Selasa, 09 April 2013

Krisis Pangan dan Senyum Soeharto


Krisis Pangan dan Senyum Soeharto
Wasisto Raharjo Jati ;  Analis Politik dan Kebijakan Publik Fisipol UGM
SUARA KARYA, 09 April 2013


Senyum Soeharto terus tumbuh seiring dengan tingginya harga kebutuhan pokok yang dilanda oleh masyarakat sekarang ini. Di berbagai sudut pasar tradisional, pusat bongkar muat barang, maupun pusat logistik lainnya, Pak Harto selalu hadir menyapa masyarakatnya meskipun hanya sebatas stiker di badan mobil.
Celotehan Pak Harto yang mengatakan, "Bagaimana kabarnya? enak zaman (pemerintahan)-ku kan?" merupakan narasi satir maupun kegetiran yang dihadapi bangsa ini pada masa reformasi. Sepeninggal kuasa Pak Harto, seolah tidak ada lagi pemimpin yang mengutamakan sektor pangan sebagai poros utama kebijakan negara.
Mayoritas presiden pasca Soeharto lebih sibuk pada urusan kepartaian maupun penguatan pertumbuhan ekonomi sebagai lokus kekuasaan presidensialisme. Maka, tidak ayal kemudian, karakter kebijakan pangan kita menjadi terliberalisasi mengikuti trens politik pertumbuhan tersebut.
Garis kebijakan pangan Soeharto banyak diilhami dari inspirasi Henry Kessinger yang mengatakan pangan sebagai senjata (food as weapons) dan dengan pangan dapat mengontrol masyarakat luas. Inspirasi tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Panca Usaha Tani yang meliputi penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan tanah secara tepat, pengendalian hama, dan irigasi.
Kelima hal tersebut itulah yang sering menjadi prioritas dalam program pembangunan lima tahun (Pelita) sebagai landasan pembangunan pertanian Indonesia. Selain itu pula, di tingkat kelembagaan, Bulog adalah badan pemerintah yang dibentuk mengendalikan enam harga bahan pokok agar stabil dan dibiayai oleh masyarakat.
Bulog (Badan Urusan Logistik) didanai APBN sehingga leluasa untuk mengatur produksi, redistribusi, maupun konsumsi masyarakat. Bulog juga merupakan importer tunggal atas komoditas pangan yang dirasa masih kurang dengan penunjukkan langsung oleh pemerintah. Maka, tidaklah mengherankan, komoditas pangan selalu terjangkau masyarakat luas.
Selain itu hal menarik dari progam pangan era Soeharto adalah adanya Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas dengan mempertemukan langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto sehingga presiden bisa paham dengan kondisi yang dialami para aktor tersebut.
Kesenjangan
Apabila membandingkan politik pangan era Soeharto dan para petingginya sangatlah jauh dan bertentangan sama sekali. Hal pertama adalah liberalisasi pangan. Soeharto sangat mengecam apabila pangan diserahkan kepada pasar karena hal itu nantinya akan menimbulkan kesenjangan luas.
Peralihan status pangan dari era sentralisasi menuju desentralisasi pangan dimulai ketika UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pencabutan itu pulalah yang menjadikan Bulog sebagai stabilitator pangan menjadi impoten karena kewenangannya kemudian dipreteli dari semula badan pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden didemisionerkan menjadi Perusahaan Umum.
Hal itulah yang kemudian membuat filosofi pangan juga ikut berubah. Ketika Bulog masih eksis menjadi badan pemerintah, orientasinya adalah mencukupi pangan. Sekarang ini, Bulog lebih mengutamakan laba daripada melayani pangan masyarakat. Bulog juga semakin impoten manakala kewenangannya mengatur enam bahan pokok dihapus dan hanya fokus pada beras saja. Adanya hal tersebut yang kemudian menjadi bahan pangan pokok yang semula dikontrol Bulog seperti gula, beras, cabai, bawang merah, bawang putih, minyak goring menjadi bahan spekulasi para kartel pangan.
Barangkali menjadi sebuah ironi di negeri kita, memiliki presiden seorang dokter ekonomi pertanian, namun pengaturan sektor pangan yang menjadi output dari hasil pertanian justru semakin kacau-balau. Sekarang ini, jangankan bermimpi berswasembada pangan, pangan di negeri kita sendiri telah banyak diimpor dari negara lain seperti gandum (100 persen dari Australia), bawang putih (95 persen dari India dan China), gula (78 persen dari Thailand), daging sapi (18 persen dari Australia), susu (75 persen dari Australia). (Khudori, 2012).
Dalam skema MP3EI yang dirilis Kemenko Perekonomian memang menjanjikan akan terjadi swasembada pangan di tahun 2015 seiring dengan dibangunnya Merauke Food Estate. Namun, yang menjadi ironi adalah banyak program pertanian MP3EI tersebut lebih menyenangkan pihak kartel usaha yang dekat dengan penguasa.
Maka, tidaklah mengherankan kalau pertanian Indonesia berada dalam jurang Malthusian di mana ketersediaan pangan yang dihitung melalui deret hitung mengalami ketidakseimbangan dengan jumlah manusia yang dihitung melalui deret ukur. Laju bonus demografi yang harusnya dapat dimanfaatkan menjadi petani atau penyuluh pertanian di desa tidak dimaksimalkan.
Stigma petani sebagai profesi dengan gaji rendah sepertinya masih melekat di kalangan anak muda zaman sekarang. Jangankan kuliah pertanian sebagai mata pencaharian, turun ke sawah saja sudah tidak mau. Hal inilah yang masih membelenggu pola pikir negara kita paska reformasi dimana pertanian semakin termarjinalkan oleh modernitas zaman dan berpaling dari jati dirinya sebagai bangsa agraris.
Maka, tepatlah adagium pangan sebagai senjata dimana pangan menjadi alat kolonialisasi suatu negara dan saat ini kita terkolonialisasi oleh produk impor pertanian yang seharusnya kita ekspor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar