Senyum Soeharto terus tumbuh
seiring dengan tingginya harga kebutuhan pokok yang dilanda oleh
masyarakat sekarang ini. Di berbagai sudut pasar tradisional, pusat
bongkar muat barang, maupun pusat logistik lainnya, Pak Harto selalu
hadir menyapa masyarakatnya meskipun hanya sebatas stiker di badan mobil.
Celotehan Pak Harto yang
mengatakan, "Bagaimana
kabarnya? enak zaman (pemerintahan)-ku kan?" merupakan narasi
satir maupun kegetiran yang dihadapi bangsa ini pada masa reformasi.
Sepeninggal kuasa Pak Harto, seolah tidak ada lagi pemimpin yang
mengutamakan sektor pangan sebagai poros utama kebijakan negara.
Mayoritas presiden pasca
Soeharto lebih sibuk pada urusan kepartaian maupun penguatan pertumbuhan
ekonomi sebagai lokus kekuasaan presidensialisme. Maka, tidak ayal
kemudian, karakter kebijakan pangan kita menjadi terliberalisasi
mengikuti trens politik pertumbuhan tersebut.
Garis kebijakan pangan
Soeharto banyak diilhami dari inspirasi Henry Kessinger yang mengatakan
pangan sebagai senjata (food as
weapons) dan dengan pangan dapat mengontrol masyarakat luas.
Inspirasi tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Panca Usaha Tani yang meliputi penggunaan bibit unggul,
pengolahan tanah yang baik, pemupukan tanah secara tepat, pengendalian
hama, dan irigasi.
Kelima hal tersebut itulah
yang sering menjadi prioritas dalam program pembangunan lima tahun
(Pelita) sebagai landasan pembangunan pertanian Indonesia. Selain itu
pula, di tingkat kelembagaan, Bulog adalah badan pemerintah yang dibentuk
mengendalikan enam harga bahan pokok agar stabil dan dibiayai oleh
masyarakat.
Bulog (Badan Urusan
Logistik) didanai APBN sehingga leluasa untuk mengatur produksi,
redistribusi, maupun konsumsi masyarakat. Bulog juga merupakan importer
tunggal atas komoditas pangan yang dirasa masih kurang dengan penunjukkan
langsung oleh pemerintah. Maka, tidaklah mengherankan, komoditas pangan
selalu terjangkau masyarakat luas.
Selain itu hal menarik dari
progam pangan era Soeharto adalah adanya Kelompencapir (kelompok
pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian
Orde Baru yang khas dengan mempertemukan langsung antara petani, nelayan,
dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto sehingga presiden bisa
paham dengan kondisi yang dialami para aktor tersebut.
Kesenjangan
Apabila membandingkan
politik pangan era Soeharto dan para petingginya sangatlah jauh dan
bertentangan sama sekali. Hal pertama adalah liberalisasi pangan.
Soeharto sangat mengecam apabila pangan diserahkan kepada pasar karena
hal itu nantinya akan menimbulkan kesenjangan luas.
Peralihan status pangan dari
era sentralisasi menuju desentralisasi pangan dimulai ketika UU Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Pencabutan itu pulalah yang menjadikan Bulog
sebagai stabilitator pangan menjadi impoten karena kewenangannya kemudian
dipreteli dari semula badan pemerintah non departemen yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden didemisionerkan menjadi Perusahaan Umum.
Hal itulah yang kemudian
membuat filosofi pangan juga ikut berubah. Ketika Bulog masih eksis
menjadi badan pemerintah, orientasinya adalah mencukupi pangan. Sekarang
ini, Bulog lebih mengutamakan laba daripada melayani pangan masyarakat.
Bulog juga semakin impoten manakala kewenangannya mengatur enam bahan
pokok dihapus dan hanya fokus pada beras saja. Adanya hal tersebut yang
kemudian menjadi bahan pangan pokok yang semula dikontrol Bulog seperti
gula, beras, cabai, bawang merah, bawang putih, minyak goring menjadi
bahan spekulasi para kartel pangan.
Barangkali menjadi sebuah
ironi di negeri kita, memiliki presiden seorang dokter ekonomi pertanian,
namun pengaturan sektor pangan yang menjadi output dari hasil pertanian
justru semakin kacau-balau. Sekarang ini, jangankan bermimpi
berswasembada pangan, pangan di negeri kita sendiri telah banyak diimpor
dari negara lain seperti gandum (100 persen dari Australia), bawang putih
(95 persen dari India dan China), gula (78 persen dari Thailand), daging
sapi (18 persen dari Australia), susu (75 persen dari Australia).
(Khudori, 2012).
Dalam skema MP3EI yang
dirilis Kemenko Perekonomian memang menjanjikan akan terjadi swasembada
pangan di tahun 2015 seiring dengan dibangunnya Merauke Food Estate.
Namun, yang menjadi ironi adalah banyak program pertanian MP3EI tersebut
lebih menyenangkan pihak kartel usaha yang dekat dengan penguasa.
Maka, tidaklah mengherankan
kalau pertanian Indonesia berada dalam jurang Malthusian di mana
ketersediaan pangan yang dihitung melalui deret hitung mengalami
ketidakseimbangan dengan jumlah manusia yang dihitung melalui deret ukur.
Laju bonus demografi yang harusnya dapat dimanfaatkan menjadi petani atau
penyuluh pertanian di desa tidak dimaksimalkan.
Stigma petani sebagai
profesi dengan gaji rendah sepertinya masih melekat di kalangan anak muda
zaman sekarang. Jangankan kuliah pertanian sebagai mata pencaharian,
turun ke sawah saja sudah tidak mau. Hal inilah yang masih membelenggu
pola pikir negara kita paska reformasi dimana pertanian semakin
termarjinalkan oleh modernitas zaman dan berpaling dari jati dirinya
sebagai bangsa agraris.
Maka,
tepatlah adagium pangan sebagai senjata dimana pangan menjadi alat
kolonialisasi suatu negara dan saat ini kita terkolonialisasi oleh produk
impor pertanian yang seharusnya kita ekspor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar