Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga
kebutuhan pokok jauh lebih penting dan lebih sensitif ketimbang soal
politik. Kebutuhan pokok, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan akan
langsung menyentuh kebutuhan hakiki mereka. Sifat kebutuhan ini
tidak bisa ditunda-ditunda. Bagi sebagian orang, antre berjam-jam hanya
untuk mendapatkan sepuluh kilogram beras adalah sia-sia. Tapi, bagi kaum
miskin, beras penting agar dapur tetap berasap dan aktivitas sosial
ekonomi mereka terus bergerak.
Ironisnya, harga-harga kebutuhan pokok saat ini dalam kondisi terus merangkak
naik. Tak hanya daging, kenaikan harga juga terjadi pada kedelai dan beberapa
komoditas yang lain. Belum genap setahun, fluktuasi harga sudah terjadi
pada sejumlah komoditas pangan. Padahal, dari sisi permintaan tidak
ada lonjakan berarti. Akibat kenaikan itu, inflasi melambung tinggi yang
seba- gian besar disumbang oleh kenaikan harga pangan. Sebesar 0,44
persen dari 0,63 persen inflasi pada Maret lalu disumbang oleh kenaikan
harga bawang. Pendapatan rakyat tergerus. Warga miskin yang 60-75 persen
pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan
pos nonpangan guna mengamankan perut.
Untuk kesekian kalinya, pemerintah panik. Bahkan, Presiden SBY marah-
marah secara terbuka kepada para menterinya. Setelah dimarahi, bagai rombongan
sirkus, para menteri kemudian beramai-ramai melakukan inspeksi (mendadak)
ke pasar-pasar.
Ini sesungguhnya hanya menunjukkan pemerintah telah
kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak memahami apa yang sebenarnya
terjadi. Di permukaan, pemerintah tampak sibuk bekerja. Tapi, karena apa
yang dikerjakan tidak menyentuh jantung masalah, cara-cara tersebut tidak
lebih sebagai usaha membangun citra ilusif.
Kesibukan demikian membuat presiden dan para menteri
hampir selalu bersikap evasivealias menunda-nunda terus untuk berhadapan
dengan masalah riil. Mereka seolah-olah tidak menyadari posisinya sebagai
pemimpin eksekutif yang inisiatif dan eksekusi keputusan berada di
tangannya.
Selama ini, pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun
unsur-unsur lain kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar
berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Dengan
mengadopsi kebijakan neoliberal, segala sesuatu di serahkan pada
"tangan ajaib"-nya (invisible
hand) Adam Smith.
Ada banyak contoh. Di bidang perdagangan, misalnya,
pemerintah tidak lagi menempatkan program stabilisasi harga sembako
melalui pengelolaan stok oleh Bulog sebagai prioritas. Melalui Letter of Intent (LoI) IMF pada
1998, Bulog yang memang sarang korupsi dipreteli perannya, baik dalam
pengelo- laan stok, distribusi barang, maupun kemampuan finansial. Bulog
yang dulu perkasa, powerfull, dan menjadi "benteng terakhir" kekuasaan
Presiden Soeharto kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini
terjadi setelah satu per satu bisnis, dan sumber keuntungan Bulog
dipreteli.
Monopoli sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak
goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari KLBI dipangkas, dan captive market (pegawai negeri
sipil dan anggota TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih
diwajibkan mengemban misi sosial; stabilisasi harga pangan dan menjaga
ketahanan pangan nasional. Padahal, sebagai perum, Bulog juga dituntut
untung.
Bulog memang harus dibersihkan dari KKN, biang korupsi, dan para pemburu rente.
Tapi, bukan dengan cara meng ebirinya. Ketika Bulog dikebiri, kita kehilangan
instrumen dan mekanisme untuk stabilisasi harga. Dampaknya amat nyata.
Sejak 1998, ketahanan pangan kita kian rentan. Ini ditandai
peralihan status Indonesia dari net
food exporter country menjadi net
food importer country dan merosotnya ekspor hampir semua komoditas
pertanian.
Frekuensi gejolak har ga kebutuhan pokok juga kian
sering terjadi. Saat ini, sedikit saja terjadi kenaikan harga
kebutuhan pokok, pemerintah segera bereaksi. Seperti IMF dan Bank Dunia,
pemerintah percaya, kebutuhan pokok, terutama beras, biang hyper inflation. Segala jurus
dikeluarkan, dari operasi pasar, pajak ekspor, hingga kewajiban memasok
pasar domestik (DMO).
Semua jurus itu bukanlah instrumen stabilisasi,
melainkan tidak lebih dari upaya memadamkan kebakaran. Karena sumber api
tidak pernah diselesaikan, tidak heran semua jurus gagal menstabilkan
harga. Jika sudah demikian, pemerintah mengeluarkan jurus pamungkas;
impor saja, tanpa justifikasi memadai. Publik tidak pernah yakin dengan
langkah impor itu selain untuk bagi-bagi fee.
Kini, gejolak harga kebutuhan pokok menjadi masalah rutin. Masalah
tersebut telah menggerus sumber daya yang cukup besar. Bangsa ini
kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin
yang mestinya bisa diselesaikan.
Setidaknya, ada dua hal untuk mengatasi ini. Pertama, merevitalisasi
Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansialnya.
Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis
tertentu, tidak hanya beras. Hal ini tidak bisa ditunda-tunda karena
keharusan melakukan stabilisasi pangan itu menjadi amanat UU No 18/2012
tentang Pangan. Tinggal pemer- intah menentukan pangan pokok apa yang
menjadi objek stabilisasi.
Kedua, untuk rakyat miskin, petani dan industri
berbasis pangan perlu di buat kebijakan spesifik. Untuk orang miskin,
tujuan kebijakan adalah memberi akses pangan murah kepada me reka,
seperti beras untuk rakyat mis kin atau raskin. Untuk petani dan industri,
tujuan kebijakan untuk memberi dukungan agar petani jadi kompetitif
(lewat kebijakan harga dan nonharga) dan menciptakan medan persaingan
yang adil.
Langkah ini memerlukan dana yang besar. Tapi, hasilnya akan setimpal,
pemerintah tidak lagi reaktif, harga kebutuhan pokok lebih stabil, dan
gun- cangan politik juga bisa dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar