Minggu, 07 April 2013

Akhlak


Akhlak
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 07 April 2013

  
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 3 April 2013, Komite Etik KPK yang diketuai Prof Anies Baswedan menjatuhkan sanksi pelanggaran sedang terhadap Ketua KPK Abraham Samad dan pelanggaran ringan terhadap Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja sehubungan dengan pembocoran surat edaran terkait kasus Anas Urbaningrum. 

Saya kenal cukup baik dengan Adnan semasa beliau menjabat di Kompolnas dan sepanjang saya kenal secara subjektif saya tidak percaya bahwa ada kesengajaan pada Adnan untuk pelanggaran etika. Pasti tidak untuk mencari popularitas (seperti heboh-heboh mau kudeta, nyatanya cuma bagi-bagi sembako), apalagi untuk mencari kekayaan (seperti para terpidana KPK). Adnan seorang profesional yang low profile. 

Saya sama sekali tidak kenal Abraham Samad. Di TV dia memang lebih high profile daripada Adnan, tetapi itu karena memang Abraham ketua yang harus lebih banyak ngomong dan sejauh ini saya rasa bicaranya wajar-wajar saja. Jadi, sangat mungkin Abraham pun tidak berniat buruk ketika dia melakukan ihwal yang kemudian dinyatakan sebagai pelanggaran etika itu. Kesimpulannya, orang-orang baik pun bisa, secara tidak disadari, melanggar etika. Tetapi, pelanggaran tetap pelanggaran, harus dikenai sanksi. Itulah tugas Komite Etik KPK.

Etika (berasal dari kata Yunani: ethos) biasa disebut juga moral (dari kata Latin: mores). Dalam bahasa Islamnya, yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, disebut akhlak yaitu budi yang luhur, yang mulia (Al-Qalam: 4). Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Beliau bahkan pernah ditanya oleh para sahabat: “Wahai Rasullulah, apakah agama itu?”, Baginda menjawab, “Agama itu akhlak yang mulia” (Ahmad, Hakim, dan Baihaqi). 

Dengan akhlak yang mulia, manusia didorong untuk senantiasa berperilaku baik dan menghindari yang buruk, amal ma’ruf nahi mungkar, termasuk di dalamnya takwa kepada Allah SWT (hablum minallah), dan saling menghargai sesama umat manusia, jujur, tidak melecehkan, tidak sombong atau dengki, saling tolong menolong, jauhi fitnah, dan seterusnya yang menyangkut semua hal yang terkait dengan hubungan antarsesama manusia (hablum minanas). 

Ada berbagai metode dalam Islam untuk senantiasa menjaga akhlak, termasuk rukun Islam yang lima itu, dan alhamdullilah, orang Indonesia makin lama makin kenceng melaksanakan ibadah, sampai-sampai mau naik haji pun sekarang harus antre lebih dari lima tahun. Tetapi, mengapa tetap saja perbuatan tak berakhlak terus terjadi? Kementrian Agama, sebagai institusi negara yang tugasnya menjaga akhlak bangsa, bahkan kebobolan juga (korupsi pengadaan Alquran dan sebagainya). 

Di institusi-institusi pemerintah yang lain juga seperti Kemendiknas, Polri, Kejaksaan, Pengadilan, dan DPR/DPRD. Mayoritas rakyat Indonesia muslim dan rajin berpuasa setiap Ramadan. Setelah 67 tahun merdeka (berarti 68 atau 69 kali puasa), mestinya sudah bisa mengikis habis KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) tanpa perlu demo, reformasi, apalagi revolusi karena puasa melatih umat Islam untuk kembali ke fitrah, habiskan segala dosa dan menjadi lebih baik di tahun yang berikut.Tetapi, mana hasilnya? 

Kawan saya, Ustad Abdurrahman Ayub, pernah bermukim selama belasan tahun di Australia. Beliau alumni Akademi Militer Afghanistan dan pascaperang Afghanistan melawan Rusia, beliau ditempatkan di Australia sebagai Komandan Mantiki (Wilayah) IV dari Jamaah Islamiah. Tetapi, Ustad Ayub tidak berperang di Australia, karena walaupun negara kafir, Pemerintah Australia sangat memperhatikan warganya. 

Kesehatan dan pendidikan dijamin, bahkan orang tidak bekerja pun dikasih gaji (social welfare). Pemerintah Australia kafir, tetapi amal akhlaknya tinggi. Beda lagi dengan di Indonesia. Jokowi menyebar Kartu Jakarta Cerdas dan Kartu Jakarta Sehat. “Enggak apa-apa. Semua akan dibayar oleh Pemprov DKI. Lha wong duitnya ada, kok?” katanya. Lah, selama ini, di masa gubernur-gubernur sebelumnya, ke mana saja duit itu? 

Tanpa berprasangka buruk, saya kira faktor penyebab utamanya adalah sudah dilupakannya akhlak yang berlaku universal itu sebagai rujukan utama. Akhlak dikalahkan oleh norma-norma lain, yang juga baik, tetapi ketika bertentangan dengan akhlak menjadi kehilangan kemuliaannya. Abraham dan Pandu, dua orang baik hati pemimpin KPK, mungkin hanya bermaksud baik ketika mereka bicara dengan orangorang lain yang dikenalnya dengan baik juga, mengenai surat edaran tentang kasus Anas Urbaningrum. 

Ternyata maksud baiknya berdampak buruk sehingga mereka kena sanksi Komite Etik (syukurlah belum kebablasan). Di dalam agama pun, ketika akhlak dinomorduakan dari kriteria lain dampaknya bisa melenceng dari yang diharapkan. Sebagai contoh: akidah. Buat umat Islam, akidah itu harga mati. Tetapi, tentang batas-batas akidah ini pun sesama muslim tidak sepakat. 

Misalnya, ketika ada warga yang meninggal, sudah lazim keluarganya selamatan tiga hari dan tujuh hari, bahkan ada yang 40 hari, 100 hari, sampai 1.000 hari. Dalam selamatan itu hampir semua warga kampung hadir. Selain mendoakan arwah almarhum/almarhumah, ajang selamatan itu juga sekaligus jadi ajang silaturahmi, saling bertukar berita dan cerita. Tetapi, ada ikhwan (saudara seiman) yang tidak mau terlibat karena menurut keyakinannya, selamatan seperti itu melanggar akidah (tidak ada dalam Alquran dan Hadist). 

Akibatnya ikhwan yang satu ini tidak begitu dikenal oleh para tetangganya, terisolasi dari pergaulan dan akan kesulitan jika pada suatu saat ia memerlukan bantuan tetanggatetangganya. Padahal, saya kira tidak ada salahnya (dari norma akhlak) untuk hadir dalam selamatan itu karena yang dibaca pun ayat-ayat Alquran juga, bukan ayat-ayat setan. Wallahu ‘alam bishawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar