Kamis, 04 April 2013

Kemunduran Demokrasi


Kemunduran Demokrasi
Rakhmat Hidayat  ;   Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Universite Lumiere Lyon 2 France
REPUBLIKA, 02 April 2013


Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat akhirnya memutuskan dan menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum DPP PD periode 2013-2015. Penetapan ini dihasilkan melalui keputusan aklamasi.
Sejak awal memang diperkirakan SBY akan besedia menempati posisi ketum.
Di kalangan internal, awalnya terpecah dua kubu yang mendukung dan menolak usulan SBY sebagai ketum. Tetapi, menjelang hari-hari akhir KLB, sikap yang menolak SBY semakin melunak. Akhirnya, suara bulat pun resmi mendukung SBY. 

Di kalangan eksternal, muncul berbagai kritik keras hingga sindiran terhadap usulan SBY menjadi ketum. Pasca-KLB, SBY harus menerima konsekuensi semakin beratnya mengelola negara dengan mengurus partai. Hingga akhir periodenya, masih banyak persoalan bangsa yang membutuhkan keputusan cepat dan strategis. Sementara, anjloknya elektabilitas PD dengan berbagai kasus korupsi yang terjadi mau tidak mau membutuhkan konsentrasi yang sangat besar. 

Tidak ada alasan bagi SBY untuk lebih konsentrasi mengurus pemerintahan dan negara dibandingkan dengan mengurus partai. Ini akan menjadi preseden buruk jika SBY lebih sibuk mengurus partainya menjelang Pemilu 2014. Kekecewaan publik terhadap SBY akan semakin besar. Konsekuensi politik yang harus diterima bisa jadi berbentuk delegitimasi terhadap posisi SBY. Jangan salahkan rakyat jika akumulasi kekecewaan semakin menggunung sebelum berakhirnya periode kepemimpinan SBY. Ini menunjukkan lemahnya moralitas politik dalam tubuh PD dan SBY berada dalam pusaran defisit moralitas politik tersebut. 

Sejatinya, SBY harus menempatkan urusan negara dan bangsa di atas kepentingan partai dan golongan tertentu. Jika SBY menolak tawaran kursi ketum, justru publik akan memberikan kredit politik positif bagi SBY karena ada kepercayaan SBY bisa menuntaskan periodenya dengan husnul khatimah.
Secara moral politik juga rasanya bukan contoh yang baik bagi demokrasi Indonesia jika SBY menempati ketum sementara Ibas menjadi sekretaris jenderal. SBY juga memberikan contoh tidak baik dalam etika politik nasional.

Beberapa ketua umum partai mengundurkan diri dari jabatan publik setelah resmi diangkat sebagai ketua umum. Hal ini bisa dilihat dari tradisi politik PKS yang mewajibkan presiden partainya untuk mundur dari jabatan publik setelah resmi dipilih sebagai presiden partai. Bahkan, mantan ketum PD Anas Urbaningrum sendiri mengundurkan diri dari ketua Fraksi PD setelah terpilih sebagai Ketum PD. Ironisnya lagi, putra SBY, Ibas, mengundurkan diri sebagai anggota DPR RI dan fokus untuk mengurus partai dengan jabatan sekjen. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan politik Indonesia.

Krisis Otoritas

Terlalu mahal harga politiknya bagi PD dengan menempatkan SBY sebagai ketumnya. Ini bisa dipahami dalam beberapa makna politik. Pertama, ini menunjukkan adanya degradasi otoritas politik yang dimiliki SBY. Kekuasaan dan kharismanya sebagai dewan pembina dan majelis tinggi adalah otoritas politik yang sangat terhormat dalam sebuah struktur partai. Posisi ini setara dengan posisi majelis syuro yang ditempati Gus Dur di PKB maupun KH Hilmi Aminuddin di PKS. Dalam terminologi sosiologi politik, posisi ini hanya bisa ditempati oleh seorang aktor politik yang dianggap paripurna dalam pengalaman politiknya karena dianggap memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan kader-kader lainnya. 

Meminjam penjelasan Max Weber, otoritas ini ada karena memiliki kharisma, kewibawaan tradisional, maupun otoritas birokrasi. Dengan menunjuk posisi SBY sebagai ketum, makna adiluhung otoritas tersebut sudah bergeser, bahkan berkurang kadarnya dalam sosok SBY. Meskipun akan ditunjuk ketua harian, tetap saja SBY tergoda dengan sikap politik yang terkesan tidak cerdas dari internalnya. 

SBY tidak sadar bahwa desakan internal sama saja dengan mendegradasikan otoritasnya. Jika SBY menyerahkan posisi ketum pada kader lain, otoritas politiknya tetap akan terawat dengan baik. Kedua, apa pun alasan kalangan internal PD dengan memberi SBY posisi ketum tidak bisa menjamin pelembagaan konflik bisa diselesaikan dengan baik. Termasuk juga tidak menjamin peningkatan elektabilitas politik PD. 

Penetapan SBY justru menempatkan PD pada masalah sebenarnya, yaitu regenerasi kader politik. Penunjukkan SBY sebagai ketum menunjukkan PD tidak bisa melakukan regenerasi dan suksesi kepemimpinan politik secara elegan dan terhormat. Padahal, banyak kader-kader PD yang mumpuni menempati jabatan ketum dibandingkan dengan hanya berada di bawah bayang-bayang politik SBY. 

Jika ekspektasi internal PD terhadap SBY sangat besar, sementara PD semakin anjlok dalam Pemilu 2014, SBY adalah pihak utama yang harus bertanggung jawab. Internal PD adalah pihak pertama yang mendorong SBY sebagai ketum. Di sisi lain, jika urusan kenegaraan menjelang 2014 semakin semrawut di bawah kendali SBY, pihak yang paling pertama diminta pertanggungjawabannya adalah PD. Dengan kata lain, posisi ketum SBY adalah bentuk dari sandera politik internal PD terhadap SBY.

SBY dihadapkan pada tanggung jawabnya yang semakin kompleks dalam tugas-tugas kenegaraannya. Masih banyak agenda dan pekerjaan pemerintahan yang belum terlaksana di akhir kepemimpinannya. Di luar istana, kehidupan rakyat semakin susah dan suasana keamanan juga menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. 

SBY harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya secara paripurna kepada rakyat Indonesia. Kepemimpinan dua periodenya harus memberikan legacy pada kehidupan ekonomi politik nasional. Terlena dengan urusan partai di akhir periodenya sementara abai dengan urusan negara dan rakyatnya hanya akan mencoreng kepemimpinannya selama 10 tahun. Ini adalah amanah rakyat yang harus dipertanggungjawabkan melebihi amanah partai politik yang sangat pragmatis.

Sudah banyak kekecewaan publik terhadap kinerja SBY. Terlalu mahal harga demokrasi jika kepercayaan rakyat ditelikung dengan urusan dapur partai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar