Rabu, 17 April 2013

H7N9 yang Membingungkan


H7N9 yang Membingungkan
CA Nidom   Ketua Avian Influenza-zoonosis Research Center 

Universitas Airlangga, Surabaya
KOMPAS, 17 April 2013

  
Sepertinya, virus flu burung ingin menunjukkan jati diri. Ia tidak gampang dimusnahkan dan selalu bermanuver untuk bertahan.
Belum reda kekhawatiran terhadap ancaman pandemik flu burung H5N1, mendadak muncul virus flu burung H7N9 di China. Sebetulnya, virus ini sudah lama ada, tetapi baru kali ini menginfeksi manusia. Korban tewas 10 orang dan 38 orang terinfeksi virus H7N9. Kebanyakan korban berasal dari Shanghai.
Di Indonesia—negara dengan korban tewas dan terinfeksi virus flu burung H5N1 varian 2.1.3 tertinggi di dunia—sudah muncul virus H5N1 varian baru 2.3.2 yang banyak menginfeksi itik akhir 2012. Keduanya belum hilang dari Indonesia, dan sekarang sudah menghadapi kemungkinan masuknya H7N9 yang menginfeksi dan membunuh manusia.
Kasus di China
Kasus berawal pada 19 Februari 2013 saat seorang pria 87 tahun menderita demam, batuk, dan gangguan pernapasan berkembang menjadi radang paru parah. Ia meninggal pada 27 Februari 2013. Pada tanggal itu ada laporan pria 27 tahun dengan gejala sama meninggal pada 4 Maret 2013.
Kasus ketiga, wanita 52 tahun, juga dari Shanghai. Awal gejala pada 27 Maret, suhu badan 40,6 derajat celsius, tak ada gejala lain yang jelas. Namun, saat foto radiografi terlihat ptechie kecil pada paru bawah bagian kanan, gambaran ini umumnya dijumpai pada penderita virus H5N1. Kondisi penderita semakin parah, dan akhirnya meninggal pada 3 April dengan diagnosis kesulitan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome). Ketiganya tak pernah kontak dengan unggas.
Dari uji laboratorium spesimen penderita, untuk patogen respiratory syncytial virus, virus flu B, human metapneumovirus, cytomegalovirus, herpes simplex virus-2, HIV/AIDS, SARS-CoV, hasilnya negatif. Namun, untuk virus flu burung, mereka positif terinfeksi virus subtipe H7N9.
Virus H7N9 disinyalir tidak ditularkan antarmanusia karena tidak ada anggota keluarga yang terinfeksi. Dari mana asalnya?
Biasanya, virus flu burung menginfeksi manusia saat terjadi wabah pada hewan, terutama unggas. Namun, otoritas China mengumumkan tidak ada wabah pada ayam, burung, atau hewan lain sebelumnya. Setelah ”operasi pasar”, virus H7N9 ditemukan pada merpati. Meski tampak sehat, hewan ini diduga menjadi sumber penular pada manusia.
Belum jelas sampai seberapa jauh merpati justru tertular dari korban manusia. Disertasi Dr Kadek Rahmawati (2013) menyebutkan, virus H5N1 asal manusia bisa menginfeksi unggas, seperti virus H5N1 asal unggas menginfeksi mamalia.
Virus H7N9 selama ini dikenal sebagai virus flu burung yang tidak ganas pada hewan—kecuali H7 di Belanda—sehingga sangat menyulitkan untuk mendeteksi virus ini pada unggas tanpa dibarengi hewan sakit atau mati.
Kecurigaan lain, sumber virus berasal dari babi. Di China pada awal 2012 terjadi wabah kematian babi dalam jumlah puluhan ribu ekor. Bangkainya dibuang ke Sungai Huangpu yang melewati Shanghai. Pada beberapa bangkai yang diuji, negatif virus flu burung. Langkah ini disayangkan karena jumlah bangkai babi yang diuji sedikit, hanya 0,5 persen. Selain itu, tatkala virus flu asal babi menular ke manusia dan fatal, biasanya juga tidak didahului kematian dalam jumlah besar.
Virus H7N9
Langkah terbaik menemukan sumber penyakit adalah dengan ”bertanya” pada virusnya melalui kajian molekuler. Virus influenza terdiri dari delapan gen, yaitu HA dan NA (gen eksternal), PB2, PB1, PA, NP, M, dan gen NS (gen internal). Ternyata, virus H7N9 di China adalah hasil koalisi (reassortant) beberapa virus donor.
Gen HA diduga dari virus H7N3 asal itik tahun 2011 di China dengan homologi 94,8 persen. Gen NA diduga dari virus H11N9 asal itik dan burung liar Eropa-Asia tahun 2010-2011 dengan homologi 94,2 persen.
Semua gen internal diduga hasil donasi dari virus H9N2 yang ditemukan di China pada tahun 2011-2012 dengan tingkat homologi 97-99 persen. Tingkat homologi HA dan NA ini terlalu rendah mengingat pendekatan epidemiologi belum ditemukan.
Virus influenza bersifat gampang mutasi. Pada setiap fase melalui hewan/manusia, virus bermutasi dan homologi menurun. Jika dibandingkan dengan virus H5N1 pertama kali masuk di Indonesia, homologi HA sebesar 98,2 persen dengan virus H5N1 asal Guangdong. Sementara virus 2.3.2 mempunyai homologi 99,2 persen dengan virus 2.3.2 asal Vietnam.
Dugaan yang ada, virus donor untuk HA dan NA yang asli dengan tomologi yang lebih tinggi belum ditemukan atau dilaporkan kepada GenBank. Kemungkinan lain, virus H7N9 di China telah mutasi pada ”H7’s receptor biding site”-nya. Rendahnya homologi virus H7N9 dengan virus donor HA dan NA, dan berasal dari virus tidak ganas tetapi mematikan manusia, menyebabkan virus H7N9 terbilang unik.
Keunikannya juga bisa dilihat dari homologi gen-gen internal, seolah gen-gen itu utuh dipindahkan dari virus donor H9N2. Meski virus H9N2 ini merupakan virus yang bisa dijumpai di mana-mana, kejadian ini seperti awal penemuan virus H5N1 bahwa gen-gen internalnya juga berasal dari H9N2.
Kesiapan
Becermin pada Pemerintah China, tanpa menemukan bukti kuat bahwa virus H7N9 berasal dari hewan/unggas, pemusnahan tetap dilakukan dan melarang perdagangan unggas di pasar basah. Peternak/pedagang diberikan kompensasi meski tidak lebih dari 50 persen harga hewan. Bisakah kita melakukannya?
Sampai saat ini, janji pengendalian varian 2.3.2 tidak terdengar lagi. Demikian pula janji penyediaan vaksin 2.3.2 untuk itik meski efektivitasnya dipertanyakan. Apalagi, tak ada kompensasi atau dana pengungkit bagi peternak yang terkena wabah, seakan para peternak ”dibiarkan” menanggung beban sendirian.
Demikian juga langkah pengendalian virus flu burung H5N1 varian 2.1.3 pada manusia yang sudah berlangsung delapan tahun, tetapi belum ada arahnya. Tidak bisa dibayangkan jika varian 2.3.2 juga meloncat pada manusia. Masyarakat seperti ”dibiarkan” menerima risiko tertular tanpa tahu kapan dan di mana virus-virus flu burung akan menginfeksi dan fatal akibatnya.
Apa yang harus dilakukan masyarakat dan para peternak untuk menghindari wabah virus H7N9 ini? Masuknya virus H7N9 ke Indonesia hanya masalah waktu mengingat intensitas kegiatan China dengan Indonesia. Kegiatan perdagangan, pariwisata, atau lainnya bisa berfungsi sebagai ”pembawa” virus ini. Kecil sekali kemungkinan masuk Indonesia melalui burung migrasi mengingat virus H7N9 sudah dalam bentuk koalisi yang ”teradaptasi” pada manusia.
Pintu masuk bandara untuk pesawat dari dan ke China sebaiknya dipisahkan dari tujuan lainnya. Perlu dilakukan desinfeksi saat penumpang pesawat melewati garbarata dengan karpet yang sudah dibasahi dengan disinfektan. Seseorang yang pulang dari China sebaiknya tidak langsung berada di sekitar hewan yang peka virus influenza, seperti unggas, babi, dan kucing.
Barang yang berasal dari China perlu didisinfeksi pada peti kemasnya. Hewan hidup yang peka virus influenza sebaiknya diperiksa ketat baik dokumen maupun laboratorium oleh Karantina Pertanian.
Becermin pada China
Meski virus H7N9 baru menginfeksi 30 orang dan 10 orang tewas, Pemerintah China sudah merancang vaksin H7N9 untuk rakyatnya. Meskipun dijanjikan baru tujuh bulan lagi, hal ini menunjukkan kehadiran negara tatkala rakyatnya terancam, bahkan oleh suatu penyakit. Belum lagi program-program lain seperti surveilans dan integrasi pengendalian sektor kesehatan masyarakat dengan hewan.
Bagaimana Pemerintah Indonesia melindungi rakyatnya dari ancaman virus H5N1 yang telah menginfeksi rakyat Indonesia dengan korban 160 orang tewas dari 192 yang terinfeksi? Bagaimana pula perlindungan terhadap rakyat Indonesia tatkala virus H5N1 varian 2.3.2 ”meloncat” ke manusia? Pertanyaan yang sama berlaku untuk virus H7N9.
Dengan sumber daya manusia dan alam yang dimiliki Indonesia, sudah waktunya Indonesia menunjukkan kemandirian dalam mengelola kesehatan rakyat. Termasuk kecepatan menyiapkan perlindungan menghadapi wabah penyakit.
Avian Influenza-zoonosis Research Center Universitas Airlangga telah bekerja sama dengan Pusat Penelitian Teh dan Kina dari PT Riset Perkebunan Nusantara (BUMN) untuk memanfaatkan pucuk daun teh yang disebut teh putih (white tea) dan berhasil sebagai anti-virus flu burung H5N1 asal manusia. Maka, secara tidak langsung masyarakat bisa melakukan pencegahan dini terhadap infeksi H5N1 ataupun H7N9. Usaha ini sambil menunggu program lain seperti vaksin dan antiviral dalam pengendalian flu burung di Indonesia.
Penyakit influenza yang selama ini dianggap ”penyakit biasa” ternyata telah menunjukkan jati dirinya; dia juga makhluk hidup yang tidak mau diperlakukan semena-mena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar