Slogan program Keluarga Berencana (KB)
’’Dua Anak Cukup’’ atau ’’Dua Anak Lebih Baik’’ dipersoalkan karena
dinilai melanggar hak asasi manusia
(HAM), demikian berita harian ini edisi 20 Februari 2013. Terlepas
dari setuju atau tidak, bagaimana mungkin slogan dianggap melanggar HAM?
Namanya juga slogan, intinya adalah mengajak secara persuasif, bukan
memaksa.
Slogan hanya dapt dipahami oleh orang cerdas, baik cerdas intelektual
maupun spiritual. Beberapa waktu lalu dalam satu kesempatan, ada seorang
wanita anggota DPRD yang lantang berbicara, ’’Mau anak 10 kek, 20 kek, yang penting asal dapat menghidupi
secara layak, apa salahnya? Buktinya anak saya 10, semuanya ’jadi’.’’
Sudah pasti orang yang mendengar sekilas
setuju. Tapi yang dilupakan wakil rakyat itu adalah ia tidak melihat
’’penderitaan’’ orang lain (yang barangkali direbut haknya), dan alam
sekitarnya atau lingkungan, yang sudah tak mampu lagi menampung manusia.
Seandainya, semua penduduk Kota Semarang misalnya, berpikiran seperti itu
dan masing-masing pasangan beranak sebanyak itu, kira-kira apa yang terjadi
di kota ini?
Taruhlah semua pasangan yang punya anak 10 tersebut, jadi ’’orang’’
semua, dan punya mobil semua, lalu apa yang terjadi dengan jalanan di
Kota Semarang? Belum lagi kita bicara soal daya tampung sosial, seperti
pendidikan, kesehatan, dan aneka kebutuhan lain. Dengan kata lain,
beranak sebanyak berapa pun silakan, tapi mohon juga memperhatikan orang
lain dan lingkungan, apakah masih dapat menampung jumlah penduduk
sebanyak itu?
Allah swt memberi mandat kepada manusia sebagai khalifah yang ditugasi
mengelola bumi. Dengan kata lain, urusan bumi, silakan manusia berpikir
dan bertindak sendiri. Allah juga mengajarkan empat macam hukum, yakni
wajib, haram, sunah, dan mubah. Bagaimana penerapan hukum tersebut ?
Jawabnya, bergantung situasi.
Di beberapa negara maju, memiliki anak
lebih dari dua dianggap memiliki dosa sosial, dan karenanya mereka sadar,
sehingga tanpa institusi KB pun, jumlah penduduk tetap terkendali.
Semboyan makes love, not babies,
amat populer pada tahun 1970-an. Silakan bercinta dengan suami atau
istri, tapi jangan buat anak, kira-kira begitu kelakarnya.
Ketidakseimbangan
Jumlah penduduk Jateng sudah mencapai angka 32.382.657 pada 2010, bahkan
menurut kabar terakhir sudah 39 jutaan, dengan kepadatan 995 orang/km2,
jauh lebih tinggi dibanding nasional 124 orang/ km2. Hampir 14 persen
penduduk Indonesia ada di Jawa Tengah.
Semarang sebagai kota terbesar di Jateng, sudah berpenduduk 1,6 juta jiwa
lebih. Betapa terasa kesusahan pada berbagai bidang, akibat kemacetan,
polusi, kesulitan lapangan kerja, dan pelayanan sosial lain seperti
pendidikan dan kesehatan.
Terlepas dari masih banyaknya korupsi, semua masalah tersebut juga bisa
jadi bersumber dari ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan daya
tampung sosial serta daya dukung lingkungan. Dari titik itulah, program
KB masih diperlukan, namun harus direvitalisasi. Penerbitan UU Nomor 52
Tahun 2009 menunjukkan keseriusan pemerintah mengurusi masalah
kependudukan.
Program KB mestinya juga memperhatikan hal ini dengan prinsip melayani
klien (peserta KB) dengan quality
of care dan bukan hanya quality
of service. Yang disebut pertama adalah prinsip memperhatikan klien
tidak hanya secara teknis, tapi juga hubungan antarpribadi yang intens
yang hasil akhirnya ada peningkatan pengetahuan klien terhadap perilaku
reproduksi yang sehat.
Quality of care mensyaratkan
kepada klien KB untuk memiliki pengetahuan yang memadai, kerahasiaan yang
terjamin, keamanan penggunaan kontrasepsi, dan petugas KB memahami
perasaan klien. Dengan kata lain, informasi yang lengkap tentang klien
harus merupakan unsur dalam menentukan standar pelayanan. Ukuran
keberhasilan KB adalah kepuasan klien dan peningkatan pengetahuan klien
tentang reproduksi yang sehat. Tujuannya, agar KB tidak dituduh melanggar
HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar