Kisruh
impor daging sapi belum usai, kekusutan serupa menimpa impor bawang
(merah dan putih). Dari sisi kebijakan, sebetulnya tahun ini tidak banyak
hal yang benar-benar baru.
Sudah lama
impor bawang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Penciutan pintu
masuk impor hortikultura dari delapan menjadi lima juga sudah berlaku sejak
Juni tahun lalu. Bawang juga tidak termasuk 13 produk hortikultura yang
impornya ditutup Januari–Juni 2013. Yang baru hanya pada kuota dan
importir harus mengantongi rekomendasi izin produk hortikultura (RIPH)
seperti diatur Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 dan Surat
Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.
Rupanya, beleid baru ini jadi salah satu
sumbu masalah sehingga harga bawang melonjak lebihdari 100%: dari
Rp25.000/kg menjadi Rp70.000/kg. Importir paham benar pasar bawang bakal
mengalami kekosongan pasokan. Mereka lantas memanfaatkan situasi ini
untuk meraih keuntungan. Tanpa perlu modus canggih, kekacauan ini dengan
mudah dimanfaatkan sekelompok kecil pihak yang memiliki kekuatan
mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar guna mengeruk
keuntungan.
Beleid baru
bukan menuntaskan masalah, justru berpeluang menciptakan kartel dan
perburuan rente. Fakta-fakta berikut ini menunjukkan hal itu. Pertama,
”pemutihan” 332 kontainer bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya. Ratusan kontainer milik 11 importir ini tak dilengkapi
RIPH dan SPI. Menurut aturan, ratusan kontainer itu seharusnya disita,
dimusnahkan, atau dire-ekspor.
Pemerintah
gamang. Jika tak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang tetap tinggi.
Inflasi Maret bisa terpantik tinggi seperti sebulan sebelumnya. Februari
lalu 0,12% dari 0,75% inflasi disumbang bawang. Jika dilegalkan,
pemerintah menabrak aturan. Seperti yang diduga, pemerintah ”memutihkan”
kontainer bawang itu. Kegamangan semacam ini amat dipahami para importir.
Kedua,
importir nakal bertindak bagai spekulan dengan menimbun. Ini tercium oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat inspeksi di Pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya. Menurut KPPU, di luar ratusan kontainer tak
berizin ada 109 kontainer berisi bawang putih berizin lengkap. Tapi,
selama enam minggu kontainer itu dibiarkan menumpuk. Jika memang legal,
mengapa tidak segera dibongkar dan dialirkan ke pasar? Ini modus lain
untuk mengerek harga bawang dengan cara menahan suplai.
Ketiga,
menciptakan kelangkaan pasar semu. Modus ini belum tercium, termasuk oleh
KPPU. Modus ini dilakukan dengan tetap menahan barang dari pelabuhan
berada di gudang. Karena tak mengalir ke pasar, di pasar bawang tetap
langka. Langka bukan berarti bawang tak ada. Bawang ada, tapi karena
tidak dialirkan ke pasar, konsumen sulit menemukan bawang. Sesuai hukum supply-demand, harga pun akan terpantik
tinggi.
Karut-marut
ini tak luput dari keterlambatan pemerintah dalam menerbitkan izin impor.
Idealnya, kalkulasi produksi dan kebutuhan domestik selesai awal tahun.
Kalau kurang, baru perlu impor. Ternyata RIPH dan SPI baru terbit 8 Maret
2013. Ini terlambat. Meskipun tidak ada tekanan permintaan Januari– Maret
2013, karena pasokan berkurang, supply-demand tidak seimbang.
Harga dengan
mudah di-remote ke level
tinggi. Pemerintah tak berdaya karena tidak memiliki instrumen
stabilisasi untuk intervensi. Impor bawang merupakan bisnis gurih. Siapa
pun yang mengetahui keuntungan impor bawang bakal terbelalak. Harga
bawang putih saat ini hanya USD518–612 per metrik ton (FOB China, 15/3)
atau Rp5.051–5.968 per kg. Pada 2012 harga bawang putih pernah mencapai
rekor tertinggi USD1.800 per metrik ton atau Rp17.500 per kg.
Setelah
ditambah jasa pengangkutan, ongkos muat, asuransi, cold storage, dan
biaya distribusi margin keuntungan tetap tinggi. Ini yang menarik banyak
pihak ngiler berbisnis impor bawang. Jika semula hanya 70, kini pengimpor
mencapai 130 perusahaan. Mereka memperebutkan kuota impor 400.000 ton
bawang merah dan 380.000 ton bawang putih dengan cara legal atau ilegal.
Bisnis ini
bahkan sudah menjadi political rent-seeking. Saat ini KPPU tengah
menyelidiki kemungkinan ada kartel impor bawang. Tentu bukan hal mudah
membuktikan praktik kartel. Apalagi, sebagian besar praktik kartel
dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas
seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku
kartel.
Kita berharap
KPPU tidak ciut nyali karena kartel setidaknya menciptakan dua kerugian
sekaligus. Pertama, kartel akan meminikan, bahkan meniadakan, persaingan.
Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif pilihan. Mau tidak mau,
konsumen harus membeli barang (sejenis) yang telah diatur harganya,
termasuk harga yang amat tinggi.
Kedua, secara
makro kartel akan mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang
dicerminkan oleh timbulnya bobot yang hilang (deadweight loss) akibat pembatasan produksi. Kartel juga
dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi
pabrik yang tak efisien sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi
barang/jasa dalam suatu industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar