SATU kata yang cukup
meramaikan kegaduhan politik ih wal penjatuhan status tersangka kepada
mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI)
oleh KPK ialah `konspirasi'. Kata itu semakin banyak dibicarakan dan
dijadikan bahan ledekan oleh lawan politik PKS sejak pidato Presiden PKS
yang baru Anis Matta mengarah ke kesimpulan bahwa ada konspirasi dalam aksi
penangkapan KPK itu. Anis Matta kemudian menyerukan `tobat nasional'.
Tuduhan konspirasi itu menyiratkan pesan
ada persekongkolan di balik penahanan LHI. Salah satu alasan yang dipakai
yaitu KPK kini telah menjadi alat politik untuk menggembosi partai politik
(parpol) tertentu. Ada juga desas-desus yang mengisukan beberapa hari
sebelum KPK menahan LHI, ada perwakilan dari Kedubes Amerika Serikat yang
mendatangi KPK. Faktanya juga, yang kemudian turut dijadikan alat
justifikasi bagi konspirasi itu, ialah LHI dinyatakan sebagai tersangka
tidak lebih dari sehari. Itu tidak lazim.
Intinya, dengan mengajukan teori konspirasi
itu, PKS telah melakukan bentuk komunikasi politik `pengingkaran' (denial).
Komunikasi jenis itu biasanya terjadi ketika sebuah figur atau parpol mengalami
keguncangan psikologis. Hal itu cukup wajar. Dengan membawa beban moral
sebagai partai `bersih', tentu saja tuduhan korupsi merupakan aib terbesar,
menyasar ke jantung kekuatan tawar (bargaining
power) parpol, apalagi langsung menimpa (mantan) presidennya.
PKS terkena tsunami politik. Publik
menghakimi dengan opini secara kejam.
Meminjam istilah dari Alquran, “Murka
besar (kabura maqtan) dari sisi Allah jika kalian berkata apa yang tidak
kalian lakukan (QS 61: 3).“ Kasus itu telah membawa PKS mendapat `murka
besar' itu dari publik. Dalam implementasi demokrasi di Indonesia selama
ini, kita memang susah menafikan fakta bahwa publik menjadi hakim, yang
kadang-kadang arogan, bagi setiap tindak-tanduk elite parpol. Tentu saja
itu membawa keguncangan psikologis yang akut.
Keguncangan psikologis semacam itu biasanya
membawa kekalutan sehingga figur atau parpol yang bersangkutan terbawa emosi.
Maka, mulailah dicari beberapa alasan pembenar. Di antaranya, yang paling
praktis, ialah dengan lepas tangan: mengingkari keterlibatan dirinya dalam
korupsi itu lalu mengalihkan tanggung jawab ke pihak lain. Di situlah hulu
`teori konspirasi' itu.
Plus-Minus
Tuduhan adanya konspirasi memang bisa
`bermanfaat' bagi PKS dan kader konstituen mereka, konstituen mereka,
setidaknya dalam dua hal. Pertama, dengan mengutarakan adanya konspirasi,
PKS minimal bisa mengatakan kepada publik akan adanya tangan-tangan tak
terlihat (invisible hands) yang
bermain di balik layar.
Dengan model tuduhan semacam itu, PKS tentu
saja bisa mengurangi beban untuk menjawab soal siapa musuh itu, sebab
memang tak terlihat. Namanya saja konspirasi. Kedua, konspirasi sudah
menjadi bagian dari pembentukan ideologi (ideology framing) dari PKS sendiri. Secara umum itu merupakan
watak gerakan sosial ala `Islamisme'.
Dalam teori gerakan sosial, dikenal tiga
pola pembangunan basis massa, yakni 1) political
opportunity structure (struktur kesempatan politik), 2) resource mobilization (mobilisasi
sumber daya), dan 3) collective
action frame (pembingkaian aksi kolektif).
Untuk bisa membangun basis massa yang kuat
dan mem bingkai aksi kolektif dari pada kader loyal mereka, mesti ada musuh
bersama. Di sanalah teori kon spirasi dengan efektif bermain. Biasanya,
yang dijadikan musuh bersama adalah Zionis dan Amerika.
Walhasil, dengan mengajukan teori
konspirasi dalam kasus suap impor daging itu, PKS sudah menyelam sambil
minum air, mengalihkan tanggung jawab dan mempertahankan loyalitas basis
massa mereka. Faktanya, soal konspirasi itu cukup ramai diutarakan beberapa
kader PKS di jejaring sosial.
Meski demikian, yang dikhawatirkan, tafsir
politik konspiratif itu bisa jadi bumerang. Jika salah, ia akan berbalik
menyerang logika politik yang dibangun PKS: betapa emosional partai Islam
itu menanggapi setiap makar. Selain itu, kilah tersebut susah dipercaya.
Jika melihat rekam jejak KPK selama ini,
KPK belum pernah menjatuhkan status tersangka tanpa ada bukti yang kuat
terlebih dahulu.
Di samping itu, KPK selama ini banyak menyasar para elite parpol yang
sedang berkuasa.
Kita tak bisa pura-pura lupa dengan
Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng:
adakah mereka juga terjebak konspirasi sebagaimana yang kini dialami LHI?
Lagi pula, KPK akan terkesan bodoh jika menjatuhkan status tersangka kepada
LHI tanpa bukti. Padahal, di antara bukti itu ada, misalnya penyadapan telepon
dan tegasnya fakta penangkapan tangan AF itu. Soal cepat jatuhnya status
tersangka itu, sebagaimana disebutkan beberapa pakar hukum, bisa dipahami
bahwa itu bagian dari proses penyidikan.
Maka dari itu, pada hemat saya, sikap yang
elegan bagi PKS ialah, jika memang ada yang salah, utarakan permohonan maaf
kepada publik.
Saya kira itu bisa lebih menumbuhkan rasa simpati, seperti ketika publik
memberikan rasa salutnya kepada Andi Mallarangeng ketika mundur dari
Demokrat dan dari jabatan menpora setelah jadi tersangka.
Memperbaiki
Citra
Kasus yang menimpa PKS itu membawa kita ke
memori tentang kebijakan purba di Jawa: adigang, adigung, adiguna--sebuah
peringatan kepada yang berkuasa (adigang),
berpunya (adigung), dan
berpengetahuan (adiguna) untuk
tidak jemawa, sebab suatu saat ia
akan dimintai pertanggungjawaban.
Orang Jawa amat perhatian dengan citra (ajining
diri). Citra, dalam memori orang Jawa, besar pengaruhnya terhadap
penilaian diri dan moralitasnya.
Tsunami politik yang meluluhlantakkan
jantung citra PKS itu jelas bisa berimbas besar pada citra. Pertama, ia
bisa berujung pada demoralisasi terhadap para kader mereka di level akar
rumput. Kedua, yang lebih besar dari itu, ia bisa menimpa citra partai
Islam pada umumnya: tidak ada jaminan bahwa Islam sebagai asas partai
lantas membuat suatu partai tampil lebih islami jika dibandingkan dengan
partai-partai sekuler lainnya. Tanggung jawab terbesar untuk memperbaiki
citra, tentu saja, ada pada para kader. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar