Kamis, 11 April 2013

Mempertahankan BBM Bersubsidi demi Popularitas


Mempertahankan BBM Bersubsidi demi Popularitas
Arfanda Siregar ;  Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan Pascasarjana Manajemen Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 11 April 2013

  
Tidak ada solusi luar biasa dari pemerintah untuk melepaskan Indonesia dari defisit bahan bakar minyak (BBM) tahun ini. Pemerintah berencana mengontrol pembelian BBM dengan memasang sistem pemantau BBM bersubsidi di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Tujuannya agar pengguna kendaraan memakai bahan bakar bersubsidi di tingkat yang wajar. Apakah pemerintah tak belajar dari pengalaman tahun lalu? Pembatasan BBM bersubsidi malah menimbulkan persolan baru di tengah masyarakat. Dengan maksud mempertahankan popularitas, sepertinya, pemerintah kerasan menikmati ‘keharuman’ nama di tengah para pengguna BBM yang sebagian besar tak berhak menerima BBM bersubsidi.

Harapan agar popularitas dan elektabilitas tetap mencuat menjelang Pemilu 2014 menjadi alasan utama pemerintah, terkhusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, membiarkan subsidi BBM merobek anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Padahal, kondisi ketersediaan energi kita saat ini lebih mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan tahun lalu. Sekarang, kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barel per hari (bopd), sedangkan produksi minyak mentah hanya sekitar 820 ribu bopd. Apalagi dari jumlah yang diproduksi tersebut, sekitar 40% menjadi bagian kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam bentuk cost recovery (25%) dan bagi hasil (15%). Namanya juga kerja sama dengan asing, tentu sebagian besar hasil kerja sama diboyong ke negara asing. Kita hanya gigit jari dan terpaksa mengimpor minyak mentah demi menutupi kekurangan kebutuhan dalam negeri.

Dengan impor BBM dan minyak mentah mencapai 70%, tentu berbahaya bagi anggaran negara bila itu dijual dengan harga subsidi. Apalagi kalau harga minyak mentah dunia bergejolak, dana subsidi pun bakal merongrong anggaran negara. Tahun lalu, pemerintah menambah kuota BBM bersubsidi dua kali sehingga kuotanya bertambah dari 40 juta kiloliter dalam APBN 2012 menjadi 45,27 juta kiloliter.

Dalam APBN 2013, kuota BBM bersubsidi ditetapkan 46 juta kiloliter, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) US$100 per barel dan subsidi BBM Rp193,8 triliun. Jika ICP mencapai US$115 per barel, subsidi BBM diperkirakan bertambah Rp50 triliun dari yang dianggarkan. Belum lagi jika konsumsi BBM bersubsidi melampaui kuota.

Pemerintah tak pernah belajar dari pengalaman. Tahun lalu, pembatasan distribusi BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah kepada pemilik mobil pribadi telah menimbulkan huru-hara di beberapa kota. Di Kutai, Kalimantan Timur, kelangkaan BBM bersubsidi memicu kerusuhan. Sedikitnya 400 kios pasar dan mes karyawan SPBU dibakar sejumlah warga yang marah karena tidak kebagian BBM subsidi. Juga, di Batam, Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Jambi, dan daerah lain mengalami hal serupa. Pembatasan BBM membuat masyarakat menjadi cemas karena kebutuhan premium sehari-hari hilang di pasaran.

Fakta memang mengatakan solusi pembatasan BBM gagal total, kok pemerintah masih berkeinginan mengulangi kegagalan? Pemerintah seharusnya mencari solusi lain menurunkan konsumsi BBM. Kalau sekadar membatasi penggunaan BBM, itu tidak akan efektif mencegah stabilitas anggaran negara. Bank Indonesia mencatat, pada akhir Januari 2013, cadangan devisa sudah mulai anjlok menjadi US$108,78 miliar dari posisi Desember 2012 sebesar US$112,78 miliar. Bahkan, menurut Menteri perdagangan Gita Wirjawan, defisit perdagangan 2013 bakal membengkak mencapai Rp30 triliun.

Sebenarnya penyelesaian sengkarut BBM di negeri ini sudah jelas, yaitu presiden harus berani memutus mata rantai ketergantungan pengguna kendaraan bermotor terhadap BBM subsidi. Presiden harus berani menjadi raja tega dengan berkata, “Setop subsidi BBM.“

Memang, menaikkan harga BBM bukan kebijakan populis dan bisa membuka front perlawanan rakyat. Aksi massa bakal marak di mana-mana. Pemimpin harus siap menanggung risiko asal bermanfaat bagi stabilitas nasional. Mengapa harus takut di hujat rakyat?

Beberapa tahun lalu, pemerintah pun berkalikali menaikkan harga BBM. Mengapa setahun menjelang pemilu, pemerintah nyaris tak bernyali? Apakah atas dasar ketakutan turun pamor di Pemilu 2014? Beberapa waktu lalu, SBY berani mengambil keputusan tak populis bahkan menjatuhkan wibawanya sebagai presiden dengan menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Mengapa hanya demi kepentingan segelintir elite Demokrat yang berkeinginan sukses pada Pemilu 2014, presiden luluh dan menurunkan derajatnya dengan menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat?

Padahal, jika presiden berani mengambil kebijakan tak populis untuk negara, terdapat dana subsidi sebesar Rp300 triliun lebih yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, yang pada gilirannya dapat mengangkat derajatnya setinggi bintang di langit kalau pemanfaatannya tepat bagi kemaslahatan rakyat.

Pertama, sebagian dana subsidi BBM dialihkan sebagai subsidi yang dapat menjamin ketersediaan bahan dasar kepada masyarakat miskin kalau mereka tidak mampu membeli makanan pokok seperti beras. Subsidi bisa diberikan kepada petani dalam bentuk subsidi pupuk, bibit, dan alat mesin pertanian sehingga harga beras terjangkau.

Kalau persoalan masyarakat ialah mendapatkan biaya kesehatan murah, subsidi bisa diarahkan kepada pemberian asuransi kesehatan yang menjamin biaya berobat dan persalinan bagi orang miskin. Demikian juga kalau persoalan masyarakat berkaitan dengan pendidikan murah dan berkualitas, subsidi diarahkan kepada pembuatan asuransi pendidikan yang dapat menjamin orang miskin menikmati pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dengan gratis.

Kedua, dana subsidi digunakan untuk membangun ribuan kilometer jalan baru, pelabuhan, bandara, dan transportasi massal di kota besar, seperti Jakarta yang sesungguhnya sebagai pengonsumsi terbesar BBM bersubsidi. Sebagian uang subsidi dialihkan untuk pengadaan armada baru yang lebih megah, sebagian lagi dialokasikan untuk biaya perjalanan penumpang.

Jika hal itu terjadi, kita akan memiliki sarana transportasi yang megah, murah, dan nyaman yang akan membuat pengendara sepeda motor tertarik menggunakan angkutan umum. Selama ini sepeda motor ialah moda transportasi yang murah. Dengan uang Rp10 ribu, seseorang dapat menggunakan sepeda motornya rata-rata selama empat hari. Mengapa harus mengorbankan kepentingan bangsa demi popularitas semu yang bisa menenggelamkan bangsa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar