Kamis, 04 April 2013

Inequality, Insecurity


Inequality, Insecurity
Rhenald Kasali  ;   Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 04 April 2013
  

Pertanyaan mendasar diajukan Jerry Muller dalam Jurnal Foreign Affairs bulan ini: mampukah kapitalisme mengatasi rasa ketidaknyamanan manusia? 

Kapitalisme tanpa disadari telah menimbulkan efek yang amat beragam: kemakmuran, inovasi, dan pertumbuhan, tetapi juga penghancuran-penghancuran dan rasa ketidaknyamanan. Munculnya kapitalis- kapitalis baru di sepanjang jalan dari Bandara Ngurah Rai menuju lingkaran Simpang Siur di Bali misalnya bisa saja menjadi mesin penghancur bagi Pasar Seni Sukowati   (Kabupaten Gianyar). 

Turis-turis yang biasa mampir ke pasar tradisional yang berjarak 2 jam dari bandara kini memilih belanja di toko oleh-oleh yang lebih modern dan dapat dijangkau dalam waktu yang lebihcepatdari bandara. Saat mendorong tumbuhnya kewirausahaan, hendaknya kita perlu memikirkan bagaimana mengajak keluar para pemula dari perangkap kapitalisme yang membahayakan. 

Sebab kapitalisme bukanlah sematamata sebuah sistem ekonomi, melainkan juga sebuah sistem hubunganhubungan sosial yang membuat syahwat manusia untuk “cepat kaya” dan “makin kaya” tak terbendung. Tengoklah judul-judul buku dan iklan-iklan seminar di berbagai kota. Anda mungkin sudah tak terkejut lagi, semakin hari semakin banyak orang yang menawarkan jurus-jurus kilat untuk cepat kaya. 

Gini Coefesien 

Baru-baru ini ekonom mempersoalkan koefesien Gini Indonesia yang terkesan memburuk. Ketimpangan semakin lebar. Memang ada juga orang mengutip data internasional yang mudah diakses internet, yaitu CIA: The Fact Book yang dirilis tahun ini. Di situ tertulis koefesien Gini Indonesia adalah 36,8 sehingga seakan- akan bagus. Tapi saat mengutip, orang lupa menyebut tahunnya yang tertulis kecil di belakang skornya dan ternyata berbeda-beda untuk setiap negara yang ada dalam listitu. 

Amerika Serikat skornya jauh lebih buruk (45), itu ternyata kondisi tahun 2007. Indonesia bagus (36,8), tetapi itu tahun 2009. Bagaimana sekarang? Data tahun 2012, koefesien Gini Indonesia memburuk 4,2 poin menjadi 41. Padahal peningkatan skor ini adalah benih dari insecurity. Di Amerika pun yang kapitalisme sudah berakar selama berabadabad, keresahan senada juga dirasakan. 

John Stewart (The Daily Show) menulis, ”Menurut ukuran apa pun, Amerika Serikat bukanlah negara dunia ketiga kecuali dari segi ketidakmerataan ekonominya.” Dalam indeks inequality, Amerika Serikat bertengger lebih buruk dari Kamerun dan hanya beda sedikit dari Uruguay, Jamaika, dan Uganda. Lisa Margonelli yang menulis di Pacific Standard menambahkan, “Bila pada tahun 1979 1% penduduk berpenghasilan tertinggi di Amerika mengeruk 10% pendapatan nasional, kini mereka membawa pulang dua kali lipat: 20%.” 

Harap dicatat, koefesien Gini Amerika Serikat meningkat 6 poin dari skor 39 menjadi 45 (2007). Tapi angka itu segera diberi catatan. “Harap maklum, indeks yang dikembangkan Corrado Gini (1912) itu adalah alat berteriak kaum fasis.” Corrado Gini adalah kepanjangan tangan Mussolini yang menulis buku The Scientific Basis of Fascism. Diruang kerjanya, Gini menaruh sebuah ruang kaca yang dilengkapi mikrofon dan loudspeaker untuk menyampaikan perintah. Mereka hanya berbicara kalau ditanya. 

Akibatnya, di luar ruangan mereka menjadi bising. Dan 100 tahun kemudian, di hari-hari ini, Gini coefesien telah benar-benar membuat para pelaku pasar bising. Politisi bising, ekonom ikut pusing, dan “pasar” bisa bereaksi negatif karena mengesankan sistem ekonomi tidak bekerja dengan baik. 

Apa yang membedakan era itu dengan sekarang adalah Gini mengembangkan alat ukurnya di era yang serbasimpel, saat perekonomian Italia hanya didominasi industri kulit, tekstil, dan sepatu. Sektor keuangan dengan segala instrumennya (termasuk derivasi dan asuransi) belum berkembang. Demikian juga perdagangan global, teknologi informasi, dan budaya pop. Banyak hal baru yang telah mengubah dunia. 

Miliuner pun Gelisah 

Melebarnya ketidakmerataan adalah gejala yang biasa terjadi di negara-negara yang mengalami satu atau lebih dari hal-hal ini: (1) sistem sosial tidak bekerja dengan baik, (2) subsidi salah sasaran, (3) ekonomi terlalu liberal, (4) korupsi terus dibiarkan melebar dari pemerintahan ke politik dan dunia usaha swasta; atau (5) terjadinya krisis ekonomi. Tapi Muller memberi catatan, dunia saat ini tengah mengalami kesulitan keluar dari cengkeraman kapitalisme. 

Dan kapitalisme yang menguat bisa membuat jurang kaya-miskin semakin lebar karena akar persoalannya ada pada prinsip-prinsip inovasi itu sendiri. Kapitalisme mempunyai efek penghancuran karena unit-unit usaha lama terbelenggu dalam tradisi lama. Di samping itu, keluarga mempunyai peran penting. Sebab keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik adalah keluarga yang melakukan investasi sangat serius terhadap kemampuan kognitif dan motorik anak-anaknya. 

Maka itu, tanpa kepemimpinan kuat, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari cengkeraman ini. Apalagi sistem politiknya “sangat bermain”. Politisi membiarkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak dinikmati kaum kaya di daerah perkotaan walaupun mereka bicaranya nelayan, guru, buruh, dan petani. Tak banyak yang mengerti bahwa organisasi-organisasi yang mengatasnamakan guru, petani, buruh, dan nelayan sudah tidak banyak dikelola oleh guru, tani, buruh atau nelayan itu sendiri. 

Sebagian pengurus organisasi-organisasi itu adalah para mantan, konsultan, pemilik- pemilik kelembagaan tertentu, politisi. Berbeda dengan apa yang dirasakan di sini, ketimpangan justru menjadi perhatian yang sangat serius di mancanegara. Januari lalu, Bloomberg melakukan interviu terhadap 70 miliuner yang hadir dalam konferensi yang dilakukan di Davos dan mereka mengatakan ketimpangan pendapatan merupakan ancaman bagi global economic growth dan menciptakan social and political instability, bahkan terbukti memicu gelombang perubahan Arab Spring belum lama ini. Dalam polling lainnya, separuh dari 1.209 investor percaya ketimpangan pendapatan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi. 

Perkuat The Bottom of Pyramid 

Ketidakmerataan menyangkut dua persoalan pertama, yaitu memperkuat mereka yang lemah atau menahan laju yang di atas. Tak dapat dimungkiri, kelompok yang kedua (yang di atas) dewasa ini telah begitu kencang berlari. Menahan laju pertumbuhan usaha mereka dengan sistem pajak, diyakini banyak ahli, bukanlah solusi yang efektif. Persaingan antarbangsa dalam memperebutkan kedatangan investor telah membuat dunia usaha begitu mudah berpindah lokasi. 

Mereka sangat rindu insentif, bukan ingin dipajaki. Di lain pihak, bangsa-bangsa besar biasanya memilih solusi lain, yaitu memfokuskan diri pada kelompok yang pertama, the bottom line of the pyramid. Disparitas diatasi dengan memperkuat modal dasar, yaitu modal insani kaum miskin agar mereka memiliki kemampuan yang sama dengan generasi baru yang lahir dari kelas menengah. 

Saya berpikir negeri ini perlu strategi yang jelas untuk membuat anak-anak yang tinggal dalam keluarga miskin keluar dari kantong-kantong kemiskinan. Saat kabupaten-kabupaten dan kecamatan-kecamatan baru banyak dimekarkan, kita lebih banyak membangun rumah sakit-rumah sakit baru untuk kaum miskin di tengah-tengah kota. Padahal kantongkantong kemiskinan ada jauh di belakangnya. 

Saat kita membentuk jabatan eselon I di Kemendikbud yang mengurus PAUD (pendidikan anak usia dini), kita lebih banyak menimbulkan subsidi untuk sekolah-sekolah lanjutan dan universitas. Berapa subsidi untuk PAUD dan TK? Anak-anak di daerah pinggiran tak bisa mengecap bangku universitas kalau fondasinya saja tak dibangun dengan kuat. 

Di Indonesia PAUD itu identik dengan sekolah yang kumuh, jadi satu dengan rumah ibadah atau rumah gedek dengan guru-guru yang hidup seadanya dan alat-alat bermain tanpa arah yang jelas. Mereka juga kesulitan mendapatkan dana-dana CSR yang diamanatkan pemegang saham karena perusahaan-perusahaan besar itu meminta proposal yang bagus atau ditenderkan. Kalau anak-anak miskin tak mendapatkan pendidikan yang baik di usia emas mereka, jangan harap mereka bisa mengejar kelas menengah. Kita butuh kolaborasi besar untuk melakukan perubahan besar. 

Kemiskinan dan ketimpangan tak bisa diatasi dengan diskusi dan pengajaran belaka, melainkan harus diperangi tindakan riil dari kelas menengah itu sendiri. Itu sebabnya sebuah organisasi besar yang mengorkestrasi kolaborasi ini perlu segera dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar