Kamis, 11 April 2013

Ancaman Hipertensi Global


Ancaman Hipertensi Global
Nurul Hidayah ;  Dokter, PNS, Peminat Masalah Sosial-Politik 
REPUBLIKA, 11 April 2013


Dalam beberapa kurun terakhir ini, kita dikejutkan oleh berita meninggalnya tokoh-tokoh publik secara mendadak akibat serangan jantung. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, serangan jantung menjadi penyebab kematian ketiga terbesar di Indonesia. Penyakit ini sebagian besarnya diawali oleh tekanan darah tinggi atau hipertensi. Bahkan, sebagian besar stroke berkaitan dengan hipertensi yang diderita. Stroke termasuk penyebab kematian terbesar di Indonesia. Penyakit ini, selain menyebabkan kematian, juga menyebabkan penderitaan berupa penurunan produktivitas dalam menjalani hidup. 

Pada semua penyakit ini, jelas kita menaruh perhatian besar. Setidaknya, kita berusaha mengobati penderita atau anggota keluarga yang tertimpa. Namun, kita jarang menaruh perhatian ke hipertensi yang menjadi awal malapetaka tersebut. Pengabaian ini karena umumnya hipertensi tidak memiliki gejala sehingga penderita tidak memiliki keluhan apa-apa, sampai suatu malapetaka datang. Apakah itu berupa serangan jantung, stroke, ataupun gagal ginjal. Maka, bisa kita katakan, penyakit hipertensi pembunuh yang diam-diam. 

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), dua dari tiga orang dewasa penduduk dunia saat ini adalah pengidap hipertensi. Karena itu, bukan hal yang berlebihan jika World Health Day tahun ini, yang jatuh pada 7 April 2013, menempatkan hipertensi sebagai tema. Tentu saja agar kita memberi perhatian pada penyakit hipertensi dan bahayanya. 

Perhatian dunia kesehatan sudah semestinya diarahkan pada pembunuh diam-diam ini. Masyarakat postmodern Masalah hipertensi bukan lagi masalah etnis ataupun hereditas. Bahaya hi pertensi sudah mengglobal, seluruh lapisan masyarakat bisa terjangkit hipertensi. Jika pada masa-masa sebelumnya hipertensi diidap oleh anggota masyarakat golongan umur yang sudah senja (sekitar 50 tahun atau lebih), sekarang ini hipertensi bisa menjangkiti mereka yang lebih muda. Mulai dari usia 25 tahun, ancaman hipertensi sudah bisa mendatangi.

Pola hidup masyarakat postmodern saat ini benar-benar telah berubah. Anak- anak kecil beraktivitas lebih banyak diam, seperti bermain gim ataupun menonton televisi. Tidak di desa dan tidak di kota, pola hidup yang immobile telah merambah ke mana-mana. Olahraga atau bergerak fisik seperti telah menjadi barang mewah di tengah kehidupan kita. Di kita, perbaikan dan penambahan jalan (di tengah kota) untuk kendaraan bermotor menjadi agenda utama. Tidak menjadi masalah dan memang sudah seharusnya dalam pembangunan, namun pada saat yang sama, berjalan kaki ataupun bersepeda seperti budaya yang mesti terpinggirkan. 

Dari waktu ke waktu, masyarakat menjadi kekurangan gerak fisik yang mencukupi. Ini membahayakan kesehatan, khususnya menjadi faktor munculnya tekanan darah tinggi. Olah raga dibutuhkan, di antaranya, untuk mempertahankan elastisitas pembuluh darah. Pada saat minim aktivitas fisik, pola konsumsi umumnya masyarakat kita juga tidak sehat. Anak-anak hingga orang tua lebih favorit pada menu-menu instan yang lebih yummy yang lebih memanjakan lidah. Fenomena seperti ini telah membudaya dari kota hingga pelosok desa. 

Pola makan tidak terkontrol. Menu junk food yang tinggi pemrosesan menyuplai kadar garam tinggi pada tubuh. Masyarakat konsumtif ini mengalami problema baru: obesitas dan tingginya garam darah. Ini dua faktor risiko terjadinya hipertensi. Pola konsumtif tersebut didongkrak oleh layanan-layanan pariwara produk makanan-minuman instan yang seolah sudah tidak bisa dikendalikan. Karena itu, faktor penyebab munculnya hipertensi sangat jelas sudah mengglobal.

Stres psikososial yang berkepanjangan (kronis) dalam berbagai studi jelas menunjukkan adanya korelasi untuk terjadinya hipertensi (secara independen). Mekanismenya, kemungkinan besar berangkat dari tingginya aktivitas saraf simpatik dan kelenjar adrenal. Hiperaktivitas simpatis mengontraksikan pembuluh darah (pembuluh mengecil) sehingga terjadilah hipertensi. Keadaan ini juga akan mempercepat kerusakan sel-sel dinding pembuluh darah sehingga mempercepat terbentuknya atheroma (penebalan) di lapisan dalam pembuluh darah. 

Apalagi, jika ternyata stres berkepanjangan juga memicu trombosit (keping darah) menggerombol, ia membentuk agregat. Demikian juga, dengan meningkatnya kortisol (hormon stres), pembentukan aterosklerosis akan lebih meningkat lagi. Walhasil, berkurangnya diameter arteri akan menurunkan pasokan oksigen ke organ-organ vital, seperti otak, jantung, dan ginjal. Ujung-ujungnya, stroke, serangan jantung, dan gagal ginjal menjadi ancaman lebih bagi penderita stres berkepanjangan ini, selain hipertensi itu sendiri. 

Secara psikologis, orang stres berkepanjangan juga dapat melampiaskan kebuntuan akalnya dengan aktivitas baru yang juga tidak sehat: merokok, mabuk-mabukan, dan makan berlebihan. Perilaku negatif ini semakin menambah panjang daftar faktor risiko hipertensi. 

Tekanan Darah Kita

Rata-rata masyarakat kita tidak mengetahui kalau ia berada dalam kondisi tekanan darah yang sudah membahayakan. Sebanyak tiga dari empat penderita hipertensi tidak mengetahui kalau ia terjangkit hipertensi. Karena itu, memeriksa tekanan darah merupakan anjuran rasional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Kita sudah mengetahui bahwa tekanan darah yang `ideal' itu sekitar 120 mmHg/70 mmHg. Perlu pula diketahui, setiap kenaikan tekanan darah 20 mmHg/10 mmHg maka dua kali meningkatkan kemungkinan komplikasi tekanan jantung dan stroke. Sering-seringlah mengecek tekanan darah sekalipun Anda tidak memiliki keluhan kesehatan.

Sama pentingnya dengan tips di atas, pertahankan pola hidup sehat Anda. Itulah yang bisa kita lakukan dalam ranah pribadi. Dalam ranah sosial, dengan kita melihat kemunculan penyakit, itu merupakan sumbangsih dari banyak faktor. Momentum World Health Day tahun ini setidaknya ikut mengingatkan hal itu pada kita semua, anggota masyarakat dunia. Kepedulian kita kepada sesama juga menyehatkan kita. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar