Dalam
beberapa kurun terakhir ini, kita dikejutkan oleh berita meninggalnya tokoh-tokoh
publik secara mendadak akibat serangan jantung. Menurut Riset Kesehatan
Dasar 2007, serangan jantung menjadi penyebab kematian ketiga terbesar di
Indonesia. Penyakit ini sebagian besarnya diawali oleh tekanan darah
tinggi atau hipertensi. Bahkan,
sebagian besar stroke berkaitan dengan hipertensi yang diderita. Stroke termasuk penyebab kematian terbesar di Indonesia. Penyakit ini, selain
menyebabkan kematian, juga menyebabkan penderitaan berupa penurunan
produktivitas dalam menjalani hidup.
Pada
semua penyakit ini, jelas kita menaruh perhatian besar. Setidaknya, kita
berusaha mengobati penderita atau anggota keluarga yang tertimpa. Namun,
kita jarang menaruh perhatian ke hipertensi yang menjadi awal malapetaka
tersebut. Pengabaian ini karena umumnya hipertensi tidak memiliki gejala
sehingga penderita tidak memiliki keluhan apa-apa, sampai suatu
malapetaka datang. Apakah itu berupa serangan jantung, stroke,
ataupun gagal ginjal. Maka, bisa kita katakan, penyakit hipertensi
pembunuh yang diam-diam.
Menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO), dua dari tiga orang dewasa penduduk dunia
saat ini adalah pengidap hipertensi. Karena itu, bukan hal yang berlebihan
jika World Health Day tahun ini, yang jatuh pada 7 April 2013, menempatkan
hipertensi sebagai tema. Tentu saja agar kita memberi perhatian pada
penyakit hipertensi dan bahayanya.
Perhatian
dunia kesehatan sudah semestinya diarahkan pada pembunuh diam-diam ini. Masyarakat
postmodern Masalah hipertensi bukan lagi masalah etnis ataupun hereditas.
Bahaya hi pertensi sudah mengglobal, seluruh lapisan masyarakat bisa
terjangkit hipertensi. Jika pada masa-masa sebelumnya hipertensi diidap
oleh anggota masyarakat golongan umur yang sudah senja (sekitar 50 tahun
atau lebih), sekarang ini hipertensi bisa menjangkiti mereka yang lebih
muda. Mulai dari usia 25 tahun, ancaman hipertensi sudah bisa mendatangi.
Pola
hidup masyarakat postmodern saat ini benar-benar telah berubah. Anak-
anak kecil beraktivitas lebih banyak diam, seperti bermain gim ataupun
menonton televisi. Tidak di desa dan tidak di kota, pola hidup yang immobile telah merambah ke mana-mana.
Olahraga atau bergerak fisik seperti telah menjadi barang mewah di tengah
kehidupan kita. Di kita, perbaikan dan penambahan jalan (di tengah kota) untuk
kendaraan bermotor menjadi agenda utama. Tidak menjadi masalah dan memang
sudah seharusnya dalam pembangunan, namun pada saat yang sama, berjalan
kaki ataupun bersepeda seperti budaya yang mesti terpinggirkan.
Dari
waktu ke waktu, masyarakat menjadi kekurangan gerak fisik yang mencukupi.
Ini membahayakan kesehatan, khususnya menjadi faktor munculnya tekanan
darah tinggi. Olah raga dibutuhkan, di antaranya, untuk mempertahankan
elastisitas pembuluh darah. Pada saat minim aktivitas fisik, pola
konsumsi umumnya masyarakat kita juga tidak sehat. Anak-anak hingga orang
tua lebih favorit pada menu-menu instan yang lebih yummy yang lebih memanjakan lidah. Fenomena seperti ini telah
membudaya dari kota hingga pelosok desa.
Pola
makan tidak terkontrol. Menu junk
food yang tinggi pemrosesan menyuplai kadar garam tinggi pada tubuh. Masyarakat
konsumtif ini mengalami problema baru: obesitas dan tingginya garam
darah. Ini dua faktor risiko terjadinya hipertensi. Pola konsumtif
tersebut didongkrak oleh layanan-layanan pariwara produk makanan-minuman
instan yang seolah sudah tidak bisa dikendalikan. Karena itu, faktor
penyebab munculnya hipertensi sangat jelas sudah mengglobal.
Stres
psikososial yang berkepanjangan (kronis) dalam berbagai studi jelas menunjukkan
adanya korelasi untuk terjadinya hipertensi (secara independen). Mekanismenya,
kemungkinan besar berangkat dari tingginya aktivitas saraf simpatik dan
kelenjar adrenal. Hiperaktivitas simpatis mengontraksikan pembuluh
darah (pembuluh mengecil) sehingga terjadilah hipertensi. Keadaan ini
juga akan mempercepat kerusakan sel-sel dinding pembuluh darah sehingga
mempercepat terbentuknya atheroma
(penebalan) di lapisan dalam pembuluh darah.
Apalagi,
jika ternyata stres berkepanjangan juga memicu trombosit (keping darah)
menggerombol, ia membentuk agregat. Demikian juga, dengan meningkatnya kortisol (hormon stres),
pembentukan aterosklerosis akan lebih meningkat lagi. Walhasil,
berkurangnya diameter arteri akan menurunkan pasokan oksigen ke organ-organ
vital, seperti otak, jantung, dan ginjal. Ujung-ujungnya, stroke,
serangan jantung, dan gagal ginjal menjadi ancaman lebih bagi penderita
stres berkepanjangan ini, selain hipertensi itu sendiri.
Secara
psikologis, orang stres berkepanjangan juga dapat melampiaskan kebuntuan
akalnya dengan aktivitas baru yang juga tidak sehat: merokok,
mabuk-mabukan, dan makan berlebihan. Perilaku negatif ini semakin
menambah panjang daftar faktor risiko hipertensi.
Tekanan Darah Kita
Rata-rata
masyarakat kita tidak mengetahui kalau ia berada dalam kondisi tekanan
darah yang sudah membahayakan. Sebanyak tiga dari empat penderita
hipertensi tidak mengetahui kalau ia terjangkit hipertensi. Karena itu,
memeriksa tekanan darah merupakan anjuran rasional yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Kita
sudah mengetahui bahwa tekanan darah yang `ideal' itu sekitar 120 mmHg/70
mmHg. Perlu pula diketahui, setiap kenaikan tekanan darah 20 mmHg/10
mmHg maka dua kali meningkatkan kemungkinan komplikasi tekanan jantung
dan stroke. Sering-seringlah mengecek tekanan darah sekalipun Anda
tidak memiliki keluhan kesehatan.
Sama
pentingnya dengan tips di atas, pertahankan pola hidup sehat Anda. Itulah
yang bisa kita lakukan dalam ranah pribadi. Dalam ranah sosial, dengan
kita melihat kemunculan penyakit, itu merupakan sumbangsih dari banyak
faktor. Momentum World Health Day
tahun ini setidaknya ikut mengingatkan hal itu pada kita semua, anggota
masyarakat dunia. Kepedulian kita kepada sesama juga menyehatkan kita. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar