KPU dan Bawaslu merupakan
dua sejoli nakhoda pemilu. Di tangan dua lembaga itu kesuksesan pemilu
digantungkan. KPU berperan sebagai pelaksana, sedangkan Bawaslu bertugas
mengawal proses pemilu agar berjalan secara fair. Walaupun berbeda,
keduanya merupakan satu kesatuan penyelenggara pemilu. Oleh karena itu,
KPU dan Bawaslu mesti jalan seiring.
Sayangnya, benih keretakan hubungan justru
telah ditabuh sejak tahapan awal penyelenggaraan Pemilu 2014. Tidak jelas
kapan dimulainya. Namun yang pasti, proses verifikasi administrasi calon
peserta pemilu yang berujung dengan dilaporkannya seluruh komisioner KPU
ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Bawaslu merupakan
awal pecahnya ‘perang’ di antara keduanya. Hanya saja, pertempuran itu
segera mereda setelah KPU menerima putusan DKPP untuk mengikutkan partai
politik yang tidak lolos verifikasi administrasi dalam verifi kasi faktual.
Sekalipun demikian, kisah perseteruan
KPU-Bawaslu ternyata belum tuntas sampai di sana. Putusan Bawaslu
menerima permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia kembali
menjadi pemicu. Bawaslu menilai putusannya sudah final sehingga lembaga
itu pun memerintahkan KPU melaksanakannya. Sementara KPU enggan menuruti
perintah Bawaslu. Selain menilai putusan dimaksud belum final, Bawaslu
juga dianggap melampaui wewenang dalam menjatuhkan putusan. Sikap
penolakan itu pun akhirnya berujung dengan pelaporan seluruh komisioner
KPU ke DKPP karena keberatan KPU dianggap sebagai bentuk ped langgaran
kode etik.
Terlepas apakah materi laporan Bawaslu masuk kategori pelanggaran kode
etik atau bukan, yang pasti langkah Bawaslu menunjukkan hubungan kedua
lembaga penyelenggara pemilu itu belum membaik, bahkan cenderung makin
rumit. Kondisi itu tentu tak dapat dianggap sederhana karena bukan saja
mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemilu, melainkan juga akan
berdampak terhadap tingkat kepercayaan publik atas hasil Pemilu 2014.
Kerancuan
Norma
Jika ditilik lebih jauh, alasan paling
sahih yang memicu ketidakharmonisan hubungan KPU-Bawaslu ialah
ketidakjelasan norma UU Pemilu, khususnya terkait dengan upaya hukum yang
dapat ditempuh terhadap hasil penyelesaian sengketa oleh Bawaslu
sebagaimana termuat dalam pasal 259 ayat (3). Dalam ketentuan itu
disebutkan, apabila sengketa verifi kasi tidak dapat diselesaikan, para
pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan KPU dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi tata usaha negara
(PT TUN).
Sebagian kalangan memahami ketentuan di
atas hanya menempatkan partai politik sebagai satu-satunya pihak yang
dapat mengajukan gugatan ke PT TUN. Penilaian itu memang tidak sepenuhnya
keliru sebab berdasarkan frasa ‘dirugikan oleh keputusan KPU’, hanya
partai politiklah pihak yang sangat mungkin dirugikan. Sementara KPU
bukanlah pihak yang dirugikan oleh keputusannya sendiri.
Oleh karena itu,
KPU pun dianggap tidak berhak mengajukan keberatan atau gugatan ke PT TUN.
Konstruksi berpikir demikian seakan
melupakan frasa ‘para pihak’ dalam ketentuan tersebut. Dalam penyelesaian
sengketa pemilu, yang bertindak sebagai para pihak ialah partai politik
dan KPU. Frasa dimaksud tidak dapat menafikan pemahaman bahwa KPU pun berhak
mengajukan keberatan atas keputusan penyelesaian sengketa oleh Bawaslu.
Selain itu, secara a contrario,
jika partai politik sebagai pemohon diberi hak mengajukan gugatan kepada
PT TUN, semestinya KPU pun memiliki hak yang sama karena komisi itu juga
berkepentingan mempertahankan keputusan yang dikeluarkannya.
Kontradiksi pemahaman di atas dipicu
kerancuan dalam perumusan norma undang-undang. Sebab, kata ‘keputusan
KPU’ tidak sinkron dengan frasa ‘para pihak’. Semestinya, jika ingin
membatasi hanya partai politik yang berhak mengajukan gugatan atas
putusan Bawaslu, frasa ‘para pihak’ harus diganti dengan kata ‘pihak’.
Adapun bila ingin memberi ruang yang sama bagi partai politik dan KPU
sebagai para pihak yang bersengketa, kata ‘KPU’ seharusnya diganti dengan
‘Bawaslu’ agar maksud penggunaan frasa ‘para pihak’ menjadi relevan untuk
digunakan dalam ketentuan itu.
Dalam praktiknya, ketidakjelasan norma di
atas disikapi secara berbeda oleh KPU dan Bawaslu. Bagi Bawaslu, norma
dimaksud dijadikan alasan menilai putusannya bersifat final karena KPU
dianggap tidak lagi memiliki upaya hukum untuk melakukan perlawanan. Dalam
konteks itu Bawaslu menempatkan putusannya terkait dengan sengketa verifi
kasi final bagi KPU, tapi tidak final bagi partai politik.
Sementara bagi KPU, kelemahan norma di
atas dijadikan alasan untuk tidak melakukan upaya hukum atas putusan
Bawaslu. Secara bersamaan, dengan merujuk Pasal 259 ayat (1) UU Pemilu,
KPU juga memilih untuk tidak melaksanakan putusan Bawaslu.
Apa yang terjadi dalam proses
penyelesaian sengketa verifikasi calon peserta pemilu di atas diyakini
akan dapat terulang kembali karena masih ada satu tahapan pemilu yang
proses penyelesaian sengketanya persis sama dengan sengketa verifikasi,
yaitu tahapan pendaftaran calon anggota legislatif. Bahkan pada tahap
tersebut, persoalan yang dihadapi akan jauh lebih kompleks. Sebab, setiap
calon anggota DPR, DPD, maupun DPRD yang merasa dirugikan oleh keputusan
KPU dapat mengajukan penyelesaian sengketa ke Bawaslu dan PT TUN.
Jika kerancuan Pasal 259 UU Pemilu tidak
segera disikapi, disharmoni hubungan KPUBawaslu akan terus berlanjut. Untuk
memutus itu, sudah selayaknya ketentuan tersebut diuji secara materiil
karena norma itu tidak saja bertentangan dengan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, tapi juga dengan asas kepastian hukum dalam
penegakan hukum pemilu. Langkah itu jauh lebih tepat untuk menyelesaikan
konflik antara KPU dan Bawaslu ketimbang membawanya ke meja DKPP. Sebab,
masalah itu bukan ranah pelanggaran etik, melainkan soal perbedaan tafsir
atas sebuah norma.
Seiring dengan itu, sudah selayaknya pula
Bawaslu dan KPU saling mengevaluasi diri. Dalam menyelenggarakan pemilu,
mengedepankan profesionalitas jauh lebih penting ketimbang ego sektoral
yang tidak konstruktif. Dalam konteks itu, tidak perlu lagi ada uji
tanding di antara keduanya. Tak perlu adu taji! Sebab, KPU dan Bawaslu
bukan sedang berlaga menjuarai sebuah kompetisi, melainkan bersinergi
untuk memenangkan pemilu yang jujur dan adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar