Selasa, 23 April 2013

Harga Pangan Pokok


Harga Pangan Pokok
Khudori  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA, 22 April 2013
  

Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok jauh lebih penting dan lebih sensitif ketimbang soal politik. Kebutuhan pokok, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan akan langsung menyentuh kebutuhan hakiki mereka. Sifat kebutuhan ini tidak bisa ditunda-ditunda. Bagi sebagian orang, antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan sepuluh kilogram beras adalah sia-sia. Tapi, bagi kaum miskin, beras penting agar dapur tetap berasap dan aktivitas sosial ekonomi mereka terus bergerak. 

Ironisnya, harga-harga kebutuhan pokok saat ini dalam kondisi terus merangkak naik. Tak hanya daging, kenaikan harga juga terjadi pada kedelai dan beberapa komoditas yang lain. Belum genap setahun, fluktuasi harga sudah terjadi pada sejumlah komoditas pangan. Padahal, dari sisi permintaan tidak ada lonjakan berarti. Akibat kenaikan itu, inflasi melambung tinggi yang seba- gian besar disumbang oleh kenaikan harga pangan. Sebesar 0,44 persen dari 0,63 persen inflasi pada Maret lalu disumbang oleh kenaikan harga bawang. Pendapatan rakyat tergerus. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. 

Untuk kesekian kalinya, pemerintah panik. Bahkan, Presiden SBY marah- marah secara terbuka kepada para menterinya. Setelah dimarahi, bagai rombongan sirkus, para menteri kemudian beramai-ramai melakukan inspeksi (mendadak) ke pasar-pasar. 
Ini sesungguhnya hanya menunjukkan pemerintah telah kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di permukaan, pemerintah tampak sibuk bekerja. Tapi, karena apa yang dikerjakan tidak menyentuh jantung masalah, cara-cara tersebut tidak lebih sebagai usaha membangun citra ilusif. 

Kesibukan demikian membuat presiden dan para menteri hampir selalu bersikap evasivealias menunda-nunda terus untuk berhadapan dengan masalah riil. Mereka seolah-olah tidak menyadari posisinya sebagai pemimpin eksekutif yang inisiatif dan eksekusi keputusan berada di tangannya.
Selama ini, pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Dengan mengadopsi kebijakan neoliberal, segala sesuatu di serahkan pada "tangan ajaib"-nya (invisible hand) Adam Smith. 

Ada banyak contoh. Di bidang perdagangan, misalnya, pemerintah tidak lagi menempatkan program stabilisasi harga sembako melalui pengelolaan stok oleh Bulog sebagai prioritas. Melalui Letter of Intent (LoI) IMF pada 1998, Bulog yang memang sarang korupsi dipreteli perannya, baik dalam pengelo- laan stok, distribusi barang, maupun kemampuan finansial. Bulog yang dulu perkasa, powerfull, dan menjadi "benteng terakhir" kekuasaan Presiden Soeharto kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini terjadi setelah satu per satu bisnis, dan sumber keuntungan Bulog dipreteli.

Monopoli sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari KLBI dipangkas, dan captive market (pegawai negeri sipil dan anggota TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih diwajibkan mengemban misi sosial; stabilisasi harga pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional. Padahal, sebagai perum, Bulog juga dituntut untung.

Bulog memang harus dibersihkan dari KKN, biang korupsi, dan para pemburu rente. Tapi, bukan dengan cara meng ebirinya. Ketika Bulog dikebiri, kita kehilangan instrumen dan mekanisme untuk stabilisasi harga. Dampaknya amat nyata. Sejak 1998, ketahanan pangan kita kian rentan. Ini ditandai peralihan status Indonesia dari net food exporter country menjadi net food importer country dan merosotnya ekspor hampir semua komoditas pertanian.

Frekuensi gejolak har ga kebutuhan pokok juga kian sering terjadi. Saat ini, sedikit saja terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, pemerintah segera bereaksi. Seperti IMF dan Bank Dunia, pemerintah percaya, kebutuhan pokok, terutama beras, biang hyper inflation. Segala jurus dikeluarkan, dari operasi pasar, pajak ekspor, hingga kewajiban memasok pasar domestik (DMO). 

Semua jurus itu bukanlah instrumen stabilisasi, melainkan tidak lebih dari upaya memadamkan kebakaran. Karena sumber api tidak pernah diselesaikan, tidak heran semua jurus gagal menstabilkan harga. Jika sudah demikian, pemerintah mengeluarkan jurus pamungkas; impor saja, tanpa justifikasi memadai. Publik tidak pernah yakin dengan langkah impor itu selain untuk bagi-bagi fee

Kini, gejolak harga kebutuhan pokok menjadi masalah rutin. Masalah tersebut telah menggerus sumber daya yang cukup besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mestinya bisa diselesaikan.
Setidaknya, ada dua hal untuk mengatasi ini. Pertama, merevitalisasi Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansialnya. Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis tertentu, tidak hanya beras. Hal ini tidak bisa ditunda-tunda karena keharusan melakukan stabilisasi pangan itu menjadi amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Tinggal pemer- intah menentukan pangan pokok apa yang menjadi objek stabilisasi. 

Kedua, untuk rakyat miskin, petani dan industri berbasis pangan perlu di buat kebijakan spesifik. Untuk orang miskin, tujuan kebijakan adalah memberi akses pangan murah kepada me reka, seperti beras untuk rakyat mis kin atau raskin. Untuk petani dan industri, tujuan kebijakan untuk memberi dukungan agar petani jadi kompetitif (lewat kebijakan harga dan nonharga) dan menciptakan medan persaingan yang adil. 

Langkah ini memerlukan dana yang besar. Tapi, hasilnya akan setimpal, pemerintah tidak lagi reaktif, harga kebutuhan pokok lebih stabil, dan gun- cangan politik juga bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar