Minggu, 07 April 2013

Paradoks Kebijakan Migas


Paradoks Kebijakan Migas
M Kholid Syeirazi ;   Sekretaris Jenderal PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
REPUBLIKA, 06 April 2013
  

Beberapa bulan lalu, PT Pertamina berulang tahun ke-55. Dilihat dari usia dan pengalamannya, Pertamina termasuk `senior' dalam industri perminyakan dunia. Sejarah Pertamina adalah sejarah `pengerdilan'. Pertamina dilumpuhkan dari dalam dan dari luar sehingga gagal membukukan prestasi yang semestinya dicapai oleh pemain `kawakan' dalam industri perminyakan.
Awal mula kiprah Pertamina ditandai oleh sejarah dari peluang yang hilang.
Dirancang sebagai alat negara untuk mengelola cadangan dan produksi migas nasional, Pertamina terpuruk karena korupsi dan pengisapan oleh rezim militer Orde Baru. Pertamina digerogoti dan dilumpuhkan dari dalam karena dijadikan `sapi perah' untuk memasok pundi-pundi keuangan angkatan bersenjata beserta pimpinannya. 

Korupsi yang mendera Pertamina membuat perusahaan minyak negara ini limbung pada 1975-1976. 
Puncak nestapa Pertamina adalah terbitnya Inpres No 12/1975 tentang Pengelolaan Dana Hasil Usaha Migas yang mewajibkan seluruh penerimaan migas dimasukkan ke rekening pemerintah.
Salah kelola Pertamina selama Orde Baru menjadi celah untuk `menghukum' Pertamina melalui paket kebijakan reformasi sektor energi. Dengan terbitnya UU Migas No 22/2001, kuasa pertambangan yang sejatinya adalah senjata Pertamina untuk menguasai sektor hulu dan hilir migas nasional dilucuti. UU Migas menjadi tonggak liberalisasi dan privatisasi sektor migas dengan mencopot monopoli dan penguasaan Pertamina atas cadangan dan produksi migas nasional serta membuka jalan bagi liberalisasi pasar bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. UU Migas merombak status, posisi, peran, dan tugas Pertamina. Statusnya dirombak dari BUMN yang dibentuk berdasarkan UU menjadi PT Persero yang dimungkinkan untuk dijual, diprivatisasi melalui penawaran saham umum, atau diakuisisi atas persetujuan RUPS. 

Posisinya bukan lagi sebagai pemegang kuasa pertambangan, melainkan operator migas biasa sejajar dengan kontraktor-kontraktor migas swasta/asing. Perannya memonopoli peng usahaan migas dengan skala usaha terpadu dari hulu ke hilir dirombak menjadi perusahaan yang dipecah dalam skala unbundling. Tugas Pertamina menjamin security of supply BBM dihapuskan setelah masa transisi berakhir (November 2005).

Pemberlakuan UU Migas telah menyempurnakan `penzaliman' terhadap Pertamina di sektor hulu dan hilir migas nasional. Dulu, dengan Inpres No 12/1975, Pertamina dijegal menjadi pemain utama sektor hulu migas sehingga kini hanya menguasai sekitar 12 persen dari total blok, cadangan, dan produksi migas nasional. Selebihnya dikuasai asing dan swasta. 

Kini, dengan UU Migas, Pertamina dilempar ke medan persaingan bebas persis ketika senjatanya dilucuti dari tangan. Akibatnya, Pertamina yang pernah menjadi senior di pengusahaan sektor hulu migas dengan sistem PSC-nya yang khas, kini jauh tertinggal dibandingkan para juniornya akibat nihilnya pemihakan pemerintah terhadap Pertamina. 

Dibandingkan BUMN migas di negara-negara lain, sumbangan Pertamina terhadap produksi migas nasional terbilang `mengharukan'. Di Cina, BUMN dan perusahaan migas swasta nasional menguasai 95 persen kegiatan usaha hulu migas. Di Meksiko, Pemex merupakan satu-satunya operator pengusahaan migas. Di Kanada, hampir 80 persen BUMN migas mengontrol produksi migas nasional. 

Perlunya Pemihakan

Semua negara di dunia memihak BUMN migasnya. Siapa pun yang menyadari lanskap perang energi akan membela BUMN migasnya sebagai ujung tombak pertempuran. Kini, sudah saatnya hak-hak Pertamina dipulihkan sebagai BUMN migas penyangga kedaulatan energi nasional. Kuasa pertambangan sudah seharusnya dikembalikan ke Pertamina. Jika pemberlakuan UU Migas dianggap sebagai hukuman buat Pertamina, sudah waktunya Pertamina naik kelas karena lebih dari satu dekade terbukti mampu melewati ujian. 

Pertamina terbukti mampu meningkatkan kinerja produksi blok-blok yang diambil alih, antara lain Blok Limau, sebelumnya dikelola Talisman produksinya 6.000 bph, kini meningkat menjadi 11.300 bph; Blok Sangasanga Tarakan, sebelumnya dikelola Medco Produksinya 4.300 bph, kini meningkat menjadi 7.500 bph; Blok ONWJ, sebelumnya dikelola BP produksinya 21.000 bph, kini menjadi 25.000 bph; Blok WMO yang sebelumnya dioperatori Kodeco, kini diharapkan dapat menggenjot produksi hingga 40.000 bph. 

Pada 2020, ada beberapa blok migas dengan cadangan `gemuk' yang akan berakhir kontraknya, yaitu Blok Mahakam yang dikelola Total. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar