Tanggal 11 Januari 2013 lalu, Pramono Anung
Wibowo (Mas Pram) berhasil mempertahankan disertasi doktornya di Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran dengan predikat cum laude. Disertasi yang berjudul ”Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap
Konstituen” itu menyimpulkan, antara lain, jika dilihat dari motivasi, anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masuk ke lembaga legislatif tersebut karena
motif yang berlapis, yaitu motivasi utama dan motivasi turunan.
Motivasi utama
untuk menjadi anggota legislatif adalah kekuasaan politik dan kepentingan
ekonomi, sedangkan motivasi turunan-turunannya yang berciri retoris adalah
ideologis, memperjuangkan sistem demokrasi, aktualisasi sikap-sikap
politik, memperjuangkan kebijakan politik, dan memperjuangkan aspirasi kaum
marginal. Kesimpulan tersebut bukan hal baru, tetapi tetap saja menyentak dan
memancing perhatian.
Selama ini
memang terkesan anggota DPR tampil bukan karena ingin memperjuangkan ide
atau segala kebaikan dalam berpolitik, melainkan karena syahwat mempunyai
kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Motivasi ideologis memperjuangkan sistem
demokratis dan aspirasi politik serta memperjuangkan kaum marginal hanyalah
menjadi motivasi turunan yang berciri retoris, tak jelas, dan sekadar
basa-basi. Itulah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa banyak politikus
kita berperilaku koruptif dan dihukum karena korupsi.
Karena motif
utamanya hanya kekuasaan dan kekayaan material, para legislator sering
menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan uang. Kekuasaan diraih
dengan uang, sedangkan uang digarong melalui kekuasaan. Saat mempertahankan
disertasinya di depan ujian promosi terbuka itu, Mas Pram menjelaskan
dengan sangat baik salah satu penyebab tampilnya perilaku politik asal
berkuasa dan asal dapat uang itu adalah pemilu dengan sistem proporsional
terbuka, yang calon terpilih adalah calon yang mendapat suara terbanyak
dari sejumlah daftar nama calon yang disusun oleh pengurus parpol.
Di dalam sistem
proporsional terbuka ini para kandidat berjuang mati-matian dengan segala
cara agar mendapat suara terbanyak. Para kandidat dalam satu parpol
berjuang untuk diri masingmasing tanpa memedulikan apa yang harus
diperjuangkan menurut khitah atau garis perjuangan partai. Bahkan dalam
praktiknya mereka saling jegal, saling fitnah, dan saling berantem di
antara sesama caleg dari satu partai yang sama.
Tidak ada lagi
ideologi, tidak ada lagi perjuangan untuk kepentingan rakyat.Yang penting
terpilih meskipun harus menyuap atau melakukan money politics. Ketika menerangkan brutalitas politik di antara
para caleg itu Mas Pram menyebut nama saya sebagai ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) dan nama Ferry Mursyidan Baldan. Sebagai ketua MK nama saya
disebut untuk dilapori (dan dikomplain) karena pemilu dengan sistem
proporsional terbuka seperti yang ditetapkan MK ternyata telah menimbulkan
efek buruk dalam perpolitikan kita.
Adapun nama
Ferry disebut sebagai contoh betapa seorang pekerja politik yang baik dan
profesional seperti Ferry telah menjadi korban sehingga ”tak terpilih”
karena sistem proporsional terbuka itu. Kalau mau objektif dan jujur,
brutalitas politik yang seperti itu sudah ada sejak sebelum diberlakukannya
sistem proporsional terbuka. Pada masa lalu penentuan daftar caleg berdasar
nomor urut (proporsional tertutup) lebih banyak ditentukan melalui
nepotisme dan perkoncoan.
Yang menjadi
pimpinan partai pada berbagai level atau keluarganya selalu mendapat
prioritas utama untuk mendapat nomor peci (nomor jadi), sedangkan
orang-orang yang baik sering kali tak terpilih karena ditempatkan di nomor
sepatu sebagaivote getter. Dalam beberapa kasus yang menyeruak di media
massa,kita sering mengetahui banyak caleg yang menempati nomor peci karena membayar sejumlah
uang kepada oknum pimpinan partai atau karena berhasil memaksa melalui
cara-cara premanisme.
Nepotisme dan
money politics untuk menjadi anggota legislatif itu selalu ada,baik melalui
sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup. Hanya saja
di dalam sistem proporsional tertutup money politics dilakukan secara
borongan kepada oknum pimpinan partai, sedangkan pada sistem proporsional
terbuka dilakukan secara eceran langsung ke kantong-kantong pemilih.
Makanya, kalau soal korupsi, kita bisa menyebut nama-nama anggota DPR yang
masuk penjara karena korupsi, padahal mereka terpilih melalui sistem
proporsional tertutup (murni dengan nomor urut), yakni terpilih melalui
Pemilu 2004 dan sebelumnya.
MK sendiri
sebenarnya tidak pernah memutlakkan bahwa yang konstitusional adalah sistem
proporsional terbuka. MK hanya mengatakan, sistem proporsional ”setengah
terbuka” itu tidak adil dan mengandung penipuan. Misalnya si Sholeh
tercantum di nomor urut tujuh dengan suara 10.000 harus dikalahkan oleh si
Badu yang tercantum di nomor urut satu, padahal hanya memperoleh 750 suara
dengan alasan suara yang diperoleh si Sholeh belum mencapai 25% bilangan
pembagi pemilih (BPP).
Bagi MK, untuk
menghindari ketidakadilan dan pembohongan publik, kalau mau sistem
proporsional tertutup (murni, sistem nomor urut), ya pakai saja sistem
proporsional tertutup (murni) itu. Tapi kalau mau memakai sistem distrik ya
pakai saja sistem distrik. Sistem proporsional dan sistem distrik itu sama
konstitusionalnya. Yang penting konsisten, tidak mengecoh dengan adanya
raihan minimal sekian persen dari BPP sebagai batas untuk dimenangkan
dengan suara terbanyak.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar