Membaca lagi roman Bukan Pasar
Malam karya Pramoedya Ananta Toer, tahun 1950-an, pikiran saya menatap
politik Indonesia yang rasanya mirip pasar malam. Setiap memasuki tahun
politik menjelang pemilu, arena politik diramaikan orang-orang yang
berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula pergi.
Partai politik yang lama sepi
ramai lagi. Para politikus berduyun-duyun ke daerah pemilihannya,
blusukan mengail simpati dukungan. Orang-orang ramai masuk ke politik dan
mendaftar menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ada pula yang pergi
atau pindah partai. Di mana-mana, bendera, atribut partai, spanduk, dan
gambar calon presiden mulai bertebaran. Keramaian politik, seperti halnya
pasar malam, menarik banyak orang berdatangan.
Namun, ada geliat ganjil dari
keramaian politik itu. Gejalanya kian mencemaskan saat politik menjelma
pesta pora kekuasaan dan harta, dan tanpa malu menjual gagasan negara
hukum demokrasi. Nyatanya, politik telah menginvasi hukum dan membajak
institusi-institusi demokrasi kepada berhala uang. Politik suap, pasar
suara, dan transaksi politik mengisi setiap lorong dan sudut ruang
politik.
Ancaman Tirani Politik
Politik Indonesia dalam
pertaruhan. Demokrasi liberal bersanding politik transaksional telah
menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik mutakhir. Politik,
seperti dikatakan Harold Laswell, menjadi sekadar urusan ”siapa mendapat
apa, kapan, dan bagaimana”.
”Tak ada benteng yang demikian
kuat sehingga uang tak dapat memasukinya,” kata filosof Cicero. Namun,
bukan itu soalnya. Sentral masalah adalah ketika ”semua orang sama di
hadapan uang”, dan karena itu mengakibatkan ”tak semua orang sama di
hadapan hukum”. Sebab, hukum bisa amat mudah diperjualbelikan. Politik
pun berwatak transaksional.
Politik tidak dijalankan dalam
rangka bernegara sehingga gagasan bernegara kian jauh dari keadilan hukum
dan cita-cita konstitusi. Dominasi politik seperti itu membuka ancaman
tirani politik. Saat politik jadi panglima, hukum dikesampingkan; sekadar
alat politik. Jika dibiarkan, jurang negara gagal di depan mata.
Dalam politik seperti itu, apa
saja dihargai karena bisa diberi harga di hadapan mata uang, wani piro?
Kekuasaan dan uang telah menjadi episentrum berpolitik dekonstruktif yang
menghancurkan gagasan besar negara hukum sebagai rumah politik. Pekatnya
instrumentasi uang di tubuh politik menebarkan radioaktivitas yang bisa
membunuh demokrasi.
Ancamannya adalah hukum
digantikan transaksi, kompromi licik, dan main hakim sendiri. Hukum bisa
diberi harga karena itu hukum bisa dibeli, ditransaksikan, atau jika
tidak, ditukar hukum rimba. Hukum diatur dan dikendalikan dengan modus
dagang dan politik jual beli. Siapa menguasai harta dan memegang kuasa,
dialah pemenang hukum dan penentu politik. Penyerangan kelompok
bersenjata ke LP Cebongan merupakan bukti bahwa hukum negara tidak
berdaya menghadapi aksi main hakim sendiri.
Politik Pasar Malam
Lanskap politik Indonesia telah
serupa pasar malam. Politik sebagai dagangan. Partai lebih mirip gerai
toserba, menjual apa saja dan siapa saja bisa datang atau pergi. Partai
memburu caleg seperti membuka bursa tenaga kerja. Menjadi politikus tak
beda dengan karyawan atau pekerja yang sibuk mencari nafkah, bahkan
nyambi berburu rente.
Politik pasar malam menjual apa
saja dan siap menghibur pengunjung siapa saja. Semua mata dalam politik
seperti itu adalah ”mata-mata” yang melihat segala sesuatu dengan ”mata”
uang. Di pasar malam, baik politik maupun hukum menjadi anonim di hadapan
nilai uang.
Seperti pasar malam yang biasa
digelar dengan simbol bendera atau umbul-umbul apa saja, ramai orang
berduyun terjun ke politik atau masuk partai bukanlah meminati garis
ideologi atau program partai, tetapi karena ketertarikan nilai harga
(besaran harta) dari dagangan politik mereka. Uang telah mengudeta
idealisme perjuangan politik menjadi sekadar peluang politik jangka
pendek.
Saat ini, di partai nyaris tak
ada tempat bagi teladan dan keutamaan politik, apalagi ideologi.
Parameter kepartaian pun monolitik, hanya mengejar popularitas dan
elektabilitas, lupa akan kaderisasi. Gejala politik pasar malam menjalar
dan semakin kuat menginvasi institusi negara dan bangunan demokrasi. Kita
malas merawat gagasan, ideologi, dan nilai keutamaan berpolitik sehingga
politik menjadi miskin cita-cita tentang bernegara.
Politik pasar malam menjelaskan
mengapa demokrasi dengan pemilu langsung yang selama 14 tahun kita
jalankan hanya menghasilkan pemerintah yang korup; mengapa hampir semua
partai tak bisa menghindar terlibat korupsi; mengapa produk hukum dari
pusat hingga ke daerah tumpang-tindih; penegakan hukum lemah; dan wibawa
negara hukum nyaris lumpuh. Semua itu tak lain karena politik kita tanpa
gagasan bernegara.
Orang berpolitik tak bisa hanya
berduyun-duyun datang atau pergi; hanya untuk menikmati malam sesaat
saja. Rumah politik adalah negara hukum. Seperti Immanuel Kant (1795)
yang menyebut politik sebagai ausübender Rechtslehre, yaitu mempraktikkan
hukum. Artinya, berpolitik menjalankan praktik bernegara sesuai
prinsip-prinsip negara hukum. Berpolitik harus mengabdi hukum demi
tegaknya negara hukum dan kesejahteraan.
Politik bukan pasar malam,
tetapi politik adalah praksis hukum. Berpolitik adalah bernegara, dan
bernegara adalah berkonstitusi. Di sanalah politik bekerja untuk rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar