Jumat, 19 April 2013

Terorisme (di) Amerika Serikat


Terorisme (di) Amerika Serikat
Hasibullah Satrawi  ;  Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
MEDIA INDONESIA, 18 April 2013


Aksi terorisme kembali mengguncang Amerika Serikat (AS). Walaupun tidak sebesar tragedi terorisme 2001 atau biasa dikenal dengan tragedi 11/9, aksi terorisme di Boston pada Senin (15/4) tetap mengejutkan masyarakat dunia, terlebih lagi masyarakat AS. Tidak semata-mata karena ledakan tersebut menyebabkan tiga korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka, lebih dari itu karena ledakan tersebut berhasil membobol keamanan AS yang selama ini dikenal sangat ketat terhadap hal-hal berbau teroris.

Sejauh ini aparat berwewenang AS belum memberikan penjelasan khusus terkait dengan pelaku aksi peledakan yang terjadi pada momen lomba lari maraton itu. Hal terjauh yang sudah disampaikan ialah serangan tersebut terkait dengan aksi teror. Pelbagai macam tempat strategis di AS bahkan langsung mendapatkan pengamanan berlapis sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya serangan lanjutan.

Siapa Pelakunya?

Siapa pelaku ledakan di Boston? Pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab. Dikatakan demikian karena AS selama ini mempunyai banyak musuh sebagai akibat dari kebijakan politik luar negeri mereka yang kerap mengundang permusuhan.

Sebagaimana dimaklumi, dalam beberapa waktu terakhir, AS banyak terlibat dalam sejumlah ketegangan di luar negeri, mulai krisis dua Korea hingga krisis politik di Timur Tengah seperti di Suriah, Iran, dan Hezbollah.

Dalam konteks seperti itu, semua pihak yang dimusuhi AS selama ini tentu dapat `dibaca' se bagai pihak yang mungkin terkait dengan aksi terorisme terakhir di Boston (setidaknya menurut perspektif AS). Apalagi krisis politik yang terjadi di negara-negara tadi hampir mencapai puncak terpanas.
Di luar yang telah disampaikan, ada pihak lain yang sangat mungkin dibaca juga sebagai pihak yang terkait dengan aksi terorisme terakhir di Boston, yaitu para loyalis Al-Qaeda yang sekarang dipimpin Ayman az-Zawahiri.

Hampir dipastikan, Al-Qaeda tidak akan pernah membiarkan negara adidaya itu tenang. Selain karena dianggap kerap memusuhi negaranegara berpenduduk muslim, AS berhasil menangkap dan menembak mati pemimpin utama mereka, Osama bin Laden, pada awal Mei 2011. Dalam pandangan Al-Qaeda, pembunuhan Osama membuat AS semakin banyak berlumuran dosa besar.

Perang Gagal

Terlepas siapa pun nantinya yang terlibat, penyerangan terakhir di AS menunjukkan gagalnya misi perang melawan terorisme global yang dipimpin negara adidaya itu. Sebagaimana dimaklumi bersama, sesaat setelah tragedi 11 September pada 2001, Bush sebagai orang nomor satu di AS saat itu menuduh rezim Taliban di Afghanistan dan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Osama bin Laden sebagai pihak yang rtanggung ja bertanggung jawab. Kelompok Al-Qaeda pok Al-Qaeda juga mengaku sebagai pihak yang melaku yang melakukan penyerangan itu walaupun banyak pihak masih meragukan kebenaran klaim mereka.

Sejak saat itu AS memprakarsai perang global untuk menumpas kelompok teroris, khususnya kelompok Al-Qaeda dan Taliban, yang saat itu berbasis di Afghanistan. Pelbagai macam serangan pun dilakukan yang bahkan membuat Afghanistan porak-poranda sampai sekarang. Alih-alih berhasil, kelompok teroris justru menyebar ke mana-mana, termasuk ke Indonesia yang telah berulang kali menjadi saksi bisu kejahatan aksi terorisme.

Apa yang terjadi di Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir bisa dijadikan salah satu contoh dari yang telah disampaikan. Yakni, kelompok-kelompok ekstremis berhasil bersemi dan menjadi salah satu kekuatan politik di negara-negara Arab yang sempat dilanda angin revolusi, seperti kelompok ekstremis di Mesir yang sempat beraksi di perbatasan negara itu dengan Israel. Begitu juga dengan kelompok teroris yang ada di Irak yang kerap menjadi dalang dari pelbagai macam bom mobil di `Negeri 1.001 Malam'.
Kelompok Al-Qaeda saat ini bahkan berhasil menyusup ke Suriah dan bergabung dengan kelompok revolusi untuk menghadapi rezim Bashar al-Assad sekaligus AS.

Apa yang terjadi di Libia tentu harus diberikan catatan secara khusus, sebab kelompok teroris dan ekstremis di negara yang sempat dibombardir AS dan koalisi negara-negara NATO itu berhasil menembak mati duta besar AS, yaitu J Christopher Stevens (11/9/2012). Secara diplomatis, terbunuhnya seorang duta besar tak dapat diremehkan. Duta besar di wilayah tugasnya tak lain ialah wakil kepala pemerintahannya. Itulah kurang lebih yang membuat Hillary Clinton sebagai menteri luar negeri AS saat itu tidak berkenan menduduki kursi jabatan serupa pada masa pemerintahan Obama sekarang.

Terorisme AS

Pertanyaan selanjutnya, mengapa perang yang dipimpin AS gagal membersihkan dunia dari terorisme? Jawabannya tentu bukan karena pasukan ataupun senjata yang digunakan kurang canggih, melainkan karena perang dan senjata tidak mampu memusnahkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya terorisme.

Bila ditinjau dari pelbagai aspek, terorisme merupakan sebuah kejahatan besar yang disebabkan banyak yang disebabkan banyak faktor, mulai faktor keluarga hingga keyakinan, mulai faktor kemiskinan secara nasional hingga ketidakadilan global secara politik. Oleh karenanya, penyelesaian terorisme membutuhkan peran banyak pihak, dari kepala keluarga hingga kepala negara atau bahkan negara-negara adidaya seperti AS.

Secanggih apa pun senjata yang diguna kan AS dan sekutu mereka tidak akan mampu membunuh sebuah keyakinan atau menyelesaikan persoalan kemiskinan ataupun ketidakadilan global. Perang dan senjata justru kerap semakin menambah parah masalahmasalah tersebut.

Oleh karenanya, tak mengherankan bila kebencian terhadap AS hampir tidak pernah berkurang walaupun pasukan mereka berhasil menahan dan menembak mati sejumlah tokoh terorisme. Satu tokoh terorisme yang ditahan atau ditembak mati oleh AS justru melahirkan kebencian di ribuan orang yang lain. Apalagi AS selama ini hampir tidak melakukan koreksi yang fundamental terkait dengan politik luar negeri mereka yang kerap berwajah ganda dan sarat dengan ketidakadilan (khususnya dalam persoalan Israel dan Palestina).

Benar bahwa Obama yang cukup dekat dengan dunia Islam (setidaknya bangsa Indonesia) telah melakukan perubahan-perubahan terkait dengan kebijakan politik luar negeri AS. Namun, sejumlah perubahan yang dilakukan Obama tampak masih belum mampu menghilangkan aura kebencian dan ketidakadilan yang sudah berurat-urat di muka politik luar negeri AS.

Oleh karenanya, Obama harus memanfaatkan sisa pemerintahannya untuk mengembalikan perang melawan terorisme pada khitahnya, yaitu dengan menyelesaikan pelbagai sebab yang melahirkan terorisme, hingga pemberantasan terorisme yang dilakukan tidak justru terjebak dalam perbuatan teror serupa dan melahirkan teroris-teroris baru.

Sebagai presiden yang mempunyai hubungan dekat dengan dunia Islam (setidaknya diharapkan demikian), Obama mempunyai potensi yang sangat besar untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan mengembalikan hubungan AS dan dunia Islam pada titik harmoni dan saling menghormati hingga kultur kebencian dan saling curiga tidak terus berkembang kemudian menjebak keduanya dalam jurang kehancuran dan penuh kekerasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar