Sebagai
penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) menempati posisi strategis sebagai pilar penting
demokrasi.
Sifatnya yang
nasional, mandiri, dan permanen, sejatinya menjadi kekuatan utama dalam
menyelenggarakan pemilu berkualitas. Untuk mendorong dan mewujudkan
pemilu berkualitas, sejak Juni 2012, mandat UU Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya UU PPU), dewan
kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) dibentuk.
Diyakini
sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu, DKPP bertugas
menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP adalah “wasit”
dan penegak kode etik penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu termasuk
unsur penyelenggara di bawahnya merupakan penyelenggara pemilu yang dapat
menjadi pihak teradu atau terlapor. Secara personal mereka bertanggung jawab
penuh dalam menyelenggarakan pemilu yang benar dan taat asas.
Penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat atau
pemilih, merupakan pengadu dan pelapor.
Mereka berhak
mengadukan pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara pemilu kepada
DKPP. Selama ini titik berat pengaduan/laporan kepada DKPP sebagian besar
menyangkut netralitas penyelenggara pemilu. Pengaduan atau laporan
diverifikasi kemudian diperiksa dan diputuskan. Putusan DKPP bersifat
final dan mengikat. DKPP berwenang memberikan sanksi teguran tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian tetap, serta rehabilitasi nama
baik.
Penegakan
etika penyelenggara pemilu merupakan syarat mutlak mewujudkan proses dan
produk pemilu yang berkualitas serta berterima sebagai hasil perjuangan
kompetisi politik secara fair
dan bermartabat. Untuk memperoleh idealitas pemilu, tentu dibutuhkan
personal penyelenggara pemilu yang terintegrasi dan memiliki
kredibilitas. Proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu di tingkat propinsi
tengah berjalan. Tulisan ini merupakan kontribusi pemikiran untuk
memperkaya dan memperkuat proses rekrutmen penyelenggara pemilu
berkualitas dan bermartabat, khususnya di Sumatera Utara.
Uji Kemandirian Tim Seleksi
Kerangka umum
eksistensi, peran, dan kewenangan tim seleksi ditegaskan dalam UUPPU.
Lebih dari itu sesungguhnya yang penting dipikirkan adalah integritas tim
seleksi dan model rekrutmen. Berkembang di banyak kalangan bahwa tim
seleksi bisa “diatur”.
Atau
setidaknya muncul anggapan bahwa tim seleksi yang diperjuangkan terpilih
akan memudahkan jalan bagi sebagian kandidat untuk lulus terpilih sebagai
penyelenggara pemilu. Fenomena ini telah berkembang luas. Tidak jarang
trik dan kendali kekuasaan pun dipaksakan masuk menerawang masa depan
para kandidat penyelenggara pemilu.
Akan semakin
sempurna hancurnya ketika tim seleksi tidak bisa bertindak mandiri
apalagi terperosok dalam praktik mafia seleksi. Fakta bahwa DKPP
memberikan sanksi pemecatan tetap kepada sejumlah anggota KPU propinsi dan
kabupaten/kota mengindikasikan bobroknya kualitas seluruh atau sebagian
personel penyelenggara pemilu. Sebut saja KPU Provinsi Sulawesi Tenggara,
KPU Provinsi Gorontalo, KPU Kabupaten Dogiyai, Papua, KPU Kabupaten
Tulang Bawang, Lampung, KPU Kota Depok, KPU Timor Tengah Utara, NTT, KIP
Kabupaten Aceh Tenggara, KPU DKI Jakarta, dan KPU Kabupaten Pati, Jawa
Tengah.
Begitu juga
Panwaslu DKI Jakarta dan Panwaslu Kabupaten Halmahera Tengah, NTT. Ini
menjadi sorotan serius bagi Sumatera Utara. Titik berat netralitas
berkorelasi dengan kematangan kecerdasan personel penyelenggara pemilu.
Tim seleksi harus memahami sistem dan mekanisme seleksi serta harus
dipastikan bahwa tiaptiap rangkaian seleksi dilaksanakan secara beradab,
maksimal, terbuka, dan penuh tanggung jawab. Naif sekali ketika anggapan
umum mengatakan, tim seleksilah yang “berkuasa” melalui plenonya
menetapkan 10 nama anggota KPU di daerah.
Pandangan
menyesatkan ini harus ditepis untuk membenarkan bahwa sistem seleksi
berlangsung dengan benar dan taat asas untuk melahirkan sosok-
berkualitas penyelenggara pemilu. Resiprokalitas kepentingan para
kandidat dan tim seleksi atau pihakpihak yang mengintervensi akan
terjadi, jika ruang kebodohan akibat ketidakmandirian tim seleksi
benar-benar terjadi. Penyelenggara pemilu yang berintegritas sangat
menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu dan berimplikasi bagi
konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tim seleksi dan beradabnya mekanisme
seleksi sangat menentukan kredibilitas hasil seleksi.
Mengadopsi Rekrutmen Polri
Dengan
prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis (BETAH), penerimaan
anggota Polri berjalan sangat indah. Pengalaman saya, empat tahun menjadi
pengawas eksternal penerimaan anggota Polri di lingkungan panitia daerah
Polda Sumut memberikan kesan tersendiri.
Bagi saya,
model rekrutmen anggota Polri ini sangat layak diadopsi dalam seleksi
penyelenggara pemilu, khususnya di level daerah. Keterbukaan, keberanian,
ketegasan, dan menjunjung tinggi kesiapan, kematangan dan keuletan personel
kandidat menjadi ukuran penentu keberhasilannya. Hal menentukan seseorang
berhasil dalam kompetisi, mutlak dari kandidat sendiri. Tahapan seleksi
dari pemeriksaan administrasi, kesehatan, akademik, dan psikologi
dilaksanakan secara terbuka.
Prinsip one day service benar-benar direalisasikan
dengan penuh tanggung jawab. Keikutsertaan pengawas eksternal memperkuat
kredibilitas seleksi karena selain akses yang terbuka mengikuti dan
mengawasi seluruh tahapan, keberatan dan sanggahan pengawas eksternal
diakomodasi sebagai bagian penting dari rangkaian proses seleksi. Tidak
hanya itu, perwakilan kandidat juga diikutsertakan mengawal dan mengawasi
jalannya proses seleksi. Penetapan skala nilai tertentu (passing grade) kelulusan di tiap
tahapan diumumkan terbuka serta para kandidat dan keluarganya
diikutsertakan saat pengumuman di tiap tahapan.
Bagi saya,
proses seleksi dengan prinsip BETAH di lingkungan Polri mengajarkan kita
jujur, bertanggung jawab, mandiri, serta berani mengambil keputusan. Hal
ini patut diapresiasi dan selanjutnya mampu menginspirasi kita bahwa
proses dan mekanisme seleksi yang berwibawa, serta bermartabat
berimplikasi pada kemandirian dan integritas para kandidat terpilih.
Hemat saya, proses seleksi anggota KPU provinsi, KPU kabupaten/kota,
Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/ kota sangat patut mengadopsi
pola rekrutmen anggota Polri.
Setidaknya
dalam semangat yang sama dengan sungguh hati menyadari bahwa rekrutmen
berkualitas dan beradab merupakan langkah awal dalam melahirkan sosok
berkualitas para penyelenggara pemilu. Semoga pleno tim seleksi tidaklah
menjadi pemutus segalanya yang bisa melanggengkan jahatnya “tawar-menawar” serta ajang
konspirasi memenangkan yang kalah dan mengalahkan yang menang.
Kita butuh
orang-orang tangguh yang tidak hanya bisa menyelenggarakan Pemilu 2014
dan pilkada dengan sukses, tetapi mampu menjaga netralitas, integritas,
kredibilitas, dan taat asas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar