Kamis, 11 April 2013

Mengakhiri Perseteruan Penyelenggara Pemilu


Mengakhiri Perseteruan Penyelenggara Pemilu
Khairul Fahmi ;  Dosen Hukum Tata Negara, Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 11 April 2013


KPU dan Bawaslu merupakan dua sejoli nakhoda pemilu. Di tangan dua lembaga itu kesuksesan pemilu digantungkan. KPU berperan sebagai pelaksana, sedangkan Bawaslu bertugas mengawal proses pemilu agar berjalan secara fair. Walaupun berbeda, keduanya merupakan satu kesatuan penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu mesti jalan seiring.

Sayangnya, benih keretakan hubungan justru telah ditabuh sejak tahapan awal penyelenggaraan Pemilu 2014. Tidak jelas kapan dimulainya. Namun yang pasti, proses verifikasi administrasi calon peserta pemilu yang berujung dengan dilaporkannya seluruh komisioner KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Bawaslu merupakan awal pecahnya ‘perang’ di antara keduanya. Hanya saja, pertempuran itu segera mereda setelah KPU menerima putusan DKPP untuk mengikutkan partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi dalam verifi kasi faktual.

Sekalipun demikian, kisah perseteruan KPU-Bawaslu ternyata belum tuntas sampai di sana. Putusan Bawaslu menerima permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia kembali menjadi pemicu. Bawaslu menilai putusannya sudah final sehingga lembaga itu pun memerintahkan KPU melaksanakannya. Sementara KPU enggan menuruti perintah Bawaslu. Selain menilai putusan dimaksud belum final, Bawaslu juga dianggap melampaui wewenang dalam menjatuhkan putusan. Sikap penolakan itu pun akhirnya berujung dengan pelaporan seluruh komisioner KPU ke DKPP karena keberatan KPU dianggap sebagai bentuk ped langgaran kode etik.
Terlepas apakah materi laporan Bawaslu masuk kategori pelanggaran kode etik atau bukan, yang pasti langkah Bawaslu menunjukkan hubungan kedua lembaga penyelenggara pemilu itu belum membaik, bahkan cenderung makin rumit. Kondisi itu tentu tak dapat dianggap sederhana karena bukan saja mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemilu, melainkan juga akan berdampak terhadap tingkat kepercayaan publik atas hasil Pemilu 2014.

Kerancuan Norma

Jika ditilik lebih jauh, alasan paling sahih yang memicu ketidakharmonisan hubungan KPU-Bawaslu ialah ketidakjelasan norma UU Pemilu, khususnya terkait dengan upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap hasil penyelesaian sengketa oleh Bawaslu sebagaimana termuat dalam pasal 259 ayat (3). Dalam ketentuan itu disebutkan, apabila sengketa verifi kasi tidak dapat diselesaikan, para pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan KPU dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi tata usaha negara (PT TUN).

Sebagian kalangan memahami ketentuan di atas hanya menempatkan partai politik sebagai satu-satunya pihak yang dapat mengajukan gugatan ke PT TUN. Penilaian itu memang tidak sepenuhnya keliru sebab berdasarkan frasa ‘dirugikan oleh keputusan KPU’, hanya partai politiklah pihak yang sangat mungkin dirugikan. Sementara KPU bukanlah pihak yang dirugikan oleh keputusannya sendiri. 

Oleh karena itu, KPU pun dianggap tidak berhak mengajukan keberatan atau gugatan ke PT TUN.
Konstruksi berpikir demikian seakan melupakan frasa ‘para pihak’ dalam ketentuan tersebut. Dalam penyelesaian sengketa pemilu, yang bertindak sebagai para pihak ialah partai politik dan KPU. Frasa dimaksud tidak dapat menafikan pemahaman bahwa KPU pun berhak mengajukan keberatan atas keputusan penyelesaian sengketa oleh Bawaslu. Selain itu, secara a contrario, jika partai politik sebagai pemohon diberi hak mengajukan gugatan kepada PT TUN, semestinya KPU pun memiliki hak yang sama karena komisi itu juga berkepentingan mempertahankan keputusan yang dikeluarkannya.

Kontradiksi pemahaman di atas dipicu kerancuan dalam perumusan norma undang-undang. Sebab, kata ‘keputusan KPU’ tidak sinkron dengan frasa ‘para pihak’. Semestinya, jika ingin membatasi hanya partai politik yang berhak mengajukan gugatan atas putusan Bawaslu, frasa ‘para pihak’ harus diganti dengan kata ‘pihak’. Adapun bila ingin memberi ruang yang sama bagi partai politik dan KPU sebagai para pihak yang bersengketa, kata ‘KPU’ seharusnya diganti dengan ‘Bawaslu’ agar maksud penggunaan frasa ‘para pihak’ menjadi relevan untuk digunakan dalam ketentuan itu.

Dalam praktiknya, ketidakjelasan norma di atas disikapi secara berbeda oleh KPU dan Bawaslu. Bagi Bawaslu, norma dimaksud dijadikan alasan menilai putusannya bersifat final karena KPU dianggap tidak lagi memiliki upaya hukum untuk melakukan perlawanan. Dalam konteks itu Bawaslu menempatkan putusannya terkait dengan sengketa verifi kasi final bagi KPU, tapi tidak final bagi partai politik.

Sementara bagi KPU, kelemahan norma di atas dijadikan alasan untuk tidak melakukan upaya hukum atas putusan Bawaslu. Secara bersamaan, dengan merujuk Pasal 259 ayat (1) UU Pemilu, KPU juga memilih untuk tidak melaksanakan putusan Bawaslu.

Apa yang terjadi dalam proses penyelesaian sengketa verifikasi calon peserta pemilu di atas diyakini akan dapat terulang kembali karena masih ada satu tahapan pemilu yang proses penyelesaian sengketanya persis sama dengan sengketa verifikasi, yaitu tahapan pendaftaran calon anggota legislatif. Bahkan pada tahap tersebut, persoalan yang dihadapi akan jauh lebih kompleks. Sebab, setiap calon anggota DPR, DPD, maupun DPRD yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU dapat mengajukan penyelesaian sengketa ke Bawaslu dan PT TUN.

Jika kerancuan Pasal 259 UU Pemilu tidak segera disikapi, disharmoni hubungan KPUBawaslu akan terus berlanjut. Untuk memutus itu, sudah selayaknya ketentuan tersebut diuji secara materiil karena norma itu tidak saja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, tapi juga dengan asas kepastian hukum dalam penegakan hukum pemilu. Langkah itu jauh lebih tepat untuk menyelesaikan konflik antara KPU dan Bawaslu ketimbang membawanya ke meja DKPP. Sebab, masalah itu bukan ranah pelanggaran etik, melainkan soal perbedaan tafsir atas sebuah norma.

Seiring dengan itu, sudah selayaknya pula Bawaslu dan KPU saling mengevaluasi diri. Dalam menyelenggarakan pemilu, mengedepankan profesionalitas jauh lebih penting ketimbang ego sektoral yang tidak konstruktif. Dalam konteks itu, tidak perlu lagi ada uji tanding di antara keduanya. Tak perlu adu taji! Sebab, KPU dan Bawaslu bukan sedang berlaga menjuarai sebuah kompetisi, melainkan bersinergi untuk memenangkan pemilu yang jujur dan adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar