Dalam
rentang perjalanan 15 tahun reformasi—meskipun banyak kemajuan yang telah
dicapai Indonesia—masih banyak pekerjaan rumah yang mendesak untuk segera
dituntaskan. Banyak juga yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal keadaan
Indonesia seperti kapal yang hampir mau karam.
Berkenaan
dengan hal itu, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang merupakan tonggak
sejarah baru dalam perkembangan peradaban manusia ini, layak untuk
direnungkan hikmah dan pelajarannya.
Model
perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad yang sangat membela rakyat kecil
dan mendahulukan kepentingan publik, patut kita praktikkan untuk mewujudkan
Indonesia yang lebih beradab dan demokratis.
Perjuangan Muhammad
Muhammad
lahir di Kota Makkah yang terletak di jazirah Arab pada 570 M. Kelahiran
Muhammad pada waktu itu berbarengan dengan kondisi masyarakat Arab yang
sedang kacau balau, baik dari segi ilmu pengetahuan, budaya, maupun
politik.
Masyarakat
Arab adalah bangsa Jahiliyah (tidak beradab) yang sangat menyukai
pesta-pesta rakyat, pembacaan puisi secara kolosal, serta menguburkan anak
perempuannya hidup-hidup. Meskipun suka tradisi baca puisi dan sastra,
mereka sama sekali tidak mengenal tradisi belajar dan tulis-menulis.
Masyarakat
Arab waktu itu juga sangat mengagungkan primodialisme yang sempit. Hal
inilah yang sering menimbulkan perpecahan antarsuku dan penindasan
antarsesama. Paham kesukuan yang sempit ini juga berimbas pada paham
keagamaan yang dipeluknya.
Hal
itu tampak pada setiap suku yang mempunyai Tuhan sendiri-sendiri yang
diwujudkan dalam bentuk berhala atau patung. Keadaan di atas ternyata juga
menimpa kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Sistem
ekonomi yang mereka kembangkan adalah sistem ekonomi kapitalis dan
absolutistik yang berpusat pada suku-suku tertentu. Suku yang terkuat dan
terbanyaklah yang memegang kendali perekonomian, sedangkan rakyat kecil
hanya dijadikan sebagai budak-budak yang tidak dihargai kemanusiaannya.
Ketika
menyaksikan fenomena masyarakatnya yang sedemikian parah dan mundur,
Muhammad ketika berusia 25 tahun bergerak hatinya untuk melakukan uzlah ke
Gua Hira'. Saat resmi diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, Muhammad
lantas berusaha secara berangsur-angsur menata kembali masyarakatnya.
Beliau
bergerak untuk membebaskan masyarakatnya dari penderitaan, penindasan,
ketidakadilan, dan takhayul. Perjuangan Muhammad pada kenyataannya menemui
rintangan yang tidak kecil. Hal itu terbukti dari reaksi pemuka
kabilah-kabilah Arab yang berusaha menghalangi dengan usaha terlembut
sampai terkasar. Bahkan pamannya sendiri, Abu Jahal dan Abu Lahab, merintangi
dakwahnya dengan sekuat tenaga.
Kepemimpinan Muhammad
Kebesaran
Muhammad sebagai seorang tokoh dunia yang berhasil mengubah keadaan
masyarakat, banyak tertoreh pada tinta tulisan para pejungga dan filsuf
dunia. Tidak kurang dari Muhamad Iqbal, Thomas Carlyle, Arnold Toynbee,
Will Durant, dan Michael Hart menuliskan dengan pujian yang sangat agung.
Bahkan
Michael Hart meletakkan Muhammad sebagai tokoh nomor satu di antara 100
tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Will Durant menganggap Muhammad
sebagai pribadi yang lengkap karena beliau adalah seorang sosiolog,
psikolog, politikus, agamawan, juga seorang pemimpin besar. Asghar Ali
Enginer juga menegaskan bahwa Muhammad adalah sosok pemimpin yang sangat
rendah hati, tapi berhati luhur dan berotak luar biasa cerdas.
Muhammad
memang bukan sekadar seorang pembaru agama dan sosial yang menyeru dari
puncak menara gading, namun beliau adalah seorang aktivis sejati yang
bergaul dan bergumul dengan penderitaan keseharian masyarakatnya. Meminjam
istilah Antonio Gramsci dan Ali Syari'ati—beliau adalah sosok intelektual
organik dan rausyan fikr yang
ideal.
Dalam
perjalanan hidupnya, beliau berhasil menyatukan idealisme inteletual dan
aktivisme sosial sebagai pemandu perjuangan dan visi gerak langkahnya dalam
menapaki kehidupan. Beliau, sebagaimana diungkap oleh Karen Armstrong
(2001), tidak sekadar berdakwah dan mengajarkan sebuah visi kehidupan baru,
namun juga melakukan perjuangan politik langsung untuk mewujudkan
masyarakat yang demokratis.
Kepemimpinan
Muhamad tampak pada perilaku sosial yang dipraktikkannya sehari-hari.
Beliau memproklamasikan dirinya sebagai pemimpin kaum mustadh'afin (kaum tertindas) yang terdiri dari kaum miskin,
anak yatim, para budak, serta semua rakyat kecil. Dalam menjalankan idenya,
beliau membangkitkan harga diri mereka dengan memuliakan dan bergaul
dengannya.
Selain
itu, beliau juga hidup seperti mereka, yaitu dengan cara sederhana,
bersahaja, serta tampil apa adanya. Oleh karena itu, dimensi agama yang
berujung pada tauhid berhasil beliau aplikasikan pada tataran moral-sosial
kehidupan sehari-hari bersama para pengikutnya. (Islam Alternatif, 1995)
Dalam hal ini, Alquran juga sangat memuliakan kaum tertindas dan memberikan
jaminan kepada mereka, sebagaimana tampak pada QS. 28: 5, QS. 1: 83, 177,
dan QS. 104: 1-7.
Aspek
liberatif (pembebasan) kepemimpinan Nabi Muhammad juga terlihat pada wahyu
yang pertama turun dan diserukan, yaitu surat Al-Alaq atau Iqra' yang
berisi perintah membaca dan mencari ilmu pengetahuan. Kenapa wahyu ini yang
pertama kali turun?
Karena
beliau menyadari bahwa untuk membebaskan kaumnya, mutlak diperlukan sebuah
ilmu pengetahuan yang membuka cakrawala pembebasan dan perilaku liberatif.
Hal inilah, sebagaimana ditegaskan oleh Asghar Ali Enginer (1999), yang
mempunyai dampak liberatif besar bagi bangsa Arab. Itu karena mereka
menjadi tahu hakekat kemanusiaannya yang tidak bisa ditindas oleh
sesamanya.
Berbeda
Bila
kita bandingkan dengan model kepemimpinan Nabi Muhammad di atas, pemimpin
Indonesia sekarang sangat jauh perbedaannya. Pemimpin kita justru banyak
disibukkan oleh urusan partai, memperkaya diri, serta sibuk bertikai dengan
kawan sendiri.
Dalam
hal ini, rakyat kecil justru hanya dijadikan objek kampanye pemenangan
partai, namun setelah itu tidak diurusi kembali. Padahal, para pemimpin
Indonesia tempo dulu tidaklah separah sekarang ini. Hal itu tampak sebagaimana
dituturkan dengan bagus oleh Deliar Noer (2001), bahwa pemimpin kita rela
mengorbankan harta, waktu, tenaga, bahkan nyawa sekalipun untuk kemajuan
bangsa dan masyarakat.
Oleh
karena itu, gaya hidup dan model kepempinan Nabi Muhammad seperti di atas
layak dipertimbangkan oleh para politikus dan masyarakat Indonesia. Itu
karena bila masih bergaya seperti yang lalu, pembangunan sistem dan
perangkat hukum untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis hanya sekadar
menjadi retorika dan proyek pencitraan pribadi yang melenakan.
Rakyat
sudah cukup lama bersabar untuk menanti terwujudnya Indonesia baru yang
demokratis, sejahtera, dan damai. Bila para pemimpinnya tidak bisa lagi
diharapkan, lantas bagaimana jadinya masa depan Indonesia ini? Wallahu A'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar