Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal
3 April 2013, Komite Etik KPK yang diketuai Prof Anies Baswedan
menjatuhkan sanksi pelanggaran sedang terhadap Ketua KPK Abraham Samad
dan pelanggaran ringan terhadap Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja
sehubungan dengan pembocoran surat edaran terkait kasus Anas Urbaningrum.
Saya kenal
cukup baik dengan Adnan semasa beliau menjabat di Kompolnas dan sepanjang
saya kenal secara subjektif saya tidak percaya bahwa ada kesengajaan pada
Adnan untuk pelanggaran etika. Pasti tidak untuk mencari popularitas
(seperti heboh-heboh mau kudeta, nyatanya cuma bagi-bagi sembako),
apalagi untuk mencari kekayaan (seperti para terpidana KPK). Adnan
seorang profesional yang low
profile.
Saya sama
sekali tidak kenal Abraham Samad. Di TV dia memang lebih high profile
daripada Adnan, tetapi itu karena memang Abraham ketua yang harus lebih
banyak ngomong dan sejauh ini saya rasa bicaranya wajar-wajar saja. Jadi,
sangat mungkin Abraham pun tidak berniat buruk ketika dia melakukan ihwal
yang kemudian dinyatakan sebagai pelanggaran etika itu. Kesimpulannya,
orang-orang baik pun bisa, secara tidak disadari, melanggar etika.
Tetapi, pelanggaran tetap pelanggaran, harus dikenai sanksi. Itulah tugas
Komite Etik KPK.
Etika
(berasal dari kata Yunani: ethos)
biasa disebut juga moral (dari kata Latin: mores). Dalam bahasa Islamnya, yang sudah diserap ke dalam
bahasa Indonesia, disebut akhlak yaitu budi yang luhur, yang mulia
(Al-Qalam: 4). Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”. Beliau bahkan pernah ditanya oleh para sahabat: “Wahai Rasullulah, apakah agama itu?”,
Baginda menjawab, “Agama itu akhlak
yang mulia” (Ahmad, Hakim, dan Baihaqi).
Dengan akhlak
yang mulia, manusia didorong untuk senantiasa berperilaku baik dan
menghindari yang buruk, amal ma’ruf
nahi mungkar, termasuk di dalamnya takwa kepada Allah SWT (hablum minallah), dan saling
menghargai sesama umat manusia, jujur, tidak melecehkan, tidak sombong
atau dengki, saling tolong menolong, jauhi fitnah, dan seterusnya yang
menyangkut semua hal yang terkait dengan hubungan antarsesama manusia (hablum minanas).
Ada berbagai
metode dalam Islam untuk senantiasa menjaga akhlak, termasuk rukun Islam
yang lima itu, dan alhamdullilah,
orang Indonesia makin lama makin kenceng melaksanakan ibadah, sampai-sampai
mau naik haji pun sekarang harus antre lebih dari lima tahun. Tetapi,
mengapa tetap saja perbuatan tak berakhlak terus terjadi? Kementrian
Agama, sebagai institusi negara yang tugasnya menjaga akhlak bangsa,
bahkan kebobolan juga (korupsi pengadaan Alquran dan sebagainya).
Di
institusi-institusi pemerintah yang lain juga seperti Kemendiknas, Polri,
Kejaksaan, Pengadilan, dan DPR/DPRD. Mayoritas rakyat Indonesia muslim
dan rajin berpuasa setiap Ramadan. Setelah 67 tahun merdeka (berarti 68
atau 69 kali puasa), mestinya sudah bisa mengikis habis KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) tanpa perlu demo, reformasi, apalagi revolusi
karena puasa melatih umat Islam untuk kembali ke fitrah, habiskan segala
dosa dan menjadi lebih baik di tahun yang berikut.Tetapi, mana hasilnya?
Kawan saya,
Ustad Abdurrahman Ayub, pernah bermukim selama belasan tahun di Australia.
Beliau alumni Akademi Militer Afghanistan dan pascaperang Afghanistan
melawan Rusia, beliau ditempatkan di Australia sebagai Komandan Mantiki
(Wilayah) IV dari Jamaah Islamiah. Tetapi, Ustad Ayub tidak berperang di
Australia, karena walaupun negara kafir, Pemerintah Australia sangat
memperhatikan warganya.
Kesehatan dan
pendidikan dijamin, bahkan orang tidak bekerja pun dikasih gaji (social welfare). Pemerintah
Australia kafir, tetapi amal akhlaknya tinggi. Beda lagi dengan di
Indonesia. Jokowi menyebar Kartu Jakarta Cerdas dan Kartu Jakarta Sehat. “Enggak apa-apa. Semua akan dibayar
oleh Pemprov DKI. Lha wong duitnya ada, kok?” katanya. Lah, selama
ini, di masa gubernur-gubernur sebelumnya, ke mana saja duit itu?
Tanpa
berprasangka buruk, saya kira faktor penyebab utamanya adalah sudah
dilupakannya akhlak yang berlaku universal itu sebagai rujukan utama.
Akhlak dikalahkan oleh norma-norma lain, yang juga baik, tetapi ketika
bertentangan dengan akhlak menjadi kehilangan kemuliaannya. Abraham dan
Pandu, dua orang baik hati pemimpin KPK, mungkin hanya bermaksud baik
ketika mereka bicara dengan orangorang lain yang dikenalnya dengan baik
juga, mengenai surat edaran tentang kasus Anas Urbaningrum.
Ternyata
maksud baiknya berdampak buruk sehingga mereka kena sanksi Komite Etik
(syukurlah belum kebablasan). Di dalam agama pun, ketika akhlak dinomorduakan
dari kriteria lain dampaknya bisa melenceng dari yang diharapkan. Sebagai
contoh: akidah. Buat umat Islam, akidah itu harga mati. Tetapi, tentang
batas-batas akidah ini pun sesama muslim tidak sepakat.
Misalnya,
ketika ada warga yang meninggal, sudah lazim keluarganya selamatan tiga
hari dan tujuh hari, bahkan ada yang 40 hari, 100 hari, sampai 1.000
hari. Dalam selamatan itu hampir semua warga kampung hadir. Selain
mendoakan arwah almarhum/almarhumah, ajang selamatan itu juga sekaligus
jadi ajang silaturahmi, saling bertukar berita dan cerita. Tetapi, ada
ikhwan (saudara seiman) yang tidak mau terlibat karena menurut
keyakinannya, selamatan seperti itu melanggar akidah (tidak ada dalam
Alquran dan Hadist).
Akibatnya
ikhwan yang satu ini tidak begitu dikenal oleh para tetangganya,
terisolasi dari pergaulan dan akan kesulitan jika pada suatu saat ia
memerlukan bantuan tetanggatetangganya. Padahal, saya kira tidak ada
salahnya (dari norma akhlak) untuk hadir dalam selamatan itu karena yang
dibaca pun ayat-ayat Alquran juga, bukan ayat-ayat setan. Wallahu ‘alam bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar