Policy execution differentiates the best-performing cities. The
most important thing that you must have for a city to green is political
will. Tema besar Hari Bumi (Earth Day) 2013 yang diperingati setiap
22 April adalah “The Face of Climate Change” (Tantangan terhadap Perubahan Iklim).
Suka tidak suka, Bumi, tempat
kita berdiam diri, telah mengalami pemanasan global, perubahan iklim
(ekstrem), dan degradasi kualitas lingkungan. Kualitas dan keberlanjutan
kehidupan manusia, berikut flora dan fauna, di muka Bumi di ambang
kehancuran, jika tidak mau disebut kepunahan.
Lihatlah, akibat
pembangunan (kota) yang tidak berkelanjutan, kota-kota kita mengalami
bencana lingkungan setiap tahun, banjir di musim hujan, dan kekeringan di
musim kemarau. Dalam beberapa pekan terakhir ini, hampir setiap hari,
kita menyaksikan berita di sebagian besar wilayah Nusantara tengah
dilanda banjir, mulai dari Banda Aceh, Padang, Bandung, Semarang, Kudus,
Demak, Jepara, Bojonegoro, Lamongan, hingga ke ujung tanah Papua.
Kini, perayaan Hari
Bumi merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk berpikir ulang dan
mengintrospeksi diri, seberapa serius kota-kota di Indonesia dibangun?
Kota Hijau
Perserikatan
Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari setengah penduduk dunia telah
hidup di kota (2013) dan terus meningkat hingga dua per tiga pada 2050.
Amerika Utara dan Selatan
wilayah yang paling cepat menuju perkotaan, di mana lebih dari 80 persen
tinggal di kota, diikuti Eropa (70 persen), Asia dan Afrika (40 persen).
Rata-rata populasi penduduk kota di Asia 9,4 juta, di Amerika Selatan 4,6
juta, Afrika 3,9 juta, Eropa 2,5 juta, dan Amerika Utara 1,4 juta.
Bak dua sisi koin,
kota merupakan mesin pertumbuhan masa depan yang memberikan peluang besar
bagi peningkatan pendidikan, perluasan lapangan kerja, dan kemakmuran
masyarakat, namun di lain pihak juga menimbulkan kemacetan lalu lintas,
menjamurnya permukiman kumuh, peluberan kota, pencemaran lingkungan,
eksploitasi sumber daya alam, dan penyumbang penting perubahan iklim
(lebih dari 70 persen penyebab gas emisi).
Pertumbuhan jumlah
penduduk juga akan menguras pemakaian energi dan air, peningkatan
produksi sampah dan limbah, dan menyesaki transportasi kota. Namun,
berbagai kota di dunia terus bergerak maju melakukan antisipasi,
beradaptasi, dan memitigasi kota terhadap perubahan iklim. Mereka tengah
membangun kota hijau.
Ada delapan indikator
kota hijau yang tengah dikembangkan. Pertama, peruntukan lahan dan tata
ruang kota menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan (green planning and design).
Kedua, rencana
pengembangan ruang terbuka hijau 30 persen dari total luas wilayah (green
open space) dalam mengatasi karbon dioksida per kapita meliputi
intensitas, emisi, dan strategi pengurangan dan peningkatan kualitas
udara dengan mengurangi kadar NO2, SO2, O3, partikel polutan, konsentrasi
pencemaran udara, kebijakan udara bersih, serta penghijauan kota.
Ketiga, pemanfaatan
air dan akses sanitasi meliputi konsumsi air, sistem kesenjangan, sistem
pengolahan air limbah, kebijakan pengolahan dan efisiensi air (green
water). Keempat, pengelolaan sampah kota melakukan pengurangan produksi
dan kebijakan pengurangan sampah (reduce), rata-rata daur ulang
(recycle), dan penggunaan ulang barang (reuse) (green waste).
Kelima, pemanfaatan
energi mencakup konsumsi, intensitas, pengembangan energi terbarukan,
kebijakan energi efisien dan bersih (green energy). Keenam, untuk
penerapan bangunan lestari terdiri atas bijak guna lahan, konservasi dan
hemat air, hemat konsumsi energi, standar, dan inisiatif bangunan
efisiensi energi, hemat bahan kurangi limbah, serta menjaga kualitas
udara dalam ruangan (green building).
Ketujuh, pengembangan
transportasi berbasis jaringan dan penggunaan transportasi bukan
kendaraan bermotor (berjalan kaki, sepeda), promosi transportasi massal
ramah lingkungan, kebijakan penguraian, dan pengurangan simpul kemacetan
(green transportation). Kedelapan, pemerintahan dan kebijakan yang pro
lingkungan dan dukungan masyarakat (green
community).
Menyebar ke Seluruh
Dunia
Bak virus, gerakan
kota hijau terus menyebar ke berbagai belahan dunia. Di Eropa, keterbatasan
lahan disiasati dengan konsep kota-kota kompak. Copenhagen dan Stockholm,
kota pertama dan kedua terhijau di Eropa, mengembangkan kebijakan
pemerintah yang inovatif dan pro lingkungan di seluruh bidang, terutama
dalam upaya pengurangan emisi karbon, bangunan hijau, transportasi, air,
dan kualitas udara.
San Francisco, kota
terhijau di Amerika Serikat, dan Vancouver kota terhijau di Kanada,
memperlihatkan ada keterkaitan yang erat antara tingkat kesejahteraan dan
lingkungan, semakin meningkat tingkat kesejahteraan warga memberi dampak
kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan.
Pendekatan pembangunan
yang lebih terintegrasi dan kebijakan yang aktif mampu meningkatkan
performa lingkungan kota, dengan keunggulan pada pembangunan
infrastruktur air, pengolahan sampah, dan dukungan sektor swasta.
Kota San Francisco
mengolah sampah yang langsung dipisah menjadi sampah daur ulang dan bahan
kompos, diikuti penerapan standar bangunan hemat energi, jaringan
transportasi publik kedua terpanjang setelah Vancouver dan terintegrasi,
dengan kualitas udara yang baik.
The Vancouver Greenest City Plan (2010) memasang target
pengurangan emisi mencapai 33 persen (2020) yang berarti akan menjadi
kota karbon netral atau kota terhijau di dunia kelak.
Vancouver’s Community Climate Change Action Plan (2005)
bertujuan mengurangi emisi 6 persen (2012) melalui program tata ruang
yang terintegrasi, energi yang berkelanjutan, standar bangunan hijau,
alokasi ruang jalan dan berbayar yang mendorong warga untuk berjalan
kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi publik, serta diet sampah.
Curitiba, Brasil, kota
terhijau di Amerika Selatan, melakukan pendekatan lingkungan kota secara
menyeluruh, semua kebijakan dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup
lingkungan kota.
Untuk mengantisipasi
pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, pemerintah berupaya mengurangi
peluberan kota, menciptakan kawasan ramah pejalan kaki, dan memperbanyak
taman kota, mengelola dan mendaur ulang sampah, serta menyediakan
transportasi publik berbiaya murah dan efektif (bus rapid transit/bus
trans) yang berhasil mengurangi pencemaran udara dan emisi karbon.
Pembangunan perumahan diarahkan berupa hunian vertikal (rumah susun) yang
berada di sepanjang jalur koridor bus trans.
Kota yang hijau juga
kota yang rendah praktik korupsi telah dibuktikan Singapura sebagai kota
terhijau di Asia. Dengan transparansi dalam setiap kebijakan pemerintah,
menempatkan Singapura negara keempat yang rendah korupsi oleh Transparency International’s
Corruption Perception Index (2011).
Di Afrika, kota Cape
Town, Durban, dan Johannesburg (Selatan Afrika), dan Casablanca, Tunis,
Accra, Ghana (Utara Afrika), termasuk kota-kota yang memiliki nilai kota
hijau di atas rata-rata, meski masih jauh dari standar kota hijau dunia.
Afrika kini mengalami perkembangan kota paling pesat dibandingkan benua
lainnya di dunia.
Kota-kota harus
menjadi area prioritas kebijakan publik. Pembangunan kota hijau telah
mampu mendorong pembangunan ekonomi ramah lingkungan, menurunkan
kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup, serta terjaga kelestarian
alam.
Namun, pembangunan
kota hijau harus didukung oleh visi jauh ke depan, solusi jangka panjang
dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan masalah lingkungan, serta
aksi nyata yang membumi. Selamat
Hari Bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar