|
Penghapusan
monopoli impor pangan Bulog oleh IMF pada tahun 1998 telah menimbulkan
dampak negatif berupa ketidak stabilan harga pangan pada komoditas yang
berbasiskan impor, seperti pada kacang kedelai. Harga jual kacang kedelai
menjadi sangat rendah ketika musim panen tiba. Akibatnya, petani sebagai
penerima harga dapat merugi karena harga jual kacang kedelai dapat lebih
rendah di bawah biaya produksi. Sementara itu, ketika musim paceklik
tiba, harga kacang kedelai menjadi sangat tinggi.
Akan
tetapi, harga jual kacang kedelai yang sangat tinggi tersebut tidak dapat
dinikmati oleh petani, karena petani tak sanggup menunda penjualan
kedelai.
Keuangan petani tidak me mungkinkannya untuk menjual seba gian hasil
panen kedelai dan menyimpan sebagian besar kedelai di dalam gudang untuk
menunggu harga jual yang tinggi ketika musim paceklik tiba. Petani juga
tidak dapat mengatur musim tanam kedelai.
Perlunya
kesesuaian pada banyaknya curah hujan dan pengairan telah membatasi
petani untuk mengubah bercocok tanam kacang kedelai dari tanaman sela
menjadi tanaman pangan pokok (padi). Oleh karena produksi kedelai di
dalam negeri berkembang kalah cepat dengan jumlah konsumsinya, maka pemerintah
melaksanakan kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Pada
kasus impor kacang kedelai, harga impor hampir pasti selalu di bawah
harga jual dari produksi kacang kedelai di dalam negeri. Perbedaan harga
jual tersebut disebabkan oleh produktivitas kacang kedelai impor yang
jauh lebih tinggi, kacang kedelai impor ditanam dalam skala usaha yang
besar sehingga bersifat lebih ekonomis, serta adanya keberpihakan sangat
tinggi dari pemerintah produsen utama ke delai di tingkat dunia kepada
para petaninya.
Pembukaan
keran impor kacang kedelai di Indonesia menimbulkan harga jual kacang
kedelai produksi di dalam negeri sangat mudah tertekan ke bawah.
Akibatnya, petani kacang kedelai di dalam negeri semakin kurang
diuntungkan oleh kebijakan impor tersebut. Jumlah produksi kacang kedelai
di dalam negeri menjadi semakin kalah cepat dibandingkan perkembangan
jumlah konsumsi kacang kedelai, sehingga impor kacang kedelai yang semula
lebih kecil dibandingkan produksi di dalam negeri, kemudian posisi
perdagangan berubah. Setelah beberapa tahun kemudian, jumlah impor
kacang kedelai lebih besar dibandingkan jumlah produksi kacang kedelai di
dalam negeri. Hal itu semakin menimbulkan ketergantungan impor kacang
kedelai.
Ketidakstabilan
harga impor kacang kedelai yang disebabkan gagal panen di negara produsen
utama, adanya keterlambatan izin impor, dan pengetatan impor mampu
mengurangi pasokan kacang kedelai impor yang membuat harga jual kacang
kedelai di dalam negeri mudah melambung tinggi. Kejadian tersebut
terbukti telah membangkrutkan perajin tempe dan tahu di dalam negeri. Hal
itu kemudian merugikan konsumen dalam bentuk kenaikan harga produk yang
tinggi dan berkurangnya pemenuhan gizi makro yang murah untuk konsumen
berpendapatan rendah di dalam negeri.
Setelah
pemerintah Indonesia berhasil keluar dari krisis moneter dan terbebas
dari ketergantungan untuk menjalankan kebijakan pengetatan di bidang
moneter dari IMF pada beberapa tahun yang lalu, Indonesia masih terikat
kesepakatan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar BUMN tidak
melakukan monopoli perdagangan, kecuali sebatas pada makanan pokok
(beras). Akibatnya, kondisi ketidakstabilan harga pangan kacang kedelai
masih berlanjut dan Bulog tidak dapat melakukan kegiatan monopoli perdagangan
impor kacang kedelai sebagai badan penyangga pangan untuk mengatasi
persoalan petani di atas.
Sistem Resi Gudang
Sebenarnya
pemerintah telah mempunyai program sistem resi gudang (SRG) yang
diperkenalkan sejak tahun 2006 untuk melakukan manuver guna mengatasi
kendala kelembagaan badan penyangga pangan agar pemerintah Indonesia
tidak melanggar kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia. Di samping itu,
SRG berguna untuk mengatasi persoalan petani di atas melalui penyediaan
mekanisme kredit bersubsidi bunga 0,5 persen per bulan senilai 70 persen
dari nilai resi gudang.
Agunan
kreditnya adalah barang yang disimpan di dalam gudang yang memang hendak
ditunda penjualannya oleh petani guna memperoleh harga jual yang lebih
tinggi. Akan tetapi, kacang kedelai untuk dapat dijadikan sebagai barang
yang dapat disimpan di dalam gudang SRG dewasa ini masih belum disahkan
oleh Kementerian Perdagangan.
Selain
kedelai, komoditas pangan lain juga sebenarnya punya persoalan yang
sangat mirip de ngan perilaku ekonomi kacang kedelai, seperti pada bawang
merah, bawang putih, cabai merah, garam, dan gula. Pada kasus daging sapi
dan telur ayam juga agak mirip. Dewasa ini Kementerian Perdagangan telah
menetapkan sembilan komoditas yang dapat disimpan dalam gudang SRG, yaitu:
gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, dan rotan.
Dari kesembilan komoditas SRG tersebut, komoditas yang mulai berkembang
dengan baik pada beberapa gudang SRG adalah gabah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar