Rabu, 13 Februari 2013

Yang Anas dan Non-Anas dalam Demokrat


Yang Anas dan Non-Anas dalam Demokrat
Ridho Imawan Hanafi ;   Peneliti Politik di Soegeng Sarjadi Syndicate
KORAN TEMPO, 12 Februari 2013


Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi pers di Cikeas, Bogor, 8 Februari lalu, akhirnya mengambil alih kendali partai. Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai, SBY menegaskan bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Seluruh mekanisme di PD harus melalui Majelis Tinggi Partai. Sementara, untuk posisi Anas Urbaningrum, masih tetap menjabat sebagai Ketua Umum dan Wakil Majelis Tinggi Partai serta diberikan kesempatan menghadapi masalah hukum yang ditangani KPK.
Semenjak memegang kendali ketua umum sejak Kongres Bandung 2010, posisi Anas Urbaningrum memang rentan goyah. Apalagi setelah Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengabarkan hasil surveinya, yang menyatakan bahwa tingkat elektabilitas PD terus merosot dengan angka 8,3 persen, internal partai bergejolak hebat. Sebagian elite partai dan beberapa menteri asal PD gerah dan menyuarakan Ketua Dewan Pembina untuk turun tangan menyelamatkan partai. Sambil sayup-sayup mereka juga mendorong Anas untuk mundur. 
Suara internal yang menghendaki Anas mundur bukan pertama kali terjadi. Sejak nama Anas disebut-sebut dalam kasus mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin, dengungan agar Anas mundur dari posisi ketua umum tidak pernah berhenti. Penyebutan nama Anas dalam kasus korupsi dan terlibatnya beberapa kader dinilai sebagai penyebab merosotnya tingkat elektabilitas partai. Namun, sampai saat ini, sejauh suara yang menginginkan Anas mundur dimunculkan, sejauh itu pula Anas masih bertahan.
Dengan kondisi internal seperti itu, tidak bisa dimungkiri bahwa di PD kini terdapat dua blok yang terang benderang dan saling bersinggungan: Anas dan non-Anas. Blok Anas adalah mereka yang menyimpan optimisme bahwa Anas masih layak sebagai ketua umum. Terhadap tuntutan Anas untuk mundur karena namanya disebut dalam kasus korupsi, mereka memiliki pembelaan bahwa status Anas belum sebagai tersangka. Sambil membela seperti itu, blok Anas juga giat melakukan konsolidasi. Hasilnya, internal PD di akar rumput masih dalam kendali. 
Sedangkan blok non-Anas bersandar pada pandangan, bagaimanapun disebutnya nama Anas dalam kasus korupsi ikut mempengaruhi anjloknya popularitas dan elektabilitas PD. Survei SMRC juga memperlihatkan bahwa di tengah kepuasan publik terhadap kinerja Presiden SBY masih relatif tinggi, sebaliknya elektabilitas PD justru merosot. Melihat hal itu, kehendak untuk menyelamatkan perahu PD adalah harga mati. Blok ini menyodorkan solusi: Anas mundur merupakan cara memulihkan citra partai. 
Jika dilihat jejaknya, dua blok dalam PD saat ini tidak bisa dilepaskan dari rembesan politik Kongres PD 2010. Ketika tiga nama--Anas, Andi Alifian Mallarangeng, dan Marzuki Alie--bersaing memperebutkan kursi ketua umum. Ketiganya memiliki kelompok pendukung yang saling menegasikan. Meskipun, dalam perkembangannya, ketiga kubu perlahan mencair. Tapi, seiring dengan munculnya kasus korupsi yang melibatkan kader-kader PD, pengkubuan menyempit menjadi blok Anas dan non-Anas, dengan masing-masing berpendirian sikap: antara mempertahankan dan menggusur Anas.
Dalam upaya menggusur Anas, blok non-Anas kerap memunculkan isu menonaktifkan atau menggelar Kongres Luar Biasa. Isu KLB sejauh ini masih menjadi wacana yang sumir, mengingat peraturan organisasi mensyaratkan bahwa KLB dapat dilaksanakan atas permintaan Majelis Tinggi Partai atau sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah dan ½ (satu per dua) dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang. Persyaratan tersebut tentu tidak mudah karena Anas masih memiliki basis pendukung yang tidak sedikit di daerah. Bukan tidak mungkin ketika KLB digelar dengan tujuan menggusur Anas, situasi justru akan berbalik menjadi pengukuhan posisi Anas. 
Kini, meski sudah mengambil alih kendali, SBY tampaknya masih berusaha timbang ulang untuk tidak melangkah lebih jauh untuk mengganti ketua umum. Sebagai sosok yang dicitrakan demokratis, tentunya tak mudah bagi SBY untuk mengganti Anas tanpa mekanisme prosedural. Pertimbangan lain adalah jarak waktu menjelang pemilu digelar kian pendek. Perubahan kepemimpinan partai tidak saja membutuhkan konsolidasi yang panjang, tapi terbuka peluang munculnya friksi atau perpecahan partai. Selain itu, solusi pergantian kepemimpinan juga belum diiringi dengan pemunculan siapa kandidat yang pantas menggantikan Anas. Lagipula, kubu non-Anas juga tidak memberi jaminan politik bahwa menggusur Anas dari posisi ketua umum akan berkorelasi positif dengan meningkatnya elektabilitas PD. 
Harus diakui, dalam perjalanannya, PD sebagai partai politik masih menambatkan ketokohan SBY sebagai figur sentral. Pesona SBY telah menjadi daya tarik utama konstituen PD. Ketokohan personal SBY telah menjadi kekuatan referen partai (referent power). Preferensi seperti itu disadari juga kerap menggiring sebagian kader partai untuk menempatkan posisi SBY sebagai figur pemecah kebuntuan. SBY dianggap sebagai satu-satunya tokoh yang bisa menyelamatkan partai ketika PD mengalami persoalan pelik. 
Yang terjadi kemudian, alih-alih membangun intitusionalisasi kepartaian modern dengan tidak mengandalkan figur, di PD justru kerap mengarah pada jebakan pembentukan fans club dengan mengukuhkan simbol personal. Padahal, pada 2014 PD tidak serta-merta lagi hanya bisa mengandalkan simbol figur untuk mendulang suara. Yang perlu dilihat, saat partai politik masih mengandalkan ketokohan dan popularitas figur, di saat itu pula ancaman kehilangan daya tarik konstituen menanti. Hal tersebut dimulai ketika figur utama partai surut dari panggung politik atau mengalami degradasi ketokohannya. 
Di titik lain, sejak Anas memegang posisi ketua umum, secara diam-diam telah memunculkan sebuah situasi internal di mana partai tidak boleh lagi bergantung pada satu figur sentral. Keberadaan seorang figur politik yang dominan disadari kubu ini tidak akan bertahan begitu lama. Karena itu, cita-cita membentuk PD sebagai partai modern bisa dimulai dengan meminimalkan kekuatan referen: kebergantungan politik yang berlebihan pada figur. Dengan kata lain, kubu Anas mencoba menggeser pengaruh. Langkah seperti itu bukan tanpa hasil, karena jika dilihat dari perhitungan kekuatan di tingkat pengurus akar rumput, kubu Anas masih memperoleh banyak dukungan. Inilah yang membuat Anas tidak mudah didongkel dari posisinya sebagai ketua umum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar