Selasa, 12 Februari 2013

Tionghoa : Etnik yang Terbentuk oleh Sejarah


Tionghoa : Etnik yang Terbentuk oleh Sejarah
Johanes Herlijanto ;   Pemerhati China dan Masyarakat Tionghoa,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 Februari 2013



Sejak kurang lebih satu dasawarsa lalu, masyarakat Indonesia menjadi makin terbiasa dengan suasana menyambut Tahun Baru Imlek. Suasana ini begitu terasa khususnya pada akhir Januari atau awal Februari, saat perayaan tahun baru yang berdasarkan penanggalan bulan ini tiba.

Namun apakah masyarakat Indonesia sudah sungguh-sungguh mengenal mereka yang merayakan tahun baru Imlek ini? Secara sederhana, tentu kita akan mengatakan ya.
Bukankah Imlek merupakan hari raya orang-orang Tionghoa? Tetapi siapakah sebenarnya orang-orang Tionghoa itu? Mengapa mereka disebut sebagai orang Tionghoa? Bagaimana mereka dapat berproses menjadi salah satu dari berbagai kelompok etnis di Indonesia?

Terbentuknya Bangsa Han

Orang-orang Tionghoa, baik di Indonesia, China, maupun berbagai belahan dunia lain, merupakan penjelmaan dari sebuah bangsa yang tua. Bangsa ini telah berkembang di sekitar Sungai Kuning dan memiliki tradisi merayakan Tahun Baru Imlek jauh sebelum kelahiran Konfusius, filsuf kenamaan dari negeri yang sekarang bernama China ini.
Namun, pada awalnya mereka tak dapat dianggap sebagai sebuah kelompok etnis yang satu. Sebaliknya, masing-masing wilayah memiliki kerajaan sendiri-sendiri, dan masyarakatnya pun setia kepada kerajaan di mana mereka tinggal.

Belakangan, kurang lebih dua abad sebelum Masehi, barulah bangsa ini dipersatukan oleh sebuah dinasti yang bernama Qin. Kerajaan Qin ini menyatukan tembok-tembok yang telah didirikan oleh kerajaan-kerajaan terdahulu sehingga terbentuklah sebuah tembok panjang yang terkenal dengan sebutan “tembok besar”.

Perasaan sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang menyatu juga terbangun sebagai akibat dari berbagai penyeragaman yang dilakukan semasa Dinasti Qin, misalnya penyeragaman penulisan huruf dan mata uang.

Tambahan lagi, sejak zaman Dinasti Han, ajaran Konfusius ditempatkan dalam posisi yang sangat penting, yaitu sebagai ideologi negara. Ajaran ini harus dipelajari, khususnya oleh mereka yang ingin bekerja di pemerintahan, baik semasa Dinasti Han maupun pada dinasti-dinasti berikutnya.

Seiring dengan berkembangnya waktu, ajaran Konfusius ini kemudian menjadi salah satu ajaran yang paling berpengaruh dan tersebar secara luas di wilayah China. Penting pula untuk dicatat bahwa seiring dengan perluasan wilayah yang dilakukan oleh berbagai dinasti, berlangsunglah proses asimilasi budaya di daerah-daerah yang telah ditaklukkan.
Orang-orang dari daerah-daerah taklukan tersebut lambat laun bercampur-baur dan menyatu dengan masyarakat dari dinasti-dinasti yang menaklukkan mereka. 
Percampuran dari berbagai suku bangsa inilah yang menjadi cikal bakal dari sebuah bangsa yang di kemudian hari disebut sebagai bangsa Han.

Meski demikian, terbentuknya bangsa Han sebagai sebuah bangsa tersendiri baru terjadi di era modern. Sebagaimana dijelaskan oleh Frank Dikötter, seorang sejarawan China asal Belanda, terbentuknya bangsa ini berkaitan erat dengan munculnya nasionalisme China pada dekade-dekade akhir abad ke-19.

Salah satu dari pelopor nasionalisme China tersebut adalah Sun Yat Sen, yang memimpin revolusi di China pada awal abad ke-20. Ia lalu memperkenalkan istilah Zhonghua (dalam dialek Fujian: Tionghoa) untuk menyebut bangsa ini.

Munculnya Etnik Tionghoa

Orang-orang dari daratan China mulai datang ke Nusantara jauh sebelum terbentuknya gagasan untuk mempersatukan orang-orang Tionghoa sebagai sebuah bangsa. Para perantau dari daratan China ini datang dari berbagai wilayah di China, khususnya di bagian selatan. Dengan demikian, mereka tentu memiliki perbedaan budaya dan bahasa.
Sebagian besar dari mereka menikah dengan perempuan-perempuan dari berbagai daerah di Indonesia sehingga muncullah tradisi budaya peranakan yang jauh berbeda dengan budaya-budaya yang berkembang di daerah asal mereka. Mereka juga cenderung menggunakan bahasa Melayu yang diselingi dengan kata-kata yang berasal dari dialek Minnan sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Bila demikian, mengapa saat ini orang-orang Tionghoa dianggap serta menganggap diri mereka sebagai sebuah etnik yang menyatu? Sebenarnya, proses pembentukan mereka sebagai sebuah kelompok etnik telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial membangun tradisi membagi-bagi masyarakat Indonesia berdasarkan ras dan etnisitas.

Orang-orang Tionghoa pada masa itu ditempatkan sebagai golongan tersendiri. Mereka diharuskan untuk tinggal di perkampungan-perkampungan khusus dan harus mengurus izin bila ingin bepergian ke wilayah lain. Sebagai akibatnya, sebagian dari mereka tetap tinggal sebagai sekelompok orang yang berbeda dari masyarakat Indonesia lainnya.

Kesadaran akan perbedaan ini makin menguat ketika semangat nasionalisme yang berkobar di China pada awal 1900-an menyentuh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ide nasionalisme ini memperkuat kesadaran mereka sebagai sebuah bangsa. Di era ini pulalah mereka mulai menggunakan istilah ”Tionghoa” sebagai pengganti dari istilah “Cina” untuk menyebut diri mereka.

Kesadaran sebagai kelompok yang berbeda ini terproduksi kembali pada era pascakemerdekaan Indonesia, khususnya pada masa pemerintah Orde Baru berkuasa.
Di tengah-tengah kebijakan asimilasi yang dicanangkannya, pemerintah Orde Baru justru memaksa orang-orang Tionghoa untuk selalu mengingat jati diri mereka. Mereka diharuskan untuk siap sedia menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bila dibutuhkan.

Konon, kartu tanda penduduk mereka pun diberi tanda khusus untuk memudahkan para petugas birokrasi pemerintah mengenali latar belakang etnis mereka. Kebijakan-kebijakan semacam ini tentu makin memperkuat kesadaran orang-orang Tionghoa sebagai sebuah kelompok etnik tersendiri, yang berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya.

Di era Reformasi ini, orang-orang Tionghoa memiliki kebebasan penuh untuk mengekspresikan identitas dan budaya mereka. Namun, sangatlah berguna bagi kita untuk memahami bahwa seperti etnik Han di China, etnik Tionghoa di Indonesia pun bukan kelompok etnik yang terbentuk secara tiba-tiba saja.

Dengan demikian, masa depan mereka pun sedikit banyak akan dipengaruhi oleh situasi sosial politik yang berkembang di negeri ini. Semoga situasi sosial politik di tahun ular yang baru saja kita masuki ini makin mendorong etnik Tionghoa, bersama-sama dengan berbagai etnik lainnya, untuk melanjutkan proses pembangunan bangsa Indonesia, sebuah proses yang hingga kini masih tak kunjung selesai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar