“Siapa bilang ngurus
Indonesia itu sulit. Lihatlah mereka yang bertanggung jawab ngurus negeri
ini bisa melaksanakannya hanya sebagai sambilan.” (KH Mustofa Bisri)
Komentar KH Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus (1/4/2013)
itu sungguh tepat menggambarkan perilaku elite partai politik di
Indonesia yang memegang jabatan rangkap di pemerintahan dan di partai.
Harian Kompas (2/4/2013) di halaman dua secara gamblang membuat
tabel rangkap jabatan beberapa tokoh partai, yakni Partai Demokrat (PD),
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB).
Rangkap jabatan tokoh politik di partai dan pemerintahan bukanlah
suatu hal yang baru dalam politik di Indonesia. Ini sudah terjadi sejak
era demokrasi parlementer. Hingga kini juga tidak ada aturan
perundang-undangan yang melarang seorang ketua umum partai menduduki
jabatan rangkap di partai dan di pemerintahan.
Pro-kontra mengenai hal ini juga sering terjadi di negeri ini,
tetapi tak ada kata putus untuk mengharamkan rangkap jabatan tersebut.
Dengan kata lain, rangkap jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam
sejarah politik di Indonesia. Namun, sejak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono diputuskan secara aklamasi sebagai ketua umum Partai Demokrat
pada kongres luar biasa di Sanur, Bali, 30 Maret 2013, ia menjadi
pemegang rekor rangkap jabatan di Indonesia.
Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia seorang presiden memiliki
begitu banyak jabatan di partainya, mulai dari ketua majelis tinggi,
ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, sampai ketua umum. Presiden
Soekarno tidak menjadi ketua partai apa pun saat menjadi Presiden RI
karena alasan ia ingin ”menempatkan
diri di atas semua golongan”. Presiden Soeharto juga tidak pernah
menjadi Ketua Umum Golkar dan hanya sebagai ketua dewan pembina. Soeharto
juga tidak ikut campur tangan langsung mengelola Golkar. Presiden BJ
Habibie juga bukan Ketua Golkar. Presiden Abdurrahman Wahid hanya menjadi
petinggi Majelis Syuro PKB dan tidak merangkap ketua Tanfidsiah. Megawati
Soekarnoputri juga menduduki jabatan rangkap, yakni sebagai Ketua Umum
PDI Perjuangan dan Presiden RI.
Demokrasi ala SBY
Apa yang terjadi saat ini adalah gambaran benar-benar diterapkannya
gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa di masa lalu yang menganggap
kekuasaan itu bulat dan tidak terbagi-bagi. Ini tidak sejalan dengan
gagasan distribusi kekuasaan, apalagi pemisahan kekuasaan agar terjadi
saling mengimbangi dan saling mengecek (checks and balances).
Meskipun ada pendelegasian wewenang sebagian kepada Ketua Harian
DPP Partai Demokrat Syarifuddin Hasan, Wakil Ketua Majelis Tinggi Marzuki
Alie, dan Wakil Ketua Dewan Pembina EE Mangindaan, ada konsentrasi
kekuasaan dari hulu sampai ke hilir di Partai Demokrat. Jabatan-jabatan
rangkap itu juga bertentangan dengan petuah Presiden pada Oktober 2012
bahwa tahun 2013 adalah tahun politik dan para menteri yang berasal dari
parpol harus fokus pada pelaksanaan kerja kabinet dan jangan fokus
mengurusi partai.
Para kader Demokrat dan rakyat secara umum diharapkan mafhum pada
situasi di Partai Demokrat yang amat darurat. Pertanyaannya, seberapa
daruratkah situasi sehingga Presiden harus turun gunung langsung
menangani operasional partai?
Kesediaan SBY menjadi ketua umum menjadikan para kader semakin
bergantung pada figur SBY. Tidakkah ini memperpanjang proses menuju
kedewasaan berpolitik di Partai Demokrat yang kini sudah berusia 12
tahun? Tidakkah ini menunjukkan betapa SBY tidak percaya kepada
kader-kader senior di Partai Demokrat untuk memegang tampuk kepemimpinan
di partai?
Preseden Buruk
Terlepas dari sifat kesementaraan jabatan SBY sebagai ketua umum
Partai Demokrat, satu setengah atau dua tahun, hal ini tetap menjadi
preseden buruk dalam mengelola pemerintahan dan partai di Indonesia.
Seperti dikatakan Gus Mus, seakan mengurus Indonesia itu tidak sulit
sehingga bisa sebagai sambilan. Ini menunjukkan betapa SBY meletakkan
fondasi yang rapuh dalam mengelola pemerintahan dan partai. Di masa akhir
jabatannya yang sampai 20 Oktober 2014, sepatutnya Presiden SBY fokus
pada kinerja kabinetnya sehingga ia bisa meninggalkan warisan yang apik
kepada rakyat dan bangsa Indonesia.
Impian agar elektabilitas Partai Demokrat meningkat sejak SBY
terpilih menjadi ketua umum juga harus dibuktikan kemudian. SBY pada
Pemilu Presiden 2004 harus diakui memiliki medan magnet yang kuat untuk
menyerap dukungan rakyat. SBY pada pemilu legislatif dan Pemilu Presiden
2009 juga semakin menjadi medan magnet yang kuat sehingga Partai Demokrat
menjadi pemenang pemilu legislatif dan SBY terpilih kembali menjadi
presiden RI. Namun, SBY pada 2014 belum tentu memiliki kekuatan magnet
tersebut di kala ia tidak bisa lagi menjadi calon presiden dan adanya
persepsi buruk Partai Demokrat di mata sebagian masyarakat sebagai partai
paling korup. Seorang jenderal pensiunan sepatutnya menjauh dari
urusan-urusan kemiliteran dan politik serta memberikan tampuk
kepemimpinan kepada generasi muda. ●
|
mohon ralat pak, sepertinya ada kesalahan pemberitaan “RANGKAP JABATAN TOKOH PARPOL”. Dicantumkanlah nama presiden dan sejumlah menteri beserta jabatannya di partai politik. Semua terlihat wajar, namun ada yang aneh, pada kolom PKS, tercantum tiga nama serta jabatannya:
BalasHapus1. Suswono, Jabatan Partai: Kader Partai.
2. Tifatul Sembiring, Jabatan Partai: Mantan Presiden Partai
3. Salim Segaf al Jufrie: Anggota Majelis Syuro.
coba perhatikan, sejak kapan kader partai dan mantan presiden partai itu jabatan partai?
sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/04/05/kesalahan-kompas-pemberitaan-rangkap-jabatan-tokoh-pks-548455.html