Kedaulatan sering hanya dipahami sebagai
kedaulatan wilayah, bukan pengelolaan kandungan yang ada dalam wilayah
itu. Maka RI yang hampir 68 tahun, banyak kekayaan alam masih dikelola
asing dengan bagian untuk bangsa Indonesia sangat minim. Itulah yang
terjadi dalam kasus pengelolaan Blok Mahakam, Kaltim, salah satu blok gas
terbesar kita.
Total (Prancis) dan Inpex (Jepang) mengelolanya 50
tahun. Kontrak pertama diteken pada 31 Maret 1967, tak lama setelah
Soeharto dilantik menjadi presiden. Kemudian, diperpanjang 31 Maret 1997,
setahun sebelum Soeharto jatuh. Kontrak akan selesai pada 31 Maret 2017.
Dengan kandungan 12,5 TCF (trillion cubic feet) sekarang atau sekitar 10,1 TCF pada 2017
jelas saja blok ini menggiurkan. Pendapatan kotor, dengan asumsi
kandungan gas 10,1 TCF ditambah minyak 192 juta barel, akan mencapai Rp
1.300 triliun (Indonesian Resources Studies, IRESS). Hitungan agak
pesimistis dari Dirut Pertamina menghasilkan keuntungan Rp 171 triliun (Manufacturing Hope, Jawa
Pos, 1 April
2013). Hitungan lebih pesimistis menghasilkan pendapatan Rp 32 triliun
(asumsi cadangan tinggal 1 (satu) TCF).
Asing ingin terus mengangkanginya. PM Prancis Francois
Fillon telah meminta perpanjangan kontrak saat ke Jakarta, Juli 2011.
Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq juga memintanya
kepada Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Adapun CEO Inpex Toshiaki
Kitamura melobi saat bertemu SBY-Boediono pada 14 September 2012.
Menteri BUMN Dahlan Iskan (DI) dan Dirut Pertamina
Karen Agustiawan termasuk yang getol agar Blok Mahakam dikelola
Pertamina. Termasuk pula almarhum Prof Widjajono Partowidagdo, semasa
Wamen ESDM. Ini adalah usaha-usaha untuk merebut kedaulatan energi.
Pertamina telah membangun kemampuan teknis lepas pantai, antara lain, di
Offshore Northwest Java, West Madura Offshore, serta di Blok Karama,
Selat Makassar, Sulawesi Barat. Aset yang dimiliki mencapai Rp 3.000
triliun.
Namun, ada politisi DPR dan birokrat yang menentang
tekad langkah kedaulatan energi itu. Alasan mereka sebenarnya bisa
dipatahkan.
Pertama, alasan ketidakmampuan kita. Secara teknologi,
SDM, modal finansial, dan pemasaran/networking kita dinilai
tidak akan mampu mengelola blok ini. Nazarudin Kiemas, anggota DPR dari
PDIP dapil Sumatera Selatan, dan Jero Wacik (Menteri ESDM) berada di
kelompok pesimistis ini. Mereka lupa bahwa insinyur kita bekerja di
berbagai negara dan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia untuk
melakukan tugas eksplorasi dan penambangan gas ini. Kita jelas mampu,
Pertamina menyatakan siap. Tidak perlu logika rumit untuk mengiyakan hal
ini.
Kedua, alasan kandungan gas yang tinggal 2 (dua) TCF,
maka akan rugi mengambil blok ini. Selain didalihkan Nazarudin Kiemas,
juga Rudi Rubiandini (mantan Wamen ESDM dan kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi/SKK Migas), M. Lobo
Balia (staf ahli Menteri ESDM Bidang Tata Ruang dan LH). Kalau benar
kandungannya hanya 2 TCF atau setara potensi pendapatan Rp 64 triliun,
bukankah itu masih jumlah yang besar? Bukankah Prancis dan Jepang masih
getol memperpanjang kontrak hanya dengan sisa cadangan gas 2 TCF?
Termasuk pendukung alasan ini adalah Wamen ESDM Susilo
Siswoutomo. Dia mengaku khawatir jika Pertamina yang mengelola, lifting migas
terancam. Jero Wacik setali tiga uang. Dia mengatakan Pertamina bisa
bangkrut. Lagi-lagi alasan pesimistis yang tidak masuk akal.
Kita rakyat luas harus "ribut" menyuarakan
pentingnya Blok Mahakam ini untuk kita kelola, mendesak pemerintah
memihak kepentingan rakyat. Kita berharap pemimpin negeri ini bernyali
seperti mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez. Dia nasionalisasi
perusahaan minyak asing atau mengubah kontrak yang menguntungkan bangsa.
Rakyat pun menikmati kekayaan alam dan berdiri penuh harga diri di depan
penguasa dunia, Amerika Serikat, sekalipun.
Silakan catat orang-orang politik yang bersuara miring
untuk diberi hukuman politis sewaktu pemilu nanti. Jangan pilih lagi
orang-orang yang minder dan, bahkan, mengkhianati konstitusi. Kalau tidak
dimulai sekarang, kita tidak akan pernah bisa. Jangan sampai kasus Blok
Cepu terulang dengan pengelolaan sumber alam oleh pihak asing, sementara
kita sendiri mampu.
Tahun 2014 adalah tahun strategis untuk pengambilan
keputusan ini. Sebelum kabinet SBY II berakhir, akan banyak orang yang
duduk di pemerintahan atau kementerian menggunakan kesempatan (dalam
kesempitan) di Blok Mahakam ini. Baik demi keuntungan pribadi maupun
modal pemilu, yang mengabaikan masa depan anak-anak kita.
Bung Karno pernah berkeberatan perusahaan asing
menambang minyak kita. Beliau menunggu para insinyur kita mampu. Kini
setelah anak bangsa mumpuni, kesempatan itu harus direbut. Seperti halnya
Belanda tidak pernah bilang Indonesia siap merdeka, kecuali kita merebut.
Kita tunggu roh keberanian Chavez hadir di sini, di dalam jiwa pemimpin
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar