Aksi terorisme kembali
mengguncang Amerika Serikat (AS). Walaupun tidak sebesar tragedi
terorisme 2001 atau biasa dikenal dengan tragedi 11/9, aksi terorisme di
Boston pada Senin (15/4) tetap mengejutkan masyarakat dunia, terlebih
lagi masyarakat AS. Tidak semata-mata karena ledakan tersebut menyebabkan
tiga korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka, lebih dari itu karena
ledakan tersebut berhasil membobol keamanan AS yang selama ini dikenal
sangat ketat terhadap hal-hal berbau teroris.
Sejauh ini aparat berwewenang AS belum
memberikan penjelasan khusus terkait dengan pelaku aksi peledakan yang
terjadi pada momen lomba lari maraton itu. Hal terjauh yang sudah
disampaikan ialah serangan tersebut terkait dengan aksi teror. Pelbagai
macam tempat strategis di AS bahkan langsung mendapatkan pengamanan
berlapis sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya serangan
lanjutan.
Siapa
Pelakunya?
Siapa pelaku ledakan di Boston?
Pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab. Dikatakan demikian karena AS
selama ini mempunyai banyak musuh sebagai akibat dari kebijakan politik luar
negeri mereka yang kerap mengundang permusuhan.
Sebagaimana dimaklumi, dalam beberapa
waktu terakhir, AS banyak terlibat dalam sejumlah ketegangan di luar
negeri, mulai krisis dua Korea hingga krisis politik di Timur Tengah
seperti di Suriah, Iran, dan Hezbollah.
Dalam konteks seperti itu, semua pihak
yang dimusuhi AS selama ini tentu dapat `dibaca' se bagai pihak yang
mungkin terkait dengan aksi terorisme terakhir di Boston (setidaknya
menurut perspektif AS). Apalagi krisis politik yang terjadi di negara-negara
tadi hampir mencapai puncak terpanas.
Di luar yang telah disampaikan, ada pihak
lain yang sangat mungkin dibaca juga sebagai pihak yang terkait dengan
aksi terorisme terakhir di Boston, yaitu para loyalis Al-Qaeda yang
sekarang dipimpin Ayman az-Zawahiri.
Hampir dipastikan, Al-Qaeda tidak akan
pernah membiarkan negara adidaya itu tenang. Selain karena dianggap kerap
memusuhi negaranegara berpenduduk muslim, AS berhasil menangkap dan
menembak mati pemimpin utama mereka, Osama bin Laden, pada awal Mei 2011.
Dalam pandangan Al-Qaeda, pembunuhan Osama membuat AS semakin banyak
berlumuran dosa besar.
Perang
Gagal
Terlepas siapa pun nantinya yang
terlibat, penyerangan terakhir di AS menunjukkan gagalnya misi perang
melawan terorisme global yang dipimpin negara adidaya itu. Sebagaimana dimaklumi
bersama, sesaat setelah tragedi 11 September pada 2001, Bush sebagai
orang nomor satu di AS saat itu menuduh rezim Taliban di Afghanistan dan
Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Osama bin Laden sebagai pihak yang rtanggung
ja bertanggung jawab. Kelompok Al-Qaeda pok Al-Qaeda juga mengaku sebagai
pihak yang melaku yang melakukan penyerangan itu walaupun banyak pihak
masih meragukan kebenaran klaim mereka.
Sejak saat itu AS memprakarsai perang
global untuk menumpas kelompok teroris, khususnya kelompok Al-Qaeda dan
Taliban, yang saat itu berbasis di Afghanistan. Pelbagai macam serangan
pun dilakukan yang bahkan membuat Afghanistan porak-poranda sampai
sekarang. Alih-alih berhasil, kelompok teroris justru menyebar ke mana-mana,
termasuk ke Indonesia yang telah berulang kali menjadi saksi bisu
kejahatan aksi terorisme.
Apa yang terjadi di Timur Tengah dalam
beberapa waktu terakhir bisa dijadikan salah satu contoh dari yang telah
disampaikan. Yakni, kelompok-kelompok ekstremis berhasil bersemi dan
menjadi salah satu kekuatan politik di negara-negara Arab yang sempat
dilanda angin revolusi, seperti kelompok ekstremis di Mesir yang sempat
beraksi di perbatasan negara itu dengan Israel. Begitu juga dengan
kelompok teroris yang ada di Irak yang kerap menjadi dalang dari pelbagai
macam bom mobil di `Negeri 1.001 Malam'.
Kelompok Al-Qaeda saat ini bahkan berhasil menyusup ke Suriah dan
bergabung dengan kelompok revolusi untuk menghadapi rezim Bashar al-Assad
sekaligus AS.
Apa yang terjadi di Libia tentu harus
diberikan catatan secara khusus, sebab kelompok teroris dan ekstremis di
negara yang sempat dibombardir AS dan koalisi negara-negara NATO itu
berhasil menembak mati duta besar AS, yaitu J Christopher Stevens
(11/9/2012). Secara diplomatis, terbunuhnya seorang duta besar tak dapat
diremehkan. Duta besar di wilayah tugasnya tak lain ialah wakil kepala
pemerintahannya. Itulah kurang lebih yang membuat Hillary Clinton sebagai
menteri luar negeri AS saat itu tidak berkenan menduduki kursi jabatan
serupa pada masa pemerintahan Obama sekarang.
Terorisme
AS
Pertanyaan selanjutnya, mengapa perang
yang dipimpin AS gagal membersihkan dunia dari terorisme? Jawabannya
tentu bukan karena pasukan ataupun senjata yang digunakan kurang canggih,
melainkan karena perang dan senjata tidak mampu memusnahkan hal-hal yang
menjadi penyebab terjadinya terorisme.
Bila ditinjau dari pelbagai aspek,
terorisme merupakan sebuah kejahatan besar yang disebabkan banyak yang
disebabkan banyak faktor, mulai faktor keluarga hingga keyakinan, mulai
faktor kemiskinan secara nasional hingga ketidakadilan global secara politik.
Oleh karenanya, penyelesaian terorisme membutuhkan peran banyak pihak,
dari kepala keluarga hingga kepala negara atau bahkan negara-negara adidaya
seperti AS.
Secanggih apa pun senjata yang diguna kan
AS dan sekutu mereka tidak akan mampu membunuh sebuah keyakinan atau
menyelesaikan persoalan kemiskinan ataupun ketidakadilan global. Perang
dan senjata justru kerap semakin menambah parah masalahmasalah tersebut.
Oleh karenanya, tak mengherankan bila
kebencian terhadap AS hampir tidak pernah berkurang walaupun pasukan
mereka berhasil menahan dan menembak mati sejumlah tokoh terorisme. Satu
tokoh terorisme yang ditahan atau ditembak mati oleh AS justru melahirkan
kebencian di ribuan orang yang lain. Apalagi AS selama ini hampir tidak
melakukan koreksi yang fundamental terkait dengan politik luar negeri
mereka yang kerap berwajah ganda dan sarat dengan ketidakadilan
(khususnya dalam persoalan Israel dan Palestina).
Benar bahwa Obama yang cukup dekat dengan
dunia Islam (setidaknya bangsa Indonesia) telah melakukan
perubahan-perubahan terkait dengan kebijakan politik luar negeri AS.
Namun, sejumlah perubahan yang dilakukan Obama tampak masih belum mampu
menghilangkan aura kebencian dan ketidakadilan yang sudah berurat-urat di
muka politik luar negeri AS.
Oleh karenanya, Obama harus memanfaatkan
sisa pemerintahannya untuk mengembalikan perang melawan terorisme pada
khitahnya, yaitu dengan menyelesaikan pelbagai sebab yang melahirkan
terorisme, hingga pemberantasan terorisme yang dilakukan tidak justru
terjebak dalam perbuatan teror serupa dan melahirkan teroris-teroris
baru.
Sebagai
presiden yang mempunyai hubungan dekat dengan dunia Islam (setidaknya
diharapkan demikian), Obama mempunyai potensi yang sangat besar untuk
mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan mengembalikan hubungan AS dan dunia
Islam pada titik harmoni dan saling menghormati hingga kultur kebencian
dan saling curiga tidak terus berkembang kemudian menjebak keduanya dalam
jurang kehancuran dan penuh kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar