yang menginfeksi dan
membunuh manusia.
Kasus di China
Kasus berawal pada 19 Februari
2013 saat seorang pria 87 tahun menderita demam, batuk, dan gangguan
pernapasan berkembang menjadi radang paru parah. Ia meninggal pada 27
Februari 2013. Pada tanggal itu ada laporan pria 27 tahun dengan gejala
sama meninggal pada 4 Maret 2013.
Kasus ketiga, wanita 52 tahun,
juga dari Shanghai. Awal gejala pada 27 Maret, suhu badan 40,6 derajat
celsius, tak ada gejala lain yang jelas. Namun, saat foto radiografi
terlihat ptechie kecil pada paru bawah bagian kanan, gambaran ini umumnya
dijumpai pada penderita virus H5N1. Kondisi penderita semakin parah, dan
akhirnya meninggal pada 3 April dengan diagnosis kesulitan pernapasan
akut (acute respiratory distress syndrome). Ketiganya tak pernah kontak
dengan unggas.
Dari uji laboratorium spesimen
penderita, untuk patogen respiratory syncytial virus, virus flu B, human
metapneumovirus, cytomegalovirus, herpes simplex virus-2, HIV/AIDS,
SARS-CoV, hasilnya negatif. Namun, untuk virus flu burung, mereka positif
terinfeksi virus subtipe H7N9.
Virus H7N9 disinyalir tidak
ditularkan antarmanusia karena tidak ada anggota keluarga yang
terinfeksi. Dari mana asalnya?
Biasanya, virus flu burung
menginfeksi manusia saat terjadi wabah pada hewan, terutama unggas.
Namun, otoritas China mengumumkan tidak ada wabah pada ayam, burung, atau
hewan lain sebelumnya. Setelah ”operasi pasar”, virus H7N9 ditemukan pada
merpati. Meski tampak sehat, hewan ini diduga menjadi sumber penular pada
manusia.
Belum jelas sampai seberapa jauh
merpati justru tertular dari korban manusia. Disertasi Dr Kadek Rahmawati
(2013) menyebutkan, virus H5N1 asal manusia bisa menginfeksi unggas,
seperti virus H5N1 asal unggas menginfeksi mamalia.
Virus H7N9 selama ini dikenal
sebagai virus flu burung yang tidak ganas pada hewan—kecuali H7 di
Belanda—sehingga sangat menyulitkan untuk mendeteksi virus ini pada
unggas tanpa dibarengi hewan sakit atau mati.
Kecurigaan lain, sumber virus
berasal dari babi. Di China pada awal 2012 terjadi wabah kematian babi
dalam jumlah puluhan ribu ekor. Bangkainya dibuang ke Sungai Huangpu yang
melewati Shanghai. Pada beberapa bangkai yang diuji, negatif virus flu
burung. Langkah ini disayangkan karena jumlah bangkai babi yang diuji
sedikit, hanya 0,5 persen. Selain itu, tatkala virus flu asal babi
menular ke manusia dan fatal, biasanya juga tidak didahului kematian
dalam jumlah besar.
Virus H7N9
Langkah terbaik menemukan sumber
penyakit adalah dengan ”bertanya” pada virusnya melalui kajian molekuler.
Virus influenza terdiri dari delapan gen, yaitu HA dan NA (gen
eksternal), PB2, PB1, PA, NP, M, dan gen NS (gen internal). Ternyata, virus H7N9 di China adalah hasil
koalisi (reassortant) beberapa virus donor.
Gen HA diduga dari virus H7N3
asal itik tahun 2011 di China dengan homologi 94,8 persen. Gen NA diduga
dari virus H11N9 asal itik dan burung liar Eropa-Asia tahun 2010-2011
dengan homologi 94,2 persen.
Semua gen internal diduga hasil
donasi dari virus H9N2 yang ditemukan di China pada tahun 2011-2012
dengan tingkat homologi 97-99 persen. Tingkat homologi HA dan NA ini
terlalu rendah mengingat pendekatan epidemiologi belum ditemukan.
Virus influenza bersifat gampang
mutasi. Pada setiap fase melalui hewan/manusia, virus bermutasi dan
homologi menurun. Jika dibandingkan dengan virus H5N1 pertama kali masuk
di Indonesia, homologi HA sebesar 98,2 persen dengan virus H5N1 asal
Guangdong. Sementara virus 2.3.2 mempunyai homologi 99,2 persen dengan
virus 2.3.2 asal Vietnam.
Dugaan yang ada, virus donor
untuk HA dan NA yang asli dengan tomologi yang lebih tinggi belum
ditemukan atau dilaporkan kepada GenBank. Kemungkinan lain, virus H7N9 di
China telah mutasi pada ”H7’s
receptor biding site”-nya. Rendahnya homologi virus H7N9 dengan virus
donor HA dan NA, dan berasal dari virus tidak ganas tetapi mematikan
manusia, menyebabkan virus H7N9 terbilang unik.
Keunikannya juga bisa dilihat
dari homologi gen-gen internal, seolah gen-gen itu utuh dipindahkan dari
virus donor H9N2. Meski virus H9N2 ini merupakan virus yang bisa dijumpai
di mana-mana, kejadian ini seperti awal penemuan virus H5N1 bahwa gen-gen
internalnya juga berasal dari H9N2.
Kesiapan
Becermin pada Pemerintah China,
tanpa menemukan bukti kuat bahwa virus H7N9 berasal dari hewan/unggas,
pemusnahan tetap dilakukan dan melarang perdagangan unggas di pasar
basah. Peternak/pedagang diberikan kompensasi meski tidak lebih dari 50
persen harga hewan. Bisakah kita melakukannya?
Sampai saat ini, janji
pengendalian varian 2.3.2 tidak terdengar lagi. Demikian pula janji
penyediaan vaksin 2.3.2 untuk itik meski efektivitasnya dipertanyakan.
Apalagi, tak ada kompensasi atau dana pengungkit bagi peternak yang
terkena wabah, seakan para peternak ”dibiarkan” menanggung beban
sendirian.
Demikian juga langkah
pengendalian virus flu burung H5N1 varian 2.1.3 pada manusia yang sudah
berlangsung delapan tahun, tetapi belum ada arahnya. Tidak bisa
dibayangkan jika varian 2.3.2 juga meloncat pada manusia. Masyarakat seperti
”dibiarkan” menerima risiko tertular tanpa tahu kapan dan di mana
virus-virus flu burung akan menginfeksi dan fatal akibatnya.
Apa yang harus dilakukan
masyarakat dan para peternak untuk menghindari wabah virus H7N9 ini?
Masuknya virus H7N9 ke Indonesia hanya masalah waktu mengingat intensitas
kegiatan China dengan Indonesia. Kegiatan perdagangan, pariwisata, atau
lainnya bisa berfungsi sebagai ”pembawa” virus ini. Kecil sekali
kemungkinan masuk Indonesia melalui burung migrasi mengingat virus H7N9 sudah
dalam bentuk koalisi yang ”teradaptasi” pada manusia.
Pintu masuk bandara untuk
pesawat dari dan ke China sebaiknya dipisahkan dari tujuan lainnya. Perlu
dilakukan desinfeksi saat penumpang pesawat melewati garbarata dengan
karpet yang sudah dibasahi dengan disinfektan. Seseorang yang pulang dari
China sebaiknya tidak langsung berada di sekitar hewan yang peka virus
influenza, seperti unggas, babi, dan kucing.
Barang yang berasal dari China
perlu didisinfeksi pada peti kemasnya. Hewan hidup yang peka virus
influenza sebaiknya diperiksa ketat baik dokumen maupun laboratorium oleh
Karantina Pertanian.
Becermin pada China
Meski virus H7N9 baru
menginfeksi 30 orang dan 10 orang tewas, Pemerintah China sudah merancang
vaksin H7N9 untuk rakyatnya. Meskipun dijanjikan baru tujuh bulan lagi,
hal ini menunjukkan kehadiran negara tatkala rakyatnya terancam, bahkan
oleh suatu penyakit. Belum lagi program-program lain seperti surveilans
dan integrasi pengendalian sektor kesehatan masyarakat dengan hewan.
Bagaimana Pemerintah Indonesia
melindungi rakyatnya dari ancaman virus H5N1 yang telah menginfeksi
rakyat Indonesia dengan korban 160 orang tewas dari 192 yang terinfeksi?
Bagaimana pula perlindungan terhadap rakyat Indonesia tatkala virus H5N1
varian 2.3.2 ”meloncat” ke manusia? Pertanyaan yang sama berlaku untuk
virus H7N9.
Dengan sumber daya manusia dan
alam yang dimiliki Indonesia, sudah waktunya Indonesia menunjukkan
kemandirian dalam mengelola kesehatan rakyat. Termasuk kecepatan
menyiapkan perlindungan menghadapi wabah penyakit.
Avian Influenza-zoonosis
Research Center Universitas Airlangga telah bekerja sama dengan Pusat
Penelitian Teh dan Kina dari PT Riset Perkebunan Nusantara (BUMN) untuk
memanfaatkan pucuk daun teh yang disebut teh putih (white tea) dan berhasil sebagai anti-virus flu burung H5N1
asal manusia. Maka, secara tidak langsung masyarakat bisa melakukan
pencegahan dini terhadap infeksi H5N1 ataupun H7N9. Usaha ini sambil
menunggu program lain seperti vaksin dan antiviral dalam pengendalian flu
burung di Indonesia.
Penyakit influenza yang selama
ini dianggap ”penyakit biasa”
ternyata telah menunjukkan jati dirinya; dia juga makhluk hidup yang
tidak mau diperlakukan semena-mena. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar