Rabu, 10 April 2013

Menjaga Netralitas Penyelenggara Pemilu


Menjaga Netralitas Penyelenggara Pemilu
Majda El Muhtaj  ;  Kepala Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) 
KORAN SINDO, 10 April 2013

  
Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menempati posisi strategis sebagai pilar penting demokrasi. 

Sifatnya yang nasional, mandiri, dan permanen, sejatinya menjadi kekuatan utama dalam menyelenggarakan pemilu berkualitas. Untuk mendorong dan mewujudkan pemilu berkualitas, sejak Juni 2012, mandat UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya UU PPU), dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) dibentuk. 

Diyakini sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu, DKPP bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP adalah “wasit” dan penegak kode etik penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu termasuk unsur penyelenggara di bawahnya merupakan penyelenggara pemilu yang dapat menjadi pihak teradu atau terlapor. Secara personal mereka bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan pemilu yang benar dan taat asas. Penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat atau pemilih, merupakan pengadu dan pelapor. 

Mereka berhak mengadukan pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP. Selama ini titik berat pengaduan/laporan kepada DKPP sebagian besar menyangkut netralitas penyelenggara pemilu. Pengaduan atau laporan diverifikasi kemudian diperiksa dan diputuskan. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. DKPP berwenang memberikan sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap, serta rehabilitasi nama baik. 

Penegakan etika penyelenggara pemilu merupakan syarat mutlak mewujudkan proses dan produk pemilu yang berkualitas serta berterima sebagai hasil perjuangan kompetisi politik secara fair dan bermartabat. Untuk memperoleh idealitas pemilu, tentu dibutuhkan personal penyelenggara pemilu yang terintegrasi dan memiliki kredibilitas. Proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu di tingkat propinsi tengah berjalan. Tulisan ini merupakan kontribusi pemikiran untuk memperkaya dan memperkuat proses rekrutmen penyelenggara pemilu berkualitas dan bermartabat, khususnya di Sumatera Utara. 

Uji Kemandirian Tim Seleksi 

Kerangka umum eksistensi, peran, dan kewenangan tim seleksi ditegaskan dalam UUPPU. Lebih dari itu sesungguhnya yang penting dipikirkan adalah integritas tim seleksi dan model rekrutmen. Berkembang di banyak kalangan bahwa tim seleksi bisa “diatur”. 

Atau setidaknya muncul anggapan bahwa tim seleksi yang diperjuangkan terpilih akan memudahkan jalan bagi sebagian kandidat untuk lulus terpilih sebagai penyelenggara pemilu. Fenomena ini telah berkembang luas. Tidak jarang trik dan kendali kekuasaan pun dipaksakan masuk menerawang masa depan para kandidat penyelenggara pemilu. 

Akan semakin sempurna hancurnya ketika tim seleksi tidak bisa bertindak mandiri apalagi terperosok dalam praktik mafia seleksi. Fakta bahwa DKPP memberikan sanksi pemecatan tetap kepada sejumlah anggota KPU propinsi dan kabupaten/kota mengindikasikan bobroknya kualitas seluruh atau sebagian personel penyelenggara pemilu. Sebut saja KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, KPU Provinsi Gorontalo, KPU Kabupaten Dogiyai, Papua, KPU Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, KPU Kota Depok, KPU Timor Tengah Utara, NTT, KIP Kabupaten Aceh Tenggara, KPU DKI Jakarta, dan KPU Kabupaten Pati, Jawa Tengah. 

Begitu juga Panwaslu DKI Jakarta dan Panwaslu Kabupaten Halmahera Tengah, NTT. Ini menjadi sorotan serius bagi Sumatera Utara. Titik berat netralitas berkorelasi dengan kematangan kecerdasan personel penyelenggara pemilu. Tim seleksi harus memahami sistem dan mekanisme seleksi serta harus dipastikan bahwa tiaptiap rangkaian seleksi dilaksanakan secara beradab, maksimal, terbuka, dan penuh tanggung jawab. Naif sekali ketika anggapan umum mengatakan, tim seleksilah yang “berkuasa” melalui plenonya menetapkan 10 nama anggota KPU di daerah. 

Pandangan menyesatkan ini harus ditepis untuk membenarkan bahwa sistem seleksi berlangsung dengan benar dan taat asas untuk melahirkan sosok- berkualitas penyelenggara pemilu. Resiprokalitas kepentingan para kandidat dan tim seleksi atau pihakpihak yang mengintervensi akan terjadi, jika ruang kebodohan akibat ketidakmandirian tim seleksi benar-benar terjadi. Penyelenggara pemilu yang berintegritas sangat menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu dan berimplikasi bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tim seleksi dan beradabnya mekanisme seleksi sangat menentukan kredibilitas hasil seleksi. 

Mengadopsi Rekrutmen Polri 

Dengan prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis (BETAH), penerimaan anggota Polri berjalan sangat indah. Pengalaman saya, empat tahun menjadi pengawas eksternal penerimaan anggota Polri di lingkungan panitia daerah Polda Sumut memberikan kesan tersendiri. 

Bagi saya, model rekrutmen anggota Polri ini sangat layak diadopsi dalam seleksi penyelenggara pemilu, khususnya di level daerah. Keterbukaan, keberanian, ketegasan, dan menjunjung tinggi kesiapan, kematangan dan keuletan personel kandidat menjadi ukuran penentu keberhasilannya. Hal menentukan seseorang berhasil dalam kompetisi, mutlak dari kandidat sendiri. Tahapan seleksi dari pemeriksaan administrasi, kesehatan, akademik, dan psikologi dilaksanakan secara terbuka. 

Prinsip one day service benar-benar direalisasikan dengan penuh tanggung jawab. Keikutsertaan pengawas eksternal memperkuat kredibilitas seleksi karena selain akses yang terbuka mengikuti dan mengawasi seluruh tahapan, keberatan dan sanggahan pengawas eksternal diakomodasi sebagai bagian penting dari rangkaian proses seleksi. Tidak hanya itu, perwakilan kandidat juga diikutsertakan mengawal dan mengawasi jalannya proses seleksi. Penetapan skala nilai tertentu (passing grade) kelulusan di tiap tahapan diumumkan terbuka serta para kandidat dan keluarganya diikutsertakan saat pengumuman di tiap tahapan. 

Bagi saya, proses seleksi dengan prinsip BETAH di lingkungan Polri mengajarkan kita jujur, bertanggung jawab, mandiri, serta berani mengambil keputusan. Hal ini patut diapresiasi dan selanjutnya mampu menginspirasi kita bahwa proses dan mekanisme seleksi yang berwibawa, serta bermartabat berimplikasi pada kemandirian dan integritas para kandidat terpilih. Hemat saya, proses seleksi anggota KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/ kota sangat patut mengadopsi pola rekrutmen anggota Polri. 

Setidaknya dalam semangat yang sama dengan sungguh hati menyadari bahwa rekrutmen berkualitas dan beradab merupakan langkah awal dalam melahirkan sosok berkualitas para penyelenggara pemilu. Semoga pleno tim seleksi tidaklah menjadi pemutus segalanya yang bisa melanggengkan jahatnya “tawar-menawar” serta ajang konspirasi memenangkan yang kalah dan mengalahkan yang menang. 

Kita butuh orang-orang tangguh yang tidak hanya bisa menyelenggarakan Pemilu 2014 dan pilkada dengan sukses, tetapi mampu menjaga netralitas, integritas, kredibilitas, dan taat asas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar