Kongres
Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat akhirnya memutuskan dan menetapkan
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum DPP PD periode 2013-2015.
Penetapan ini dihasilkan melalui keputusan aklamasi.
Sejak awal memang diperkirakan SBY akan besedia menempati posisi ketum.
Di kalangan internal, awalnya terpecah dua kubu yang mendukung dan menolak
usulan SBY sebagai ketum. Tetapi, menjelang hari-hari akhir KLB, sikap
yang menolak SBY semakin melunak. Akhirnya, suara bulat pun resmi
mendukung SBY.
Di
kalangan eksternal, muncul berbagai kritik keras hingga sindiran terhadap
usulan SBY menjadi ketum. Pasca-KLB, SBY harus menerima konsekuensi
semakin beratnya mengelola negara dengan mengurus partai. Hingga akhir
periodenya, masih banyak persoalan bangsa yang membutuhkan keputusan
cepat dan strategis. Sementara, anjloknya elektabilitas PD dengan berbagai
kasus korupsi yang terjadi mau tidak mau membutuhkan konsentrasi yang
sangat besar.
Tidak
ada alasan bagi SBY untuk lebih konsentrasi mengurus pemerintahan dan negara
dibandingkan dengan mengurus partai. Ini akan menjadi preseden buruk jika
SBY lebih sibuk mengurus partainya menjelang Pemilu 2014. Kekecewaan
publik terhadap SBY akan semakin besar. Konsekuensi politik yang
harus diterima bisa jadi berbentuk delegitimasi terhadap posisi SBY.
Jangan salahkan rakyat jika akumulasi kekecewaan semakin menggunung
sebelum berakhirnya periode kepemimpinan SBY. Ini menunjukkan lemahnya
moralitas politik dalam tubuh PD dan SBY berada dalam pusaran defisit
moralitas politik tersebut.
Sejatinya,
SBY harus menempatkan urusan negara dan bangsa di atas kepentingan partai
dan golongan tertentu. Jika SBY menolak tawaran kursi ketum, justru
publik akan memberikan kredit politik positif bagi SBY karena ada kepercayaan
SBY bisa menuntaskan periodenya dengan husnul khatimah.
Secara moral politik juga rasanya bukan contoh yang baik bagi demokrasi
Indonesia jika SBY menempati ketum sementara Ibas menjadi sekretaris jenderal.
SBY juga memberikan contoh tidak baik dalam etika politik nasional.
Beberapa
ketua umum partai mengundurkan diri dari jabatan publik setelah resmi
diangkat sebagai ketua umum. Hal ini bisa dilihat dari tradisi
politik PKS yang mewajibkan presiden partainya untuk mundur dari jabatan
publik setelah resmi dipilih sebagai presiden partai. Bahkan, mantan
ketum PD Anas Urbaningrum sendiri mengundurkan diri dari ketua Fraksi PD
setelah terpilih sebagai Ketum PD. Ironisnya lagi, putra SBY, Ibas,
mengundurkan diri sebagai anggota DPR RI dan fokus untuk mengurus partai
dengan jabatan sekjen. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan
politik Indonesia.
Krisis Otoritas
Terlalu
mahal harga politiknya bagi PD dengan menempatkan SBY sebagai ketumnya.
Ini bisa dipahami dalam beberapa makna politik. Pertama, ini menunjukkan
adanya degradasi otoritas politik yang dimiliki SBY. Kekuasaan dan
kharismanya sebagai dewan pembina dan majelis tinggi adalah otoritas
politik yang sangat terhormat dalam sebuah struktur partai. Posisi
ini setara dengan posisi majelis syuro yang ditempati Gus Dur di PKB
maupun KH Hilmi Aminuddin di PKS. Dalam terminologi sosiologi
politik, posisi ini hanya bisa ditempati oleh seorang aktor politik yang
dianggap paripurna dalam pengalaman politiknya karena dianggap memiliki
otoritas lebih dibandingkan dengan kader-kader lainnya.
Meminjam
penjelasan Max Weber, otoritas ini ada karena memiliki kharisma,
kewibawaan tradisional, maupun otoritas birokrasi. Dengan menunjuk posisi
SBY sebagai ketum, makna adiluhung
otoritas tersebut sudah bergeser, bahkan berkurang kadarnya dalam sosok
SBY. Meskipun akan ditunjuk ketua harian, tetap saja SBY tergoda dengan
sikap politik yang terkesan tidak cerdas dari internalnya.
SBY
tidak sadar bahwa desakan internal sama saja dengan mendegradasikan
otoritasnya. Jika SBY menyerahkan posisi ketum pada kader lain, otoritas
politiknya tetap akan terawat dengan baik. Kedua, apa pun alasan kalangan
internal PD dengan memberi SBY posisi ketum tidak bisa menjamin
pelembagaan konflik bisa diselesaikan dengan baik. Termasuk juga tidak
menjamin peningkatan elektabilitas politik PD.
Penetapan
SBY justru menempatkan PD pada masalah sebenarnya, yaitu regenerasi kader
politik. Penunjukkan SBY sebagai ketum menunjukkan PD tidak bisa
melakukan regenerasi dan suksesi kepemimpinan politik secara elegan dan
terhormat. Padahal, banyak kader-kader PD yang mumpuni menempati jabatan
ketum dibandingkan dengan hanya berada di bawah bayang-bayang politik
SBY.
Jika
ekspektasi internal PD terhadap SBY sangat besar, sementara PD semakin
anjlok dalam Pemilu 2014, SBY adalah pihak utama yang harus bertanggung
jawab. Internal PD adalah pihak pertama yang mendorong SBY sebagai ketum. Di
sisi lain, jika urusan kenegaraan menjelang 2014 semakin semrawut di
bawah kendali SBY, pihak yang paling pertama diminta
pertanggungjawabannya adalah PD. Dengan kata lain, posisi ketum SBY
adalah bentuk dari sandera politik internal PD terhadap SBY.
SBY
dihadapkan pada tanggung jawabnya yang semakin kompleks dalam tugas-tugas
kenegaraannya. Masih banyak agenda dan pekerjaan pemerintahan yang belum
terlaksana di akhir kepemimpinannya. Di luar istana, kehidupan rakyat
semakin susah dan suasana keamanan juga menjadi ancaman serius bagi masa
depan Indonesia.
SBY
harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya secara paripurna kepada
rakyat Indonesia. Kepemimpinan dua periodenya harus memberikan legacy pada kehidupan ekonomi
politik nasional. Terlena dengan urusan partai di akhir periodenya
sementara abai dengan urusan negara dan rakyatnya hanya akan mencoreng
kepemimpinannya selama 10 tahun. Ini adalah amanah rakyat yang harus
dipertanggungjawabkan melebihi amanah partai politik yang sangat pragmatis.
Sudah
banyak kekecewaan publik terhadap kinerja SBY. Terlalu mahal harga
demokrasi jika kepercayaan rakyat ditelikung dengan urusan dapur partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar