Selasa, 09 April 2013

Menyoal Program Kesehatan


Menyoal Program Kesehatan
Umar Zein  ;  Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia/Rumah Sakit Royal Prima Medan
KORAN SINDO, 09 April 2013

  
Kebijakan kesehatan yang dibuat Kementerian Kesehatan Indonesia banyak yang fenomenal dan menghasilkan daya ungkit besar dalam mengubah derajat kesehatan masyarakat. 

Di antaranya, pembangunan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di era tahun 1970-an, pos pelayanan terparu (Posyandu) di era tahuan 1980-an, serta usaha kesehatan sekolah (UKS) dengan dokter kecil dan dokter remaja. Kemudian ada lagi program Saka Bakti Husada yang melibatkan Pramuka dalam upaya promosi kesehatan. Berbagai program tersebut pernah berjaya pada masanya dan membuka mata dunia, bahkan beberapa negara mengadopsi program tersebut karena dianggap berhasil. 

Saat ini kita melihat, jangankan berkembang untuk mempertahankannya saja sulit di banyak daerah, kalau tidak boleh dikatakan mengalami kemunduran. Mengapa? Penulis menduga ada berbagai faktor yang secara langsung memengaruhi maupun tidak langsung. Termasuk pergantian rezim pemerintahan yang melalui proses pergolakan politik dan dinamika nasional. Serta yang paling penting adalah ketidakmampuan daerah menggali kearifan lokal daerahnya masing-masing dan selalu berpedoman kepada kebijakan pusat yang tidak sinkron dengan permasalahan di daerah. 

Program yang Pernah Berhasil 

Pertama, puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yaitu satu bidang perhatian layanan kesehatan yang merupakan garis singgung antara layanan perorangan (klinis) dan layanan masyarakat (public health) yang menjadi ujung tombak program kesehatan nasional. Puskesmas disebut juga sebagai primary health care/pelayanan kesehatan primer, integrasi antara segi biomedisi penyakit umum dan pencegahan penyakit dalam penanggulangan masalah-masalah kesehatan dan peningkatan tingkat kesehatan penduduk melalui penyuluhan kesehatan masyarakat, posyandu, dasawisma, maupun program KB. 

Sampai 20 tahun pertama kegiatan di puskesmas mampu menjadi ujung tombak penanggulangan masalah kesehatan masyarakat, walau dengan jumlah dan jenis tenaga kesehatan terbatas. Dokter yang ditugaskan di puskesmas juga mampu menghimpun potensi masyarakat di wilayah kerjanya, meski dengan gaji sangat minim sebagai pegawai negeri sipil. Bahkan, puskesmas terbukti melahirkan kader-kader pemimpin berkualitas dan mampu mengaplikasikan ilmunya, baik secara klinis maupun manajerial. 

Ketika itu petugas kesehatan disadari atau tidak menerapkan ilmu klinis dan kesehatan masyarakat sekaligus menjadi pemimpin organisasi puskesmas. Awalnya hanya memiliki tenaga perawat dan bidan yang umumnya bukan jenjang D3 apalagi S1. Waktu berlalu, masa berganti, sistem dan kebijakan pemerintah terus bertukar. Petugas kesehatan di puskesmas juga berganti. Ternyata kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas semakin menurun dari tahun ke tahun. Perhatian petugas kesehatan terhadap masyarakat di wilayah kerja juga menurun. 

Kearifan lokal daerah tidak mampu ditumbuhkembangkan dan dilestarikan. Peningkatan fasilitas kesehatan ternyata tidak berkorelasi positif dengan kualitas pelayanan. Gedung puskesmas semakin besar dan semakin tinggi, bahkan ada puskesmas berlantai empat. Upaya promosi dan preventif semakin berkurang, maka jadilah puskesmas tempat masyarakat datang berobat sebelum ke rumah sakit. Tak jarang pula puskesmas hanya sebagai unit layanan yang hanya memberikan surat rujukan ke rumah sakit. 

Hal lebih ekstrem, terutama di daerah perkotaan, dokter puskesmas hanya bertugas karena ikut suami bekerja di kota. Dokter laki-laki meneruskan kariernya di bidang klinis dengan melanjutkan sekolah pendidikan spesialis atau ke bidang manajerial kesehatan. Bagi sebagian besar dokter, puskesmas di kabupaten hanya sebagai batu loncatan, bukan tempat menempa diri. 

Akhirnya, masyarakat mencibir layanan puskesmas yang tidak berkualitas. Pemerintah dengan otonomi daerah yang semakin kuat membiarkan hal ini berlanjut dan tidak pernah mengevaluasi program kesehatan di daerahnya. Kompetensi tidak lagi sebagai syarat. Kepala dinas kesehatan boleh saja bukan sarjana kesehatan, kepala rumah sakit tak lagi dipegang dokter. Banyak dokter baru tidak berpeluang menjadi kepala puskesmas atau malah tidak ingin memimpin puskesmas. 

Tenaga dokter di satu puskesmas sudah lebih dari satu, dokter gigi bisa lebih banyak lagi, dan sarjana kesehatan masyarakat semakin banyak. S1 dan S2 berbagai bidang kesehatan memenuhi ruang puskesmas, layanan dokter spesialis dengan berbagai alat diagnostiknya sudah dipenuhi di kabupaten/ kota. Kebijakan kepala daerah menjadi prioritas slogan kampanye dengan isu berobat gratis di puskesmas, mengantarkan banyak pengusaha berhasil menjadi walikota atau bupati. Tetapi kembali menjadi pertanyaan besar yang sulit dijawab karena belum ada penelitian ke arah itu. 

Ternyata semakin meningkatnya tingkat pendidikan petugas puskesmas, meningkatnya fasilitas puskesmas, besarnya anggaran kesehatan, tidak serta-merta meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan tidak pula meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kedua, pos pelayanan terpadu atau yang lebih dikenal dengan posyandu mulai dijalankan di Indonesia sejak 1984. Kebijakan cerdas ini cukup memiliki daya ungkit dalam pencapaian berbagai program puskesmas, seperti imunisasi, kelu-arga berencana, gizi buruk, dan promosi kesehatan. 

Program yang berawal dari kegiatan UPGK (usaha perbaikan gizi keluarga) ini dikembangkan atas kesadaran dan upaya partisipasi masyarakat dari setiap komunitas dalam upaya pencegahan penyakit. Dengan bergulirnya waktu, program fenomenal dan banyak ditiru negara lain, kini bagaikan mati suri karena ditinggal pergi sektor-sektor lain. Hampir tinggal hanya petugas kesehatan dan beberapa kader saja yang masih bertahan. Itu karena ada kompensasi transportasi kader yang syukur-syukur tidak disunat bendahara. 

Memang ada upaya melakukan revitalisasi posyandu yang digaungkan Kementerian Kesehatan beberapa tahun lalu. Namun, sebagaimana biasa program di negeri ini, semangat di awal, lesu kemudian, dan lenyap akhirnya. Untunglah puskesmas masih ada sehingga saat ini seakan posyandu hanya melekat pada program puskesmas belaka. Meskipun dinyatakan rakyat di setiap negara memiliki hak dan kewajiban dalam perencanaan maupun pelaksanaan pelayanan kesehatan mereka, namun dalam aplikasinya tidak demikian. 

Tahun 2000, diharapkan semua negara mencapai tingkat kesehatan (hidup produktif) sosial ekonomi. Indonesia Sehat tahun 2000 kemudian menjadi Indonesia Sehat tahun 2010, kemudian Millenium Development Goals 2015, tampaknya hanya menjadi slogan semata tanpa makna. Berbagai bantuan negara donor, Badan Kesehatan Dunia (WHO), NGO, seperti tidak pernah berhenti mengalir ke Indonesia. 

Tetapi semua program hanya sampai pada taraf output, tidak mencapai outcome. Infeksi penyakit menular yang lama (reemerging infectious diseases) seperti Frambusia, Filariasis, Polio, Campak, Varicella, Malaria, Tuberkulosis, masih belum berkurang. Diperberat lagi dengan ditemukannya masalah resistensi mikroorganisme terhadap berbagai obat yang ada seperti Kina, Klorokuin, Sulfadoksin- pirimetamin (untuk Malaria), MDR-TB (Multi Drugs Resistance Tuberculosis) yang semakin meluas, menambah beban pemerintah dalam penanggulangan penyakit infeksi menular. 

Begitu juga dengan munculnya penyakit baru (emerging infectious diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Flu, dan Flu Babi yang membutuhkan perhatian khusus pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar