Kesadaran publik hari-hari ini
diguncang dua rangkaian peristiwa memprihatinkan. Pertama, penyerangan
Mapolres Ogan Komering Ulu oleh oknum TNI AD, diikuti penyerangan Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh kelompok misterius.
Kedua, melonjaknya harga bawang, diikuti melambungnya harga cabai, yang
diduga ulah sindikat kartel.
Meski terpisah, dua rangkaian
peristiwa ini memiliki esensi dan makna serupa. Aneka
kekerasan—penyerangan, pembunuhan, pembakaran, peledakan—menunjukkan
adanya kekuatan politik tak tampak (invisible
power) di republik ini yang beroperasi secara rahasia dan tak
tersentuh kekuatan negara. Sementara hiruk-pikuk fluktuasi harga
kebutuhan pokok yang tak terkendali menunjukkan adanya kekuatan ekonomi
tak tampak—kartel, mafia, spekulan—yang bagai invisible hand
mengendalikan roda ekonomi.
Dua kekuatan tak tampak itu
menunjukkan, republik ini tengah mengalami degradasi sifat-sifat res publica karena ketakberdayaan
publik dan negara sekaligus.
Aneka peristiwa kekerasan,
penyerangan, dan pembakaran yang mengguncang ruang publik akhir-akhir ini
menimbulkan aneka luka, kesakitan, keperihan, dan keprihatinan. Aneka
kekerasan dilandasi motif pelepasan dendam (ressentiment) yang dibangun tiga elemen, yakni kekerasan
menghasilkan guncangan psikis untuk menghilangkan luka (kemarahan,
dorongan mencari keadilan); ia mencari ”tertuduh” yang dianggap
bertanggung jawab terhadap luka itu; dan ia perlu ruang untuk balas
dendam sebagai cara menebus luka. Di sini, kekerasan dilihat sebagai
jalan mendapatkan ”keadilan” (Brown,
1995).
Balas dendam adalah reaksi
terhadap aneka tindakan kekerasan diakronik-historis yang dilakukan di
masa kini sebagai penebusan (redemption)
dengan cara mencari-cari kesalahan di masa kini. Kehendak melukai
(menyerang, membunuh, membakar) tak hanya praktik balas dendam
psikologis, tetapi juga balas dendam politik, praktik memulihkan harga
diri, otoritas, kebesaran, dan kekuasaan. Luka masa lalu tak dapat
ditebus, kecuali melalui luka itu sendiri dengan menegasi hukum—the political redemption.
Kekerasan dapat berupa kekerasan
simbolik (symbolic violence)—ucapan,
cacian, penghinaan—yang dibalas kekerasan fisik (kasus Ogan Komering
Ulu); kekerasan fisik dibalas kekerasan fisik (dugaan: kasus Cebongan),
atau kekerasan struktural (structural
violence)—ketakadilan, kesenjangan, marjinalisasi—dibalas kekerasan
fisik (kasus Timika).
Penggunaan kekerasan sebagai
jalan ”keadilan” menciptakan relasi antagonisme tak berujung berupa
lingkaran setan kekerasan-keadilan: kekerasan demi ”keadilan” akan
dibalas kekerasan demi ”keadilan” berikutnya. Mengatasi kekerasan ala
”prosedur standar” militer—menangkap pelaku, mengadili, normalisasi
keamanan—tak akan menyelesaikan masalah. Hal ini karena esensi kekerasan
bukan pada peristiwa kekerasan itu sendiri, tetapi ”latar” (grounds) yang membuka ruang bagi
kekerasan: kesenjangan, ketakadilan, kecemburuan sosial, ketakberdayaan
(Zizek, 2008).
Semua latar itu memberi fondasi
”etika kekerasan” bagi para pelaku, yaitu pembenaran etis kekerasan
sebagai kekerasan mulia (good
violence) untuk membalas kekerasan iblis (bad violence) yang dilakukan musuh. Di sini, penghancuran
dilihat sebagai cara penyelesaian akhir (definitive) etis-sosial-politis. Padahal, penyelesaian macam
ini menyisakan relasi politis kawan/musuh, menang/kalah tak berujung,
sebagai fondasi kekerasan berikutnya (Badiou, 2005). Ketika kekerasan
menjadi cara penyelesaian akhir aneka konflik horizontal dan vertikal,
artinya negara tak pernah hadir—atau setidak-tidaknya tak punya
kekuatan—untuk menyelesaikannya. Masyarakat menyelesaikan masalah mereka
sendiri melalui paradigma kekerasan sebagai bentuk reproduksi sosial.
Kekerasan memproduksi kekerasan berikutnya—the social reproduction of violence.
Republik Gelap
Merebaknya aksi kekerasan dan
balas dendam di republik ini mengangkat pertanyaan fundamental tentang
esensi republik itu sendiri. Res
publica mengisyaratkan kondisi, segala urusan negara-bangsa harus
tampak di mata publik, yaitu segala gerak-gerik elemen-elemen pemilik
kekuasaan terang-benderang di ruang publik.
Res publica adalah potret
politik, kebebasan dan pengakuan individu dicapai melalui partisipasi
terbuka di ruang publik. Di dalamnya, individu atau kelompok berbeda
hidup di sebuah dunia bersama untuk merangkai kebaikan bersama dan
keutamaan publik. Dalam perbedaan, mereka ingin mencapai tujuan bersama
dengan mencari sintesis atas berbagai perbedaan melalui dialog atau
pertarungan gagasan di ruang publik (Honohan,
2002).
Meskipun kebebasan, tindakan
bebas, persaingan, perbedaan pendapat, serta perbedaan keyakinan dan
ideologi diberi tempat di dalamnya, res publica mensyaratkan semua
dilakukan melalui cara non-kekerasan seperti dialog, komunikasi terbuka,
pertarungan gagasan, persaingan hegemoni, kontestasi, persuasi, debat
dilandasi toleransi, dan tanggung jawab. Kepentingan setiap warga
dijamin, dan konflik kepentingan diselesaikan melalui mekanisme hukum
publik (public law).
Aneka kekerasan yang tak
berujung di republik ini, di satu pihak, menunjukkan tak bekerjanya
prinsip dialog, komunikasi terbuka, keutamaan, kebaikan bersama, dan
toleransi; di pihak lain, tak berdayanya hukum publik. Tak saja hukum
publik dan lembaga pemerintah yang diinjak-injak oleh aneka kekerasan
itu, tetapi juga keseluruhan pilar arsitektur republik itu sendiri
sebagai Rechsstaat. Tak berdayanya negara dan tak bekerjanya hukum publik
sama artinya dengan tak bekerjanya res publica dan Rechsstaat.
Pilar-pilar arsitektur republik tak lagi berfungsi ketika ia dikuasai
aneka kekuasaan tak tampak, yaitu kekuasaan-kekuasaan rahasia (secret power) yang menguasai
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, secara politik,
ekonomi, bahkan budaya: mafia, kartel, konspirasi, komplotan,
persekongkolan, coups d’etats, yang semuanya anti-republik. Artinya,
urusan publik tak lagi terang-benderang di mata publik, res publica
menjadi urusan kekuatan-kekuatan gelap di sebuah republik gelap (Bobbio, 1987).
Di dalam republik gelap,
kekuatan gelap politik yang anti-demokrasi—komplotan, geng, preman,
milisi, teroris—telah menebar rangkaian teror, kekerasan, dan
penghancuran di mana-mana tanpa dapat dikendalikan negara; kekuatan gelap
ekonomi—kartel, mafia, spekulan—telah menebarkan teror sosial yang tak
kalah menakutkan di pasar-pasar gelap ekonomi berupa lonjakan harga yang
melangit dan kelangkaan tanpa dapat diatasi negara.
Negara kuat (strong state) menjadikan rakyat
lemah. Rakyat kuat menjadikan negara lemah (weak state). Namun, kekuatan gelap (politik, ekonomi) yang
kuat menjadikan negara dan rakyat kedua-duanya lemah. Ketika rakyat dan
negara lemah, tak ada lagi res
publica. Sebab, ia mensyaratkan rakyat kuat, yang kekuasaannya
didelegasikan kepada negara yang kuat. Res publica kini dikendalikan potentia invisibilis, yaitu aneka kekuatan politik, ekonomi,
dan budaya tak-tampak yang tak tersentuh negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar