Beberapa
bulan lalu, PT Pertamina berulang tahun ke-55. Dilihat dari usia dan
pengalamannya, Pertamina termasuk `senior' dalam industri perminyakan
dunia. Sejarah Pertamina adalah sejarah `pengerdilan'. Pertamina
dilumpuhkan dari dalam dan dari luar sehingga gagal membukukan prestasi
yang semestinya dicapai oleh pemain `kawakan' dalam industri perminyakan.
Awal
mula kiprah Pertamina ditandai oleh sejarah dari peluang yang hilang.
Dirancang sebagai alat negara untuk mengelola cadangan dan produksi migas
nasional, Pertamina terpuruk karena korupsi dan pengisapan oleh rezim
militer Orde Baru. Pertamina digerogoti dan dilumpuhkan dari dalam karena
dijadikan `sapi perah' untuk memasok pundi-pundi keuangan angkatan bersenjata
beserta pimpinannya.
Korupsi
yang mendera Pertamina membuat perusahaan minyak negara ini limbung pada
1975-1976.
Puncak nestapa Pertamina adalah terbitnya Inpres No 12/1975
tentang Pengelolaan Dana Hasil Usaha Migas yang mewajibkan seluruh
penerimaan migas dimasukkan ke rekening pemerintah.
Salah
kelola Pertamina selama Orde Baru menjadi celah untuk `menghukum' Pertamina melalui paket kebijakan reformasi sektor energi. Dengan
terbitnya UU Migas No 22/2001, kuasa pertambangan yang sejatinya adalah
senjata Pertamina untuk menguasai sektor hulu dan hilir migas nasional
dilucuti. UU Migas menjadi tonggak liberalisasi dan privatisasi
sektor migas dengan mencopot monopoli dan penguasaan Pertamina atas
cadangan dan produksi migas nasional serta membuka jalan bagi
liberalisasi pasar bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. UU Migas
merombak status, posisi, peran, dan tugas Pertamina. Statusnya dirombak
dari BUMN yang dibentuk berdasarkan UU menjadi PT Persero yang
dimungkinkan untuk dijual, diprivatisasi melalui penawaran saham umum,
atau diakuisisi atas persetujuan RUPS.
Posisinya
bukan lagi sebagai pemegang kuasa pertambangan, melainkan operator migas
biasa sejajar dengan kontraktor-kontraktor migas swasta/asing. Perannya
memonopoli peng usahaan migas dengan skala usaha terpadu dari hulu ke
hilir dirombak menjadi perusahaan yang dipecah dalam skala unbundling.
Tugas Pertamina menjamin security of
supply BBM dihapuskan setelah masa transisi berakhir (November 2005).
Pemberlakuan
UU Migas telah menyempurnakan `penzaliman' terhadap Pertamina di sektor
hulu dan hilir migas nasional. Dulu, dengan Inpres No 12/1975, Pertamina
dijegal menjadi pemain utama sektor hulu migas sehingga kini hanya
menguasai sekitar 12 persen dari total blok, cadangan, dan produksi migas
nasional. Selebihnya dikuasai asing dan swasta.
Kini,
dengan UU Migas, Pertamina dilempar ke medan persaingan bebas persis
ketika senjatanya dilucuti dari tangan. Akibatnya, Pertamina yang pernah
menjadi senior di pengusahaan sektor hulu migas dengan sistem PSC-nya
yang khas, kini jauh tertinggal dibandingkan para juniornya akibat
nihilnya pemihakan pemerintah terhadap Pertamina.
Dibandingkan
BUMN migas di negara-negara lain, sumbangan Pertamina terhadap produksi
migas nasional terbilang `mengharukan'. Di Cina, BUMN dan perusahaan
migas swasta nasional menguasai 95 persen kegiatan usaha hulu migas. Di
Meksiko, Pemex merupakan satu-satunya operator pengusahaan migas. Di
Kanada, hampir 80 persen BUMN migas mengontrol produksi migas nasional.
Perlunya Pemihakan
Semua
negara di dunia memihak BUMN migasnya. Siapa pun yang menyadari lanskap
perang energi akan membela BUMN migasnya sebagai ujung tombak pertempuran.
Kini, sudah saatnya hak-hak Pertamina dipulihkan sebagai BUMN migas
penyangga kedaulatan energi nasional. Kuasa pertambangan sudah
seharusnya dikembalikan ke Pertamina. Jika pemberlakuan UU Migas dianggap
sebagai hukuman buat Pertamina, sudah waktunya Pertamina naik kelas
karena lebih dari satu dekade terbukti mampu melewati ujian.
Pertamina
terbukti mampu meningkatkan kinerja produksi blok-blok yang diambil alih,
antara lain Blok Limau, sebelumnya dikelola Talisman produksinya 6.000
bph, kini meningkat menjadi 11.300 bph; Blok Sangasanga Tarakan,
sebelumnya dikelola Medco Produksinya 4.300 bph, kini meningkat menjadi
7.500 bph; Blok ONWJ, sebelumnya dikelola BP produksinya 21.000 bph, kini
menjadi 25.000 bph; Blok WMO yang sebelumnya dioperatori Kodeco, kini diharapkan
dapat menggenjot produksi hingga 40.000 bph.
Pada
2020, ada beberapa blok migas dengan cadangan `gemuk' yang akan berakhir
kontraknya, yaitu Blok Mahakam yang dikelola Total. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar