Penulis
pernah ikut seleksi calon hakim agung (2012) hingga lolos ke tahap III,
wawancara di tingkat Komisi Yudisial. Pengalaman menarik selama seleksi
tersebut mendorong penulis menyampaikan masukan kepada publik untuk mencari
hakim agung di Indonesia.
Sesungguhnya
tidak ada manusia sempurna sekalipun dia hakim yang dijuluki sebagai ”wakil
Tuhan” di bumi. Hakim juga manusia biasa. Punya berbagai kekurangan dan
tidak luput dari berbagai godaan dan tantangan hidup. Itu sebabnya
diperlukan pengawasan dan pembinaan terhadap hakim yang melanggar kode etik
dan perilaku hakim.
Ketika
hakim mengalami cobaan hidup, imannya kendor, dia tidak mampu menghadapi
godaan. Justru hakim seperti itu yang sering terjerembap melakukan
perbuatan dosa dan pelanggaran hukum. Akibatnya, setelah dia diterima
menjadi hakim agung, timbul masalah baru seperti terungkap sekarang,
berbagai skandal penyalahgunaan wewenang sebagai hakim agung.
Alangkah
terkejut kita ketika ada dalam sejarah, hakim agung sampai dipecat secara
tidak hormat. Siapa mengira seorang hakim agung ”Yang Mulia” bisa melakukan
tindakan tidak terpuji? Bukankah saat seleksi di tingkat Komisi Yudisial
(KY) dan DPR semuanya berjalan mulus, bahkan koreksi dari masyarakat
terhadap kekurangan para kandidat saat itu tidak ditemukan?
Turun
ke Lapangan
Mulai
sekarang kita pasti sepakat bahwa tragedi semacam ini jangan pernah
terulang lagi kepada ”Yang Mulia” Hakim Agung. Bagaimana caranya?
Jika
kita sepakat mencari figur calon hakim agung yang ideal, caranya adalah
menjadikan tugas dan tanggung jawab KY sedini mungkin melakukan inspeksi
turun ke lapangan melakukan pemangkalan data seluruh hakim di Indonesia
dari tingkat pertama hingga banding. Dari penelusuran pangkalan data itu
akan diketahui secara langsung integritas moral para hakim, bagaimana
prestasinya, keluarga harmonis atau tidak, kesehatannya, keberanian, tetapi
jujurkah?
Nah,
kriteria itu semestinya harus mulai dilaksanakan KY sebagai lembaga yang
mengawasi perilaku dan kode etik hakim. Fakta hasil lapangan ini kelak akan
dapat diuji ketika dia diusulkan Mahkamah Agung (MA) menjadi calon hakim
agung. Bukan hanya sekejap saja ketika dia diseleksi KY berdasarkan
pengumuman pendaftaran, hasil ujiannya bagus, selanjutnya dia lulus dan
diterima menjadi hakim agung. Ini namanya lulus hakim agung secara instan,
tetapi mental dan moralnya belum siap menjadi hakim agung.
Karena
sampai saat ini seleksi kandidat hakim agung itu masih terus mencari
formula yang lebih baik dari sekarang, hemat penulis, mekanisme mendapatkan
kandidat hakim agung dalam konstitusi dan undang-undang (UU) harus ”diubah”
segera.
Hemat
penulis, jadikanlah MA yang pertama memproses seleksi awal kandidat hakim
agung seperti yang sudah dilakukan MA selama ini ketika melakukan uji
pantas dan layak terhadap para kandidat ketua pengadilan kelas IA khusus,
dan bukan lagi hanya sekadar mengirimkan dan mengusulkan daftar nama calon
hakim agung kepada KY.
Penulis
tidak sependapat jika awal seleksi calon hakim agung dilakukan lewat DPR
seperti yang diusulkan mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga (Kompas,
5/2). Mengapa? Sebab, MA-lah yang lebih mengetahui rekam jejak para hakim
Indonesia. Seleksi yang dilakukan KY selama ini menyangkut kemampuan teknis
peradilan sebaiknya diserahkan kepada MA sebab MA yang paling tahu teknis
peradilan, mulai dari mengadili perkara hingga eksekusi dan administrasi
perkara.
Bagaimana
mungkin diperoleh kualitas kandidat yang ideal jika para kandidat itu diuji
oleh yang bukan hakim di KY. Penulis percaya, para tenaga ahli/pakar atau
mantan hakim agung yang dijadikan KY untuk menyeleksi para kandidat hakim
agung sudah bagus. Namun, akan lebih bagus lagi jika yang menyeleksi
kompetensi teknis peradilan dan administrasi peradilan itu pertama sekali
diserahkan kepada para ketua muda hakim agung di MA sesuai bidang
masing-masing calon berdasarkan sistem kamar yang berlaku di MA.
Setelah
tahapan di MA dilewati, barulah secara resmi pemimpin MA mengirimkan daftar
nama calon hakim agung yang layak diseleksi oleh KY dengan komposisi,
menurut penulis, sebaiknya 1:2, bukan seperti seka- rang 1:3. Jika
perbandingannya 1:3, sama saja kita tidak konsekuen memilih figur yang
lebih tepat dan layak. Terlalu banyak alternatif semakin tidak tepat
pilihan kita.
Kemudian,
KY melakukan uji kelayakan terhadap kandidat yang dikirimkan MA melalui
hasil penelusuran data awal ketika KY turun ke lapangan untuk mengetahui
rekam jejak kandidat lewat profile assessment, uji kesehatan, rekam jejak
calon, dengan melibatkan elemen masyarakat melakukan investigasi terhadap
berbagai kode etik perilaku hakim, harta benda yang tidak wajar, membuat
makalah, hingga melakukan uji kelayakan seperti yang dilakukan Komisi III
DPR selama ini.
Baru
kemudian KY memilih di antara calon yang dipandang lebih cakap dari yang
cakap. Dari hasil penilaian KY yang secara ketat ini, barulah nama-nama
kandidat tersebut diteruskan KY kepada presiden untuk ditetapkan oleh
presiden, bukan lewat DPR lagi.
Mengapa?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada DPR, hemat penulis, sangat berlebihan
apabila profesi hakim harus diseleksi lewat DPR. Sekalipun profesi hakim
menurut UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY kini jabatan hakim agung
merupakan jabatan publik, hemat penulis, jabatan hakim agung itu bukanlah
jabatan politis. Jabatan hakim agung itu tidak perlu mendapat rekomendasi
dari DPR kepada presiden. Cukup melalui KY kepada presiden.
Kalau
mekanisme prosedur pemilihan calon hakim agung ini dapat disederhanakan, mengapa
harus diperpanjang yang akhirnya merupakan pemborosan uang negara? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar