Kebijakan
kesehatan yang dibuat Kementerian Kesehatan Indonesia banyak yang
fenomenal dan menghasilkan daya ungkit besar dalam mengubah derajat
kesehatan masyarakat.
Di antaranya,
pembangunan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di era tahun 1970-an,
pos pelayanan terparu (Posyandu) di era tahuan 1980-an, serta usaha
kesehatan sekolah (UKS) dengan dokter kecil dan dokter remaja. Kemudian
ada lagi program Saka Bakti Husada yang melibatkan Pramuka dalam upaya
promosi kesehatan. Berbagai program tersebut pernah berjaya pada masanya
dan membuka mata dunia, bahkan beberapa negara mengadopsi program
tersebut karena dianggap berhasil.
Saat ini kita
melihat, jangankan berkembang untuk mempertahankannya saja sulit di
banyak daerah, kalau tidak boleh dikatakan mengalami kemunduran. Mengapa?
Penulis menduga ada berbagai faktor yang secara langsung memengaruhi
maupun tidak langsung. Termasuk pergantian rezim pemerintahan yang
melalui proses pergolakan politik dan dinamika nasional. Serta yang paling
penting adalah ketidakmampuan daerah menggali kearifan lokal daerahnya
masing-masing dan selalu berpedoman kepada kebijakan pusat yang tidak
sinkron dengan permasalahan di daerah.
Program yang Pernah Berhasil
Pertama,
puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yaitu satu bidang perhatian
layanan kesehatan yang merupakan garis singgung antara layanan perorangan
(klinis) dan layanan masyarakat (public
health) yang menjadi ujung tombak program kesehatan nasional.
Puskesmas disebut juga sebagai primary
health care/pelayanan kesehatan primer, integrasi antara segi biomedisi
penyakit umum dan pencegahan penyakit dalam penanggulangan
masalah-masalah kesehatan dan peningkatan tingkat kesehatan penduduk
melalui penyuluhan kesehatan masyarakat, posyandu, dasawisma, maupun
program KB.
Sampai 20
tahun pertama kegiatan di puskesmas mampu menjadi ujung tombak
penanggulangan masalah kesehatan masyarakat, walau dengan jumlah dan
jenis tenaga kesehatan terbatas. Dokter yang ditugaskan di puskesmas juga
mampu menghimpun potensi masyarakat di wilayah kerjanya, meski dengan
gaji sangat minim sebagai pegawai negeri sipil. Bahkan, puskesmas
terbukti melahirkan kader-kader pemimpin berkualitas dan mampu
mengaplikasikan ilmunya, baik secara klinis maupun manajerial.
Ketika itu
petugas kesehatan disadari atau tidak menerapkan ilmu klinis dan
kesehatan masyarakat sekaligus menjadi pemimpin organisasi puskesmas.
Awalnya hanya memiliki tenaga perawat dan bidan yang umumnya bukan
jenjang D3 apalagi S1. Waktu berlalu, masa berganti, sistem dan kebijakan
pemerintah terus bertukar. Petugas kesehatan di puskesmas juga berganti.
Ternyata kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas semakin menurun dari
tahun ke tahun. Perhatian petugas kesehatan terhadap masyarakat di wilayah
kerja juga menurun.
Kearifan
lokal daerah tidak mampu ditumbuhkembangkan dan dilestarikan. Peningkatan
fasilitas kesehatan ternyata tidak berkorelasi positif dengan kualitas
pelayanan. Gedung puskesmas semakin besar dan semakin tinggi, bahkan ada
puskesmas berlantai empat. Upaya promosi dan preventif semakin berkurang,
maka jadilah puskesmas tempat masyarakat datang berobat sebelum ke rumah
sakit. Tak jarang pula puskesmas hanya sebagai unit layanan yang hanya
memberikan surat rujukan ke rumah sakit.
Hal lebih
ekstrem, terutama di daerah perkotaan, dokter puskesmas hanya bertugas
karena ikut suami bekerja di kota. Dokter laki-laki meneruskan kariernya
di bidang klinis dengan melanjutkan sekolah pendidikan spesialis atau ke
bidang manajerial kesehatan. Bagi sebagian besar dokter, puskesmas di
kabupaten hanya sebagai batu loncatan, bukan tempat menempa diri.
Akhirnya,
masyarakat mencibir layanan puskesmas yang tidak berkualitas. Pemerintah
dengan otonomi daerah yang semakin kuat membiarkan hal ini berlanjut dan
tidak pernah mengevaluasi program kesehatan di daerahnya. Kompetensi
tidak lagi sebagai syarat. Kepala dinas kesehatan boleh saja bukan
sarjana kesehatan, kepala rumah sakit tak lagi dipegang dokter. Banyak
dokter baru tidak berpeluang menjadi kepala puskesmas atau malah tidak
ingin memimpin puskesmas.
Tenaga dokter
di satu puskesmas sudah lebih dari satu, dokter gigi bisa lebih banyak
lagi, dan sarjana kesehatan masyarakat semakin banyak. S1 dan S2 berbagai
bidang kesehatan memenuhi ruang puskesmas, layanan dokter spesialis
dengan berbagai alat diagnostiknya sudah dipenuhi di kabupaten/ kota.
Kebijakan kepala daerah menjadi prioritas slogan kampanye dengan isu
berobat gratis di puskesmas, mengantarkan banyak pengusaha berhasil
menjadi walikota atau bupati. Tetapi kembali menjadi pertanyaan besar
yang sulit dijawab karena belum ada penelitian ke arah itu.
Ternyata
semakin meningkatnya tingkat pendidikan petugas puskesmas, meningkatnya
fasilitas puskesmas, besarnya anggaran kesehatan, tidak serta-merta
meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan tidak pula meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Kedua, pos pelayanan terpadu atau yang
lebih dikenal dengan posyandu mulai dijalankan di Indonesia sejak 1984.
Kebijakan cerdas ini cukup memiliki daya ungkit dalam pencapaian berbagai
program puskesmas, seperti imunisasi, kelu-arga berencana, gizi buruk,
dan promosi kesehatan.
Program yang
berawal dari kegiatan UPGK (usaha perbaikan gizi keluarga) ini
dikembangkan atas kesadaran dan upaya partisipasi masyarakat dari setiap
komunitas dalam upaya pencegahan penyakit. Dengan bergulirnya waktu,
program fenomenal dan banyak ditiru negara lain, kini bagaikan mati suri
karena ditinggal pergi sektor-sektor lain. Hampir tinggal hanya petugas
kesehatan dan beberapa kader saja yang masih bertahan. Itu karena ada
kompensasi transportasi kader yang syukur-syukur tidak disunat bendahara.
Memang ada
upaya melakukan revitalisasi posyandu yang digaungkan Kementerian
Kesehatan beberapa tahun lalu. Namun, sebagaimana biasa program di negeri
ini, semangat di awal, lesu kemudian, dan lenyap akhirnya. Untunglah
puskesmas masih ada sehingga saat ini seakan posyandu hanya melekat pada
program puskesmas belaka. Meskipun dinyatakan rakyat di setiap negara
memiliki hak dan kewajiban dalam perencanaan maupun pelaksanaan pelayanan
kesehatan mereka, namun dalam aplikasinya tidak demikian.
Tahun 2000,
diharapkan semua negara mencapai tingkat kesehatan (hidup produktif)
sosial ekonomi. Indonesia Sehat tahun 2000 kemudian menjadi Indonesia
Sehat tahun 2010, kemudian Millenium
Development Goals 2015, tampaknya hanya menjadi slogan semata tanpa
makna. Berbagai bantuan negara donor, Badan Kesehatan Dunia (WHO), NGO,
seperti tidak pernah berhenti mengalir ke Indonesia.
Tetapi semua
program hanya sampai pada taraf output, tidak mencapai outcome. Infeksi
penyakit menular yang lama (reemerging
infectious diseases) seperti Frambusia, Filariasis, Polio, Campak,
Varicella, Malaria, Tuberkulosis, masih belum berkurang. Diperberat lagi
dengan ditemukannya masalah resistensi mikroorganisme terhadap berbagai
obat yang ada seperti Kina, Klorokuin, Sulfadoksin- pirimetamin (untuk
Malaria), MDR-TB (Multi Drugs
Resistance Tuberculosis) yang semakin meluas, menambah beban
pemerintah dalam penanggulangan penyakit infeksi menular.
Begitu juga
dengan munculnya penyakit baru (emerging
infectious diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Flu, dan Flu Babi yang
membutuhkan perhatian khusus pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar