Di
atas panggung di sebuah gedung opera cerita rakyat di Beijing, seorang
pria tampak sibuk bersolek. Rekan saya dari Universitas Renmin berbisik, “Dia itu badutnya, bukan guru yang
menjadi inti cerita.”
Namanya
Habei. Wajahnya murung. Tapi begitu kamera mengarah kepadanya, ia
terlihat riang dan mulai melucu. Rekan saya yang lain, profesor dari
Universitas Dublin yang keturunan Irlandia berujar serius: “Impresif!” Tapi anehnya ia sama
sekali tidak tertawa. “Padahal
batin Habei penuh luka,” bisik rekan saya lagi. Menurut plot cerita,
Habei datang ke kota dengan impian menjadi orang terpandang.
Di sana, ia
diterima di sebuah sekolah guru. Meski bukan angan-angannya, Habei tak
pula banting setir. Tak cukup nyalinya untuk bertarung mengejar ilmu yang
lebih menantang. Karena terikat kontrak, begitu lulus, Habei kena wajib
mengajar. Namun ia tak senang dengan upah rendah sebagai abdi negara.
Setelah itu ia diterima mengajar di sebuah sekolah internasional. Tapi
karena tak sepenuh hati, Habei diberhentikan. Kinerja mengajarnya buruk.
Maka jadilah Habei pemain opera. Ia diterima menjadi badut karena itulah
satu-satunya pilihan yang tersedia.
Lagipula
kata-katanya sinis, sulit dijadikan manajer. Tapi siang hari ia bisa
menyambi menjadi makelar atau konsultan paruh waktu untuk lembaga-lembaga
donor. Kata rekan saya, Habei ini hanya berani melucu kalau wajah aslinya
ditutupi bedak. Di dunia riilnya, Habei adalah pendiam dan penakut.
Setiap malam ia kebagian peran pembuka selama lima menit. Bersolek
menghias muka dengan pupur dan bedak aneka warna. Berceloteh sejenak tentang
pendidikan, lalu menghilang. Lalu muncullah cerita yang ditunggu-tunggu
tentang guru, mirip Laskar Pelangi.
Namun karena
ceritanya menarik, nama Habei ikut terangkat. Ia juga suka memberi
komentar di media jejaring sosial China: weibo. Bahasanya khas: sinis, negatif, dan terkesan ada luka
besar dalam jiwa yang berasal dari kisah hidupnya yang tak sesuai dengan
impiannya. Dalam literatur pendidikan, diketahui orang-orang yang sinis
memiliki otak bagian depan mengerucut yang sebenarnya mencerminkan ketidakcerdasannya
menafsirkan konteks.
Jaringan atau Kemitraan
Habei tidak
hadir seperti badut dalam opera I Pagliacci yang pernah populer di Italia
di awal abad ke-20. Ia hanya hadir sesaat untuk memberi warna seadanya.
Adapun dalam I Pagliacci yang digemari di Barat, badut tampil dengan
peran yang dominan yang justru menjadi inti opera. Perbandingan itu
menjadi asyik karena menjadi bahan diskusi sejumlah guru besar yang
datang atas undangan Renmin
University yang dikenal sangat berpengaruh di China dan menjadi motor
pembaru ekonomi China dalam 20 tahun belakangan ini.
Renmin sejak
awal aktif bersama MMUI dan Yale
School of Management mengembangkan jejaring perubahan untuk
memperbarui kurikulum pendidikan calon pemimpin. Di dalam jaringan ini
juga terdapat Seoul National
University, NUS–Singapore,
INSEAD, London School of Economics, Hitotsubashi University (Jepang),
IE Madrid, dan 15 kampus lain.
Berbeda dengan metode kemitraan yang sudah berlangsung bertahun-tahun,
kami lebih percaya pada bentuk jaringan.
Maka,
kelompok ini menamakan dirinya GNAM: Global
Network for Advanced Management. Karena berbentuk jaringan, aturannya
dibuat bersama-sama, tidak ada aktor yang dominan meski negaranya lebih
maju dan kampusnya memiliki reputasi dunia yang jauh lebih tinggi. Begitu
diterima di MMUI misalnya, setahun kemudian mahasiswa kami berhak kuliah
bareng para eksekutif global di Yale yang kalau ikut proses seleksi
sendiri bukan main sulit dan mahalnya. Melalui jejaring itu pula
mahasiswa Yale berduyun-duyun datang ke Jakarta mendengarkan kuliah di
MMUI.
Kami
mengembangkan immersion week
yang kuliahnya bergilir di beberapa negara. Metode belajar memang telah
jauh berubah yang menuntut anak-anak Indonesia lebih bersikap terbuka,
lebih elaboratif dan asertif, bahkan lebih percaya diri. Sejak awal kami
sepakat bahwa model jaringan lebih baik daripada kemitraan asalkan semua
pemimpin yang datang berpikir terbuka, aktif berpartisipasi dan
berkontribusi, saling timbal balik, segala urusan dibuat simpel dan
kurangi birokrasi.
Jaringan ini
dengan cepat menjadi contoh dalam model pengembangan sarjana yang
berwawasan global meski ia hanya datang dari negeri yang tak
diperhitungkan. Namun semakin digali, ada rasa waswas melihat bagaimana
pendidikan dasar berlangsung di sini. Pendidikan dasar itu adalah fondasi
yang menentukan lahirnya lulusan-lulusan terbaik universitas. Mereka
adalah calon pemimpin yang kelak menjadi harapan bangsa. Di seluruh
dunia, bangsa-bangsa besar sudah tuntas memperbarui diri, sementara kita
masih ribut tiada henti.
Mereka semua
berani bereksperimen, mengalami kegagalan, lalu meremajakan diri dengan
cepat. Sementara di sini, bisingnya minta ampun. Semua orang menginginkan
kesempurnaan dalam sekejap, tetapi begitu ada yang berani melakukan hal
yang baru langsung dipertanyakan. Para pembaru pendidikan itu telah
berupaya keras melahirkan sarjana-sarjana unggul yang siap ditempatkan di
mana saja. Ketika sebuah ide muncul, mereka berebut menjadi role model
dengan membuat contoh, sedangkan di sini semua orang berebut membuat
organisasi untuk menyuarakan opini dan mencari proyek.
Perubahan
sulit sekali digulirkan karena miskin role model dan lebih banyak “badut”
yang berebut panggung ketimbang guru yang benar-benar menjalankan apa
yang ia ucapkan. Namun benarkah sebuah transformasi bisa berlangsung
mulus tanpa ujian? Semua sahabat saya yang berkumpul dalam dean’s conference mengenai
jaringan ini di Beijing hari Senin–Rabu kemarin membantahnya. “Banyak kegagalan yang kami buat di
tahap awal bahkan menjadi olok-olok di panggung opera,” kata seorang
dekan.
Yang lain
mengatakan, “Kegagalan itu bisa
menjadi pelajaran, tetapi yang mengambil pelajaran keliru karena tak mau
melewati fase itu.” Mereka semua sepakat, masa-masa sulit harus rela
dilewati, bukan hanya dijadikan wacana atau ancaman. “Bahkan sebagus apa pun sebuah model, ia berpotensi gagal. Bukan
karena modelnya jelek,” ujar dekan lainnya. Seorang eksekutif senior
yang terlibat dalam proses pembaruan menambahkan, “Sebagus apa pun sebuah pembaruan, kalau semua orang hanya mampu
melihat dunia baru dengan ka-camata lama, yang muncul hanyalah keluhan
dan kutukan.”
Badut dan Punakawan
Di TVRI, hari
Selasa kemarin, dalang Sujiwo Tejo mengutarakan kegusarannya melihat
ruwetnya masyarakat ber-polemik. Ia mengambil seperangkat wayang yang
terdiri atas para punakawan dan memainkan keempat karakter mereka. Ya
seperti itulah masyarakat kita. Ada yang “membagongkan” diri (artinya
gemar membantah asal ingin memberontak), “berpetruk” (yang meninggalkan, easy going) atau sedang
“bergareng” (yang ingin berbeda, mempertanyakan). Ada yang asal omong,
asal usul, bahkan asal jepret.
“Yang hilang itu sosok Semar. Semar itu
berasal dari kata ‘samara’ yang artinya ‘gaib’. Dialah sang moderator
dari para punakawan itu,” ujarnya. Mendiang Gus Dur, yang sesulit apa
pun selalu berani menghadapi ketiga karakter tadi, menurut Sujiwo adalah
sosok Semar yang kini hilang. Maka jangan heran, ada banyak perubahan
mendasar yang terjadi di eranya meski gonjang-ganjingnya banyak, ujungnya
pembaruan. Lucunya, rekan-rekan saya dari universitas di Barat juga
percaya bahwa dalam perubahan selalu saja ada sosok punakawan atau bahkan
badut yang berpura-pura menjadi pembaru.
Di Barat,
pembaruan diyakini hanya akan terjadi kalau hadir pemimpin dengan
determinasi yang kuat. Bahkan sekuat Margareth Thatcher pun tak ada
masalah. Tapi di Timur, banyak orang yang sulit menerima karakter yang
keras. Namun sekuat apa pun kepemimpinan seorang pembuat perubahan,
selalu ada yang memerankan badut dalam perubahan. Ia bisa menghibur, tapi
juga bisa asal tampil. Bisa lucu atau beranggapan dirinya lucu.
Yang jelas ia
bukan pemeran utama. Badut yang pintar punya fondasi ilmu yang kuat,
sedangkan badut yang bodoh hanya menjadi alat bagi dalang untuk
menghibur. Ia hanya tampil kalau dalangnya mengirim tanda. Kalau
dalangnya Semar ia bisa ngawur-ngawuran tapi bermain cantik, lucu, dan
muaranya adalah pembaruan. Artinya, nilai tambah bagi sebuah tontonan
perubahan. Tapi kalau dalangnya Bagong atau Gareng dan seseorang berperan
badut, itu namanya supply
ketemu demand.
Persis
seperti Habei yang membutuhkan pekerjaan sambil menyuarakan sinisme
kehidupan yang dialami melalui kegelisahan yang ia anggap lucu. Ia hanya
merasa dirinya lucu. Ia merasa telah menjadi guru yang diperankan orang
lain dan “hanya merasa” sebagai pembaru. Padahal ia hanya “badut” betulan
saja, yang “terluka” dan masih perlu membuka pikirannya, memperbarui
dirinya sebelum menolong bangsanya. Semua orang punya pilihan: menjadi
badut atau pembaru.
Mendiang
Margareth Thatcher yang kemarin dimakamkan mungkin tak akan dikenang
sebagai pemimpin besar kalau penulis naskah pidatonya lupa menyelipkan quotes dari Abraham Lincoln
berikut ini dalam sambutan perdananya di tahun 1975: “You cannot strengthen the weak by weakening the strong.”
Sejak membaca quotes itu
Thatcher berujar, “It goes wherever
I go.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar