Hampir satu setengah dekade, UU
tentang korupsi diterapkan di Indonesia. Kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi juga banyak dipuji. Sayangnya, pengungkapan korupsi di bidang
eksploitasi sumber daya alam jalan di tempat.
Februari lalu, Badan Pemeriksa
Keuangan memang memeriksa 247 perusahaan tambang di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Namun, kinerja tersebut tidak berarti dibandingkan
percepatan jumlah perizinan yang mencapai 10.667 izin usaha pertambangan.
Kasus korupsi pun seperti menemukan rumahnya di sektor pertambangan.
Belum lagi, korupsi yang
diungkap bukanlah potret sejatinya. Pengungkapan korupsi yang diwacanakan
hanya korupsi berdimensi kerugian di ranah pengurus negara atau
pemerintah, seperti transaksi perizinan, dokumen palsu pengangkutan
barang, dan tunggakan pajak, dan belum menyentuh kerugian sebenarnya dari
unsur lain seperti rakyat atau warga negara dan wilayah.
Definisi perbuatan korupsi
tercantum dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo UU No 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam dua pasal
itu, ada enam kali istilah negara dikaitkan dengan korupsi sebagai
tindakan yang merugikan negara, keuangan negara, dan perekonomian negara.
Padahal, menurut Konvensi Montevideo (1933), negara punya empat unsur
konstitusional, yaitu warga negara, wilayah atau lingkungan kekuasaan,
penguasa yang berdaulat, dan kesanggupan berhubungan dengan negara lain.
Mencermati kasus korupsi bidang
pertambangan, saat ini sebatas korupsi pada ranah pemerintah. Padahal,
kerugian yang dialami unsur negara lainnya, yaitu rakyat dan wilayah,
sangat terang-benderang. Misalnya, warga Makroman di Kalimantan Timur
yang sawahnya gagal panen berkali-kali karena limbah batubara CV Arjuna,
atau warga Kampung Gincu di Nusa Tenggara Timur yang tak bisa lagi
memanen ratusan liter madu karena hutannya dihancurkan tambang mangan.
Warga dirugikan di atas
keuntungan yang didapat perusahaan. Bukankah itu serupa kerugian
pemerintah, hanya daur keuangannya berbeda; yang satu masuk ke kas
pemerintahan, yang lain masuk ke kas rakyat. Bedanya, pemerintah memiliki
perangkat memeriksa korupsi dan memaksa koruptor bertanggung jawab,
sedangkan warga tidak. Pada sejumlah kesempatan, aparat pemerintah justru
berpihak kepada perusahaan.
Dimensi Ruang dan Waktu
Pun, kerugian yang dialami
wilayah sebagai salah satu unsur negara tak dilihat sebagai korupsi atau
tindakan merugikan negara. Ini terjadi di Samarinda yang 71 persen
kawasannya berupa konsesi tambang batubara. Ada sekitar 150 lubang
tambang yang dibiarkan menganga dan mengancam keselamatan warga sekitar.
Tujuh anak dan remaja meninggal di empat lubang tambang dalam tiga tahun
terakhir. Lubang-lubang itu tak direklamasi, apalagi ditutup. Kelak,
kerugian bakal ditanggung negara jika terjadi bencana berkaitan dengan
tambang yang ditinggalkan itu.
Sekarang ini, Samarinda sudah
merugi. Tahun lalu, pemerintah kota mengeluarkan dana Rp 850 miliar untuk
penanganan banjir, sedangkan pendapatan pertambangan batubara hanya Rp
113 miliar. Bahkan, dana untuk biaya penanganan banjir ini naik tiap
tahun sejak 71 persen wilayah Samarinda berubah menjadi konsesi
pertambangan batubara.
Cerita serupa dijumpai di
Provinsi Bangka Belitung. Ratusan lubang tambang berbentuk danau beragam
ukuran ditinggalkan begitu saja menjadi warisan warga sekitar dan
pemerintah daerah. Lubang-lubang itu menjadi sarang malaria. Kepala Dinas
Kesehatan Bangka Belitung (2011) mengatakan, jentik malaria tumbuh subur
di danau bekas tambang berusia lima tahun lebih itu. Di Pulau Bangka
khususnya, penyebaran malaria tertinggi di Indonesia setelah Papua.
Jumlah penderitanya mencapai 2 juta lebih tiap tahun.
Padahal, penyakit malaria pada
ibu hamil bisa memicu bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari
2,5 kilogram), kelahiran prematur, dan kematian prenatal (saat baru
lahir). Janin yang terpapar parasit malaria bisa mengalami infeksi
sehingga sistem imun termodifikasi dan memengaruhi respons terhadap
malaria pada usia 1-2 tahun.
Logikanya, makin banyak lubang
tambang, makin banyak penderita malaria, makin meningkat generasi masa
depan yang lahir tak normal. Jika sebagian besar pendapatan Bangka
Belitung berasal dari tambang, sesungguhnya dana itu tersedot untuk
menjawab masalah yang ditimbulkan pertambangan timah di sana, salah
satunya masalah kesehatan.
Kasus Samarinda dan Bangka
Belitung menunjukkan kerugian negara berdimensi ruang dan waktu. Di
Samarinda, pembongkaran batubara di kawasan hulu tak hanya merugikan
warga sekitar, tetapi juga meluas hingga Kota Samarinda dengan banjirnya.
Dari semula 29 titik banjir kini meluas menjadi 35 titik banjir. Di
Bangka Belitung, pengerukan beberapa puluh tahun lalu meninggalkan
ratusan lubang dan memicu tingginya penyakit malaria 5-10 tahun kemudian.
Celakanya, korupsi di bidang
pertambangan yang merugikan warga negara dan wilayah ini tak tersentuh
hukum. Padahal, keduanya berpotensi paling besar merugikan negara.
BPK, KPK, dan aparat penegak
hukum lainnya harus mengubah paradigma dalam mengurus korupsi di
pertambangan. Kerugian rakyat dan wilayah sekitar tambang mesti dilihat
sebagai korupsi yang merugikan negara dengan kerugian yang berdimensi
ruang dan waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar