|
Awal
bulan lalu, di Republika, Senin (4/3), saya menulis "Neraca Perdagangan
dan Darurat Migas". Melalui tulisan tersebut, saya ingin menyampaikan
bahwa kondisi perminyakan dan gas (migas) kita, baik dilihat dari sisi
hulu maupun hilir, sesungguhnya cukup memprihatinkan bila dibaca dari
neraca perdagangan kita.
Dalam
tulisan tersebut, saya memperkirakan, rasanya sulit bahwa neraca
perdagangan sektor migas kita akan mengalami surplus tahun ini. Rendahnya
tingkat produksi minyak mentah dan tingginya perkiraan konsumsi BBM akan
menjadi faktor utama di balik kecilnya kemungkinan neraca perdagangan
migas dapat mengalami surplus.
Bank
Indonesia (BI) pada pertengahan Maret lalu merilis laporan Tinjauan
Kebijakan Moneter (TKM) bulan Maret. Dalam laporan TKM pada Maret
tersebut, BI membuat prediksi yang sama persis dengan apa yang saya perkirakan.
BI menyatakan bahwa "... kontraksi ekspor minyak dan gas akibat
masih belum tercapainya target lifting minyak diperkirakan masih
berlanjut pada 2013. Impor migas masih berpotensi meningkat, merespons
belum optimalnya produksi minyak pada awal tahun serta rencana pemerintah
untuk tidak menaikkan harga BBM yang mendorong tingginya penyediaan
minyak melalui jalur impor."
BI dalam laporannya tersebut juga mengingatkan agar
Indonesia mewaspdai risiko terkait dengan semakin meningkatnya impor
migas tersebut. Di sisi lain, tingginya impor migas tersebut diperkirakan
akan meningkatkan kebutuhan likuditas valas domestik. Kalau kita perhatikan, tingginya
kebutuhan valas domestik inilah yang menyebabkan nilai tukar rupiah kita
mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir ini. Dalam dua bulan
pertama 2013, rata-rata kurs rupiah mencapai Rp 9.680 per dolar Amerika
Serikat (AS), jauh melemah dibandingkan pada awal 2012 lalu, yang berada
pada level Rp 9.000-an.
Di tengah kondisi permigasan kita, berikut implikasi
nya, yang mengalami tekanan tersebut, kini pemerintah (melalui Kementerian
ESDM) menginisiasi akan me nerapkan pembatasan konsumsi bahan bakar mi
nyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan bermotor melalui penerapan sistem monitoring
pengendalian (SMP) BBM bersubsidi. Melalui penerapan SMP ini, apabila
sebuah kendaraan mengonsumsi BBM bersubsidi 20-30 per liter maka setelah
kebijakan pembatasan diberlakukan kendaraan tersebut tidak boleh menggunakan
lebih dari jumlah itu.
Pada dasarnya, opsi pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi ini bukanlah opsi baru dalam perjalanan kebijakan pengendalian
subsidi BBM pada era pemerintahan saat ini. Sejak 2010, pemerintah
sesungguhnya telah memiliki mandat untuk mengendalikan konsumsi BBM
bersubsidi, sebagaimana terlihat pada pada UU APBN 2010 hingga UU APBN-Perubahan
2012. Dan, menurut UU No 4/2012, kebijakan pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi tersebut harus dilakukan secara bertahap, tentunya dengan
harapan agar implementasinya dapat dilakukan secara tepat.
Pada 2013 ini, bahkan pemerintah juga diberikan mandat
yang lebih luas untuk mengendalikan subsidi BBM pada APBN 2013, yaitu
tidak hanya dapat menyesuaikan harga BBM bersubsidi, tetapi juga
kebijakan lain yang dipandang perlu agar belanja subsidi tetap sesuai dengan
target APBN 2013. Itu artinya, pemerintah pun sejatinya memiliki
kewenangan, termasuk melakukan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Sayangnya, kita meyaksikan dalam beberapa tahun terakhir
ini, pemerintah terlihat sering tidak konsisten dalam implementasi
kebijakan pengendalian BBM bersubsidi. Faktanya, meski kebijakan
pengendalian konsumsi BBM telah diberikan mandatnya sejak 2010, pemerintah
tidak sungguh-sungguh untuk mengimplementasikannya. Padahal, penerapan pengendalian
konsumsi BBM bersubsidi memerlukan kesiapan pengadaan infrastruktur,
teknis, dan kesiapan operasional. Tidak bisa pada saat kebutuhan
pengendalian beban subsidi BBM-nya di perlukan tahun ini, kebijakan
pengendalian konsumsi BBM-nya baru diumumkan saat ini. Di sisi lain,
kebutu han akan pengendalian be ban subsidi BBM dalam APBN 2013 ini sudah
mendesak.
Kombinasi atas risiko melesetnya pencapaian target
lifting minyak dan pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi berpotensi meningkatkan
defisit fiskal yang harus ditanggung APBN. Dalam APBN 2013, defisit
fiskal yang ditetapkan sebesar 1,65 persen dari PDB atau sekitar Rp 153,3
triliun. Defisit fiskal ini berpotensi membengkak bilamana tidak
dilakukan pengendalian dari sisi belan- janya, termasuk belanja subsidi
BBM.
Dari sisi neraca migas dalam APBN 2013, pembengkakan
defisit fiskal ini muncul karena berdasarkan analisis sensitivitas,
setiap penurunan liftingminyak sebesar 10 ribu barel per hari (bph) akan
menyebabkan defisit APBN melebar sekitar Rp 1,1 triliun. Sehingga, bila lifting
minyak pada 2013 katakanlah sama dengan tahun 2012 (sekitar 860 ribu
bph), yang berarti kurang sekitar 40 ribu bph dari target 900 ribu bph,
maka tambahan defisit APBN 2013 diperkirakan bisa mencapai Rp 4,4
triliun.
Tekanan terhadap defisit APBN karena faktor lifting ini
diperkirakan bisa lebih meningkat lagi karena faktanya hingga kini tidak
ada sumur-sumur baru yang dapat menghasilkan tambahan minyak yang
signifikan untuk menggantikan penurunan produksi minyak mentah yang terus
terjadi karena semakin tuanya usia sumur minyak lama (existing wells). Bahkan, Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
berencana akan merevisi target lifting minyak dari 900 ribu bph dalam
APBN 2013 menjadi kisaran 830 ribu-850 ribu bph.
Tampaknya, ongkos yang harus dibayar oleh APBN kita
(yang berujung pada beban kepada masyarakat) akibat inkonsistensi kebijakan
pemerintah dalam hal kebijakan subsidi BBM ini memang akan terasa mahal. Dalam
kondisi seperti ini, pilihan kebijakan akhirnya menjadi sangat terbatas.
Bila harga BBM bersubsidi dinaikkan, memang itu akan meringankan beban
subsidi BBM pada APBN 2013. Namun, dampaknya terhadap inflasi selama 2013
tentu tidak kecil dan itu berarti masyarakat harus ikut menanggungnya.
Dan, secara politik, kebijakan itu tidak populer. Lalu, apa yang harus
dilakukan di tengah pilihan-pilihan yang sulit ini?
Saya mengusulkan, pertama, pemerintah harus melakukan
penajaman lagi terhadap pos-pos belanja APBN yang berujung pada efisiensi
anggaran.
Kedua, pemerintah perlu meng ambil opsi
lain, seperti melakukan lindung nilai untuk melindungi APBN kita dari fluktuasi
harga minyak mentah. Indonesia
semestinya telah menjadikan oil
hedging sebagai kebutuhan sejak lama. Karena faktanya, realisasi
harga minyak (ICP) hampir selalu lebih tinggi dibanding dengan asumsi
yang ditetapkan APBN. Data menunjukkan, kurun 2007-2012, realisasi ICP
cenderung di atas harga yang ditetapkan APBN.
Dan ketiga, pemerintah harus konsisten dalam
implementasi kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, apa pun
situasinya, apakah terdapat tekanan harga minyak mentah ataupun tidak.
Ini mengingat, kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi tidak hanya
penting bagi APBN, tetapi juga untuk mewujudkan penggunaan energi secara
efisien dalam jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar