Sejak
kurang lebih satu dasawarsa lalu, masyarakat Indonesia menjadi makin
terbiasa dengan suasana menyambut Tahun Baru Imlek. Suasana ini begitu
terasa khususnya pada akhir Januari atau awal Februari, saat perayaan tahun
baru yang berdasarkan penanggalan bulan ini tiba.
Namun
apakah masyarakat Indonesia sudah sungguh-sungguh mengenal mereka yang
merayakan tahun baru Imlek ini? Secara sederhana, tentu kita akan
mengatakan ya.
Bukankah
Imlek merupakan hari raya orang-orang Tionghoa? Tetapi siapakah sebenarnya
orang-orang Tionghoa itu? Mengapa mereka disebut sebagai orang Tionghoa?
Bagaimana mereka dapat berproses menjadi salah satu dari berbagai kelompok
etnis di Indonesia?
Terbentuknya Bangsa Han
Orang-orang
Tionghoa, baik di Indonesia, China, maupun berbagai belahan dunia lain,
merupakan penjelmaan dari sebuah bangsa yang tua. Bangsa ini telah
berkembang di sekitar Sungai Kuning dan memiliki tradisi merayakan Tahun
Baru Imlek jauh sebelum kelahiran Konfusius, filsuf kenamaan dari negeri yang
sekarang bernama China ini.
Namun,
pada awalnya mereka tak dapat dianggap sebagai sebuah kelompok etnis yang
satu. Sebaliknya, masing-masing wilayah memiliki kerajaan sendiri-sendiri,
dan masyarakatnya pun setia kepada kerajaan di mana mereka tinggal.
Belakangan,
kurang lebih dua abad sebelum Masehi, barulah bangsa ini dipersatukan oleh
sebuah dinasti yang bernama Qin. Kerajaan Qin ini menyatukan tembok-tembok
yang telah didirikan oleh kerajaan-kerajaan terdahulu sehingga terbentuklah
sebuah tembok panjang yang terkenal dengan sebutan “tembok besar”.
Perasaan
sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang menyatu juga terbangun sebagai
akibat dari berbagai penyeragaman yang dilakukan semasa Dinasti Qin,
misalnya penyeragaman penulisan huruf dan mata uang.
Tambahan
lagi, sejak zaman Dinasti Han, ajaran Konfusius ditempatkan dalam posisi
yang sangat penting, yaitu sebagai ideologi negara. Ajaran ini harus
dipelajari, khususnya oleh mereka yang ingin bekerja di pemerintahan, baik
semasa Dinasti Han maupun pada dinasti-dinasti berikutnya.
Seiring
dengan berkembangnya waktu, ajaran Konfusius ini kemudian menjadi salah
satu ajaran yang paling berpengaruh dan tersebar secara luas di wilayah
China. Penting pula untuk dicatat bahwa seiring dengan perluasan wilayah
yang dilakukan oleh berbagai dinasti, berlangsunglah proses asimilasi
budaya di daerah-daerah yang telah ditaklukkan.
Orang-orang
dari daerah-daerah taklukan tersebut lambat laun bercampur-baur dan menyatu
dengan masyarakat dari dinasti-dinasti yang menaklukkan mereka.
Percampuran
dari berbagai suku bangsa inilah yang menjadi cikal bakal dari sebuah
bangsa yang di kemudian hari disebut sebagai bangsa Han.
Meski
demikian, terbentuknya bangsa Han sebagai sebuah bangsa tersendiri baru
terjadi di era modern. Sebagaimana dijelaskan oleh Frank Dikötter, seorang
sejarawan China asal Belanda, terbentuknya bangsa ini berkaitan erat dengan
munculnya nasionalisme China pada dekade-dekade akhir abad ke-19.
Salah
satu dari pelopor nasionalisme China tersebut adalah Sun Yat Sen, yang
memimpin revolusi di China pada awal abad ke-20. Ia lalu memperkenalkan
istilah Zhonghua (dalam dialek Fujian: Tionghoa) untuk menyebut bangsa ini.
Munculnya Etnik Tionghoa
Orang-orang
dari daratan China mulai datang ke Nusantara jauh sebelum terbentuknya
gagasan untuk mempersatukan orang-orang Tionghoa sebagai sebuah bangsa.
Para perantau dari daratan China ini datang dari berbagai wilayah di China,
khususnya di bagian selatan. Dengan demikian, mereka tentu memiliki
perbedaan budaya dan bahasa.
Sebagian
besar dari mereka menikah dengan perempuan-perempuan dari berbagai daerah
di Indonesia sehingga muncullah tradisi budaya peranakan yang jauh berbeda
dengan budaya-budaya yang berkembang di daerah asal mereka. Mereka juga
cenderung menggunakan bahasa Melayu yang diselingi dengan kata-kata yang
berasal dari dialek Minnan sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Bila
demikian, mengapa saat ini orang-orang Tionghoa dianggap serta menganggap
diri mereka sebagai sebuah etnik yang menyatu? Sebenarnya, proses
pembentukan mereka sebagai sebuah kelompok etnik telah dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial membangun tradisi membagi-bagi
masyarakat Indonesia berdasarkan ras dan etnisitas.
Orang-orang
Tionghoa pada masa itu ditempatkan sebagai golongan tersendiri. Mereka diharuskan
untuk tinggal di perkampungan-perkampungan khusus dan harus mengurus izin
bila ingin bepergian ke wilayah lain. Sebagai akibatnya, sebagian dari
mereka tetap tinggal sebagai sekelompok orang yang berbeda dari masyarakat
Indonesia lainnya.
Kesadaran
akan perbedaan ini makin menguat ketika semangat nasionalisme yang berkobar
di China pada awal 1900-an menyentuh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ide
nasionalisme ini memperkuat kesadaran mereka sebagai sebuah bangsa. Di era
ini pulalah mereka mulai menggunakan istilah ”Tionghoa” sebagai pengganti
dari istilah “Cina” untuk menyebut diri mereka.
Kesadaran
sebagai kelompok yang berbeda ini terproduksi kembali pada era
pascakemerdekaan Indonesia, khususnya pada masa pemerintah Orde Baru
berkuasa.
Di
tengah-tengah kebijakan asimilasi yang dicanangkannya, pemerintah Orde Baru
justru memaksa orang-orang Tionghoa untuk selalu mengingat jati diri
mereka. Mereka diharuskan untuk siap sedia menunjukkan surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bila dibutuhkan.
Konon,
kartu tanda penduduk mereka pun diberi tanda khusus untuk memudahkan para
petugas birokrasi pemerintah mengenali latar belakang etnis mereka.
Kebijakan-kebijakan semacam ini tentu makin memperkuat kesadaran
orang-orang Tionghoa sebagai sebuah kelompok etnik tersendiri, yang berbeda
dari masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di
era Reformasi ini, orang-orang Tionghoa memiliki kebebasan penuh untuk
mengekspresikan identitas dan budaya mereka. Namun, sangatlah berguna bagi
kita untuk memahami bahwa seperti etnik Han di China, etnik Tionghoa di
Indonesia pun bukan kelompok etnik yang terbentuk secara tiba-tiba saja.
Dengan
demikian, masa depan mereka pun sedikit banyak akan dipengaruhi oleh
situasi sosial politik yang berkembang di negeri ini. Semoga situasi sosial
politik di tahun ular yang baru saja kita masuki ini makin mendorong etnik
Tionghoa, bersama-sama dengan berbagai etnik lainnya, untuk melanjutkan
proses pembangunan bangsa Indonesia, sebuah proses yang hingga kini masih
tak kunjung selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar