Rabu, 10 April 2013

Ekonomi Rente Impor Bawang


Ekonomi Rente Impor Bawang
Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
KORAN SINDO, 10 April 2013

  
Kisruh impor daging sapi belum usai, kekusutan serupa menimpa impor bawang (merah dan putih). Dari sisi kebijakan, sebetulnya tahun ini tidak banyak hal yang benar-benar baru. 

Sudah lama impor bawang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Penciutan pintu masuk impor hortikultura dari delapan menjadi lima juga sudah berlaku sejak Juni tahun lalu. Bawang juga tidak termasuk 13 produk hortikultura yang impornya ditutup Januari–Juni 2013. Yang baru hanya pada kuota dan importir harus mengantongi rekomendasi izin produk hortikultura (RIPH) seperti diatur Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. 

Rupanya, beleid baru ini jadi salah satu sumbu masalah sehingga harga bawang melonjak lebihdari 100%: dari Rp25.000/kg menjadi Rp70.000/kg. Importir paham benar pasar bawang bakal mengalami kekosongan pasokan. Mereka lantas memanfaatkan situasi ini untuk meraih keuntungan. Tanpa perlu modus canggih, kekacauan ini dengan mudah dimanfaatkan sekelompok kecil pihak yang memiliki kekuatan mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar guna mengeruk keuntungan. 

Beleid baru bukan menuntaskan masalah, justru berpeluang menciptakan kartel dan perburuan rente. Fakta-fakta berikut ini menunjukkan hal itu. Pertama, ”pemutihan” 332 kontainer bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Ratusan kontainer milik 11 importir ini tak dilengkapi RIPH dan SPI. Menurut aturan, ratusan kontainer itu seharusnya disita, dimusnahkan, atau dire-ekspor. 

Pemerintah gamang. Jika tak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang tetap tinggi. Inflasi Maret bisa terpantik tinggi seperti sebulan sebelumnya. Februari lalu 0,12% dari 0,75% inflasi disumbang bawang. Jika dilegalkan, pemerintah menabrak aturan. Seperti yang diduga, pemerintah ”memutihkan” kontainer bawang itu. Kegamangan semacam ini amat dipahami para importir. 

Kedua, importir nakal bertindak bagai spekulan dengan menimbun. Ini tercium oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat inspeksi di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Menurut KPPU, di luar ratusan kontainer tak berizin ada 109 kontainer berisi bawang putih berizin lengkap. Tapi, selama enam minggu kontainer itu dibiarkan menumpuk. Jika memang legal, mengapa tidak segera dibongkar dan dialirkan ke pasar? Ini modus lain untuk mengerek harga bawang dengan cara menahan suplai. 

Ketiga, menciptakan kelangkaan pasar semu. Modus ini belum tercium, termasuk oleh KPPU. Modus ini dilakukan dengan tetap menahan barang dari pelabuhan berada di gudang. Karena tak mengalir ke pasar, di pasar bawang tetap langka. Langka bukan berarti bawang tak ada. Bawang ada, tapi karena tidak dialirkan ke pasar, konsumen sulit menemukan bawang. Sesuai hukum supply-demand, harga pun akan terpantik tinggi. 

Karut-marut ini tak luput dari keterlambatan pemerintah dalam menerbitkan izin impor. Idealnya, kalkulasi produksi dan kebutuhan domestik selesai awal tahun. Kalau kurang, baru perlu impor. Ternyata RIPH dan SPI baru terbit 8 Maret 2013. Ini terlambat. Meskipun tidak ada tekanan permintaan Januari– Maret 2013, karena pasokan berkurang, supply-demand tidak seimbang. 

Harga dengan mudah di-remote ke level tinggi. Pemerintah tak berdaya karena tidak memiliki instrumen stabilisasi untuk intervensi. Impor bawang merupakan bisnis gurih. Siapa pun yang mengetahui keuntungan impor bawang bakal terbelalak. Harga bawang putih saat ini hanya USD518–612 per metrik ton (FOB China, 15/3) atau Rp5.051–5.968 per kg. Pada 2012 harga bawang putih pernah mencapai rekor tertinggi USD1.800 per metrik ton atau Rp17.500 per kg. 

Setelah ditambah jasa pengangkutan, ongkos muat, asuransi, cold storage, dan biaya distribusi margin keuntungan tetap tinggi. Ini yang menarik banyak pihak ngiler berbisnis impor bawang. Jika semula hanya 70, kini pengimpor mencapai 130 perusahaan. Mereka memperebutkan kuota impor 400.000 ton bawang merah dan 380.000 ton bawang putih dengan cara legal atau ilegal. 

Bisnis ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking. Saat ini KPPU tengah menyelidiki kemungkinan ada kartel impor bawang. Tentu bukan hal mudah membuktikan praktik kartel. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel. 

Kita berharap KPPU tidak ciut nyali karena kartel setidaknya menciptakan dua kerugian sekaligus. Pertama, kartel akan meminikan, bahkan meniadakan, persaingan. Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif pilihan. Mau tidak mau, konsumen harus membeli barang (sejenis) yang telah diatur harganya, termasuk harga yang amat tinggi. 

Kedua, secara makro kartel akan mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan oleh timbulnya bobot yang hilang (deadweight loss) akibat pembatasan produksi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tak efisien sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi barang/jasa dalam suatu industri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar