Pertanyaan mendasar diajukan Jerry Muller
dalam Jurnal Foreign Affairs
bulan ini: mampukah kapitalisme
mengatasi rasa ketidaknyamanan manusia?
Kapitalisme
tanpa disadari telah menimbulkan efek yang amat beragam: kemakmuran,
inovasi, dan pertumbuhan, tetapi juga penghancuran-penghancuran dan rasa
ketidaknyamanan. Munculnya kapitalis- kapitalis baru di sepanjang jalan
dari Bandara Ngurah Rai menuju lingkaran Simpang Siur di Bali misalnya
bisa saja menjadi mesin penghancur bagi Pasar Seni Sukowati (Kabupaten Gianyar).
Turis-turis
yang biasa mampir ke pasar tradisional yang berjarak 2 jam dari bandara
kini memilih belanja di toko oleh-oleh yang lebih modern dan dapat
dijangkau dalam waktu yang lebihcepatdari bandara. Saat mendorong
tumbuhnya kewirausahaan, hendaknya kita perlu memikirkan bagaimana
mengajak keluar para pemula dari perangkap kapitalisme yang membahayakan.
Sebab
kapitalisme bukanlah sematamata sebuah sistem ekonomi, melainkan juga
sebuah sistem hubunganhubungan sosial yang membuat syahwat manusia untuk
“cepat kaya” dan “makin kaya” tak terbendung. Tengoklah judul-judul buku
dan iklan-iklan seminar di berbagai kota. Anda mungkin sudah tak terkejut
lagi, semakin hari semakin banyak orang yang menawarkan jurus-jurus kilat
untuk cepat kaya.
Gini Coefesien
Baru-baru ini
ekonom mempersoalkan koefesien Gini Indonesia yang terkesan memburuk.
Ketimpangan semakin lebar. Memang ada juga orang mengutip data
internasional yang mudah diakses internet, yaitu CIA: The Fact Book yang dirilis tahun ini. Di situ tertulis
koefesien Gini Indonesia adalah 36,8 sehingga seakan- akan bagus. Tapi
saat mengutip, orang lupa menyebut tahunnya yang tertulis kecil di
belakang skornya dan ternyata berbeda-beda untuk setiap negara yang ada
dalam listitu.
Amerika
Serikat skornya jauh lebih buruk (45), itu ternyata kondisi tahun 2007.
Indonesia bagus (36,8), tetapi itu tahun 2009. Bagaimana sekarang? Data
tahun 2012, koefesien Gini Indonesia memburuk 4,2 poin menjadi 41.
Padahal peningkatan skor ini adalah benih dari insecurity. Di Amerika pun
yang kapitalisme sudah berakar selama berabadabad, keresahan senada juga
dirasakan.
John Stewart
(The Daily Show) menulis, ”Menurut ukuran apa pun, Amerika
Serikat bukanlah negara dunia ketiga kecuali dari segi ketidakmerataan
ekonominya.” Dalam indeks inequality, Amerika Serikat bertengger
lebih buruk dari Kamerun dan hanya beda sedikit dari Uruguay, Jamaika,
dan Uganda. Lisa Margonelli yang menulis di Pacific Standard menambahkan,
“Bila pada tahun 1979 1% penduduk
berpenghasilan tertinggi di Amerika mengeruk 10% pendapatan nasional,
kini mereka membawa pulang dua kali lipat: 20%.”
Harap
dicatat, koefesien Gini Amerika Serikat meningkat 6 poin dari skor 39
menjadi 45 (2007). Tapi angka itu segera diberi catatan. “Harap maklum, indeks yang
dikembangkan Corrado Gini (1912) itu adalah alat berteriak kaum fasis.”
Corrado Gini adalah kepanjangan tangan Mussolini yang menulis buku The Scientific Basis of Fascism.
Diruang kerjanya, Gini menaruh sebuah ruang kaca yang dilengkapi mikrofon
dan loudspeaker untuk
menyampaikan perintah. Mereka hanya berbicara kalau ditanya.
Akibatnya, di
luar ruangan mereka menjadi bising. Dan 100 tahun kemudian, di hari-hari
ini, Gini coefesien telah
benar-benar membuat para pelaku pasar bising. Politisi bising, ekonom
ikut pusing, dan “pasar” bisa bereaksi negatif karena mengesankan sistem
ekonomi tidak bekerja dengan baik.
Apa yang
membedakan era itu dengan sekarang adalah Gini mengembangkan alat ukurnya
di era yang serbasimpel, saat perekonomian Italia hanya didominasi
industri kulit, tekstil, dan sepatu. Sektor keuangan dengan segala
instrumennya (termasuk derivasi dan asuransi) belum berkembang. Demikian
juga perdagangan global, teknologi informasi, dan budaya pop. Banyak hal
baru yang telah mengubah dunia.
Miliuner pun Gelisah
Melebarnya
ketidakmerataan adalah gejala yang biasa terjadi di negara-negara yang
mengalami satu atau lebih dari hal-hal ini: (1) sistem sosial tidak
bekerja dengan baik, (2) subsidi salah sasaran, (3) ekonomi terlalu
liberal, (4) korupsi terus dibiarkan melebar dari pemerintahan ke politik
dan dunia usaha swasta; atau (5) terjadinya krisis ekonomi. Tapi Muller
memberi catatan, dunia saat ini tengah mengalami kesulitan keluar dari
cengkeraman kapitalisme.
Dan
kapitalisme yang menguat bisa membuat jurang kaya-miskin semakin lebar
karena akar persoalannya ada pada prinsip-prinsip inovasi itu sendiri.
Kapitalisme mempunyai efek penghancuran karena unit-unit usaha lama
terbelenggu dalam tradisi lama. Di samping itu, keluarga mempunyai peran
penting. Sebab keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik adalah
keluarga yang melakukan investasi sangat serius terhadap kemampuan
kognitif dan motorik anak-anaknya.
Maka itu,
tanpa kepemimpinan kuat, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari
cengkeraman ini. Apalagi sistem politiknya “sangat bermain”. Politisi
membiarkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak dinikmati kaum
kaya di daerah perkotaan walaupun mereka bicaranya nelayan, guru, buruh,
dan petani. Tak banyak yang mengerti bahwa organisasi-organisasi yang
mengatasnamakan guru, petani, buruh, dan nelayan sudah tidak banyak
dikelola oleh guru, tani, buruh atau nelayan itu sendiri.
Sebagian
pengurus organisasi-organisasi itu adalah para mantan, konsultan,
pemilik- pemilik kelembagaan tertentu, politisi. Berbeda dengan apa yang
dirasakan di sini, ketimpangan justru menjadi perhatian yang sangat
serius di mancanegara. Januari lalu, Bloomberg melakukan interviu
terhadap 70 miliuner yang hadir dalam konferensi yang dilakukan di Davos
dan mereka mengatakan ketimpangan pendapatan merupakan ancaman bagi global economic growth dan
menciptakan social and political
instability, bahkan terbukti memicu gelombang perubahan Arab Spring belum lama ini. Dalam polling lainnya, separuh dari
1.209 investor percaya ketimpangan pendapatan ancaman serius bagi
pertumbuhan ekonomi.
Perkuat The Bottom of Pyramid
Ketidakmerataan
menyangkut dua persoalan pertama, yaitu memperkuat mereka yang lemah atau
menahan laju yang di atas. Tak dapat dimungkiri, kelompok yang kedua
(yang di atas) dewasa ini telah begitu kencang berlari. Menahan laju
pertumbuhan usaha mereka dengan sistem pajak, diyakini banyak ahli,
bukanlah solusi yang efektif. Persaingan antarbangsa dalam memperebutkan
kedatangan investor telah membuat dunia usaha begitu mudah berpindah
lokasi.
Mereka sangat
rindu insentif, bukan ingin dipajaki. Di lain pihak, bangsa-bangsa besar
biasanya memilih solusi lain, yaitu memfokuskan diri pada kelompok yang
pertama, the bottom line of the
pyramid. Disparitas diatasi dengan memperkuat modal dasar, yaitu
modal insani kaum miskin agar mereka memiliki kemampuan yang sama dengan
generasi baru yang lahir dari kelas menengah.
Saya berpikir
negeri ini perlu strategi yang jelas untuk membuat anak-anak yang tinggal
dalam keluarga miskin keluar dari kantong-kantong kemiskinan. Saat
kabupaten-kabupaten dan kecamatan-kecamatan baru banyak dimekarkan, kita
lebih banyak membangun rumah sakit-rumah sakit baru untuk kaum miskin di
tengah-tengah kota. Padahal kantongkantong kemiskinan ada jauh di belakangnya.
Saat kita
membentuk jabatan eselon I di Kemendikbud yang mengurus PAUD (pendidikan
anak usia dini), kita lebih banyak menimbulkan subsidi untuk sekolah-sekolah
lanjutan dan universitas. Berapa subsidi untuk PAUD dan TK? Anak-anak di
daerah pinggiran tak bisa mengecap bangku universitas kalau fondasinya
saja tak dibangun dengan kuat.
Di Indonesia
PAUD itu identik dengan sekolah yang kumuh, jadi satu dengan rumah ibadah
atau rumah gedek dengan guru-guru yang hidup seadanya dan alat-alat bermain
tanpa arah yang jelas. Mereka juga kesulitan mendapatkan dana-dana CSR
yang diamanatkan pemegang saham karena perusahaan-perusahaan besar itu
meminta proposal yang bagus atau ditenderkan. Kalau anak-anak miskin tak
mendapatkan pendidikan yang baik di usia emas mereka, jangan harap mereka
bisa mengejar kelas menengah. Kita butuh kolaborasi besar untuk melakukan
perubahan besar.
Kemiskinan
dan ketimpangan tak bisa diatasi dengan diskusi dan pengajaran belaka,
melainkan harus diperangi tindakan riil dari kelas menengah itu sendiri.
Itu sebabnya sebuah organisasi besar yang mengorkestrasi kolaborasi ini perlu segera
dikembangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar