Selasa, 19 Februari 2013

Nuklir Korea, Indonesia, dan ASEAN


Nuklir Korea, Indonesia, dan ASEAN
Makmur Keliat Pengajar Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Indonesia
KOMPAS, 19 Februari 2013


Uji coba senjata nuklir Korea Utara yang ketiga pada 12 Februari lalu telah mendapat reaksi internasional yang sangat keras. Dewan Keamanan PBB melaksanakan pertemuannya segera setelah uji coba ledakan itu dilakukan.

Diperkirakan, DK PBB akan segera mengeluarkan resolusi keempat yang bunyinya akan jauh lebih keras daripada resolusi sebelumnya. Namun, apakah resolusi ini akan efektif memaksa Korea Utara menghentikan upayanya untuk menjadi negara nuklir masih menjadi tanda tanya besar.

Kecaman dan Dialog

Walau secara geografis bukan bagian dari lingkaran utama konsentris strategis Asia Tenggara, dinamika keamanan di jazirah Korea telah mendapat perhatian besar Indonesia. Segera setelah uji coba senjata nuklir itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan kecaman. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyarankan perlunya mengaktifkan kembali Pertemuan Enam Pihak (PEP) —beranggotakan Korea Selatan, Korea Utara, AS, Jepang, China, dan Rusia—sebagai mekanisme dialog untuk menghindarkan kemungkinan uji coba nuklir itu mengarah pada instabilitas kawasan. Dialog lain yang ditawarkan Indonesia adalah mendayagunakan mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF).

Tanggapan diplomatik berupa pernyataan kecaman dan saran akan mekanisme dialog ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia mengikuti pola diplomasi tradisional yang telah diperlihatkan Indonesia dan ASEAN terhadap situasi di Korea pada masa lalu. Berulang kali Indonesia dan ASEAN menyatakan keprihatinannya terhadap krisis nuklir Korea Utara. Namun, seluruh pernyataan itu tetap tak mengu- bah niat kebijakan Korea Utara mengembangkan dirinya sebagai negara yang memiliki kemampu- an senjata nuklir. Karena itu, hampir bisa dipastikan pula tanggapan diplomatik Indonesia yang baru saja dikeluarkan memiliki keterbatasan untuk menjadi instrumen efektif yang memengaruhi kebijakan nuklir Korea Utara.

Namun, mengecam respons diplomatik Indonesia dan ASEAN sebagai suatu instrumen diplomatik yang sama sekali tak efektif atau sia-sia adalah berlebihan. Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa penekanan pada mekanisme dialog melalui PEP atau ARF merupakan pilihan strategis paling rasional bagi Indonesia.

Pertama, mekanisme dialog merupakan bagian dari prinsip normatif yang tengah dikembangkan Indonesia bersama dengan ASEAN, terutama melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Salah satu pesan normatif yang disampaikan TAC adalah tidak menggunakan instrumen kekerasan ataupun ancaman penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik antarnegara.

Karena itu, sikap Indonesia dan ASEAN dapat dipahami. Tanggapan Indonesia dan ASEAN merupakan bagian dari upaya pembangunan norma dari TAC ini untuk tidak hanya berlaku bagi kawasan Asia Tenggara, tetapi juga untuk diperluas hingga ke luar kawasan Timur Jauh.

Kedua, isu nuklir Korea Utara merupakan isu high politics yang melibatkan aktor negara besar. Keanggotaan AS, China, Jepang, dan Rusia dalam mekanisme PEP itu sendiri telah menggambarkan esensi dari high politics tersebut. Karena itu, usulan untuk mengaktifkan PEP merefleksikan adanya kesadaran tentang kapasitas daya tawar Indonesia dan ASEAN yang terbatas.

Sikap seperti itu bisa juga dimaknai sebagai suatu pilihan yang realistis mengingat PEP, dibentuk sejak 2003 dan telah melaksanakan rangkaian pertemuan, hingga kini belum berhasil mengubah kebijakan nuklir Korea Utara. Itu juga yang menyebabkan gagasan melibatkan ASEAN dalam PEP dan mengubahnya menjadi ”Pertemuan Tujuh Pihak” tidak pernah dipandang oleh ASEAN sebagai gagasan kebijakan alternatif yang serius.

Ketiga, Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Korea Utara, pun dengan Korea Selatan. Baik melalui perdagangan, investasi, dan kerja sama teknologi, Korea Selatan telah menjadi salah satu mitra ekonomi utama Indonesia.

Di sisi lain, walau secara ekonomi bukan merupakan mitra penting bagi Indonesia, hubungan baik Jakarta dan Pyongyang adalah salah satu tonggak dalam perjalanan sejarah politik luar negeri Indonesia hingga sekarang.

Walau dalam skala kecil, patut kiranya dicatat bahwa Indonesia mendapatkan pasokan senjata dari Korea Utara pada awal 2000-an ketika negara maju masih melakukan embargo persenjataan terhadap Indonesia. Karena itu, pilihan menekankan pada mekanisme dialog adalah logis, yaitu dalam upaya untuk menjaga hubungan bilateral yang baik antara Jakarta dengan Seoul dan Jakarta dengan Pyongyang.

Keempat, menjaga hubungan baik dengan kedua negara ini juga merefleksikan ketidakinginan Indonesia mencampuradukkan isu nuklir Korea Utara dengan isu lainnya, terutama HAM dan bantuan kemanusiaan. Bagi Indonesia, dua isu ini harus diperlakukan secara berbeda. Dalam isu HAM, misalnya, terdapat keengganan Indonesia mengecam pernyataan Dewan HAM PBB tentang pelanggaran HAM di Korea Utara.

Perlu pula dicatat bahwa Indonesia terus-menerus menunjukkan komitmennya mengirimkan bantuan pangan untuk alasan kemanusiaan ke Korea Utara. Sementara itu, untuk isu nuklir, Indonesia memang mengecam Korea Utara karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat mempromosikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir (SEANWFZ). Indonesia tampaknya berpandangan bahwa proliferasi horizontal senjata nuklir akan terjadi di kawasan Timur jauh dan Asia Tenggara sebagai akibat dari kebijakan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara.

Belum Maksimal

Walau rasional, tanggapan diplomatik Indonesia tidak bisa lalu dikatakan telah maksimal. Persoalannya: pendekatan seperti ini, yang terlalu menekankan pada mekanisme dialog, dapat mendorong Indonesia dan ASEAN tidak memiliki cetak biru untuk kebijakan strategis seandainya krisis nuklir Korea Utara itu tidak dapat dikendalikan.

Tidak tampak beragam skenario seperti rencana A, rencana B, atau rencana C yang kemungkinan muncul jika krisis nuklir Korea berubah menjadi tidak terkendalikan. Karena itu, selain mengambil inisiatif diplomatik—yaitu dengan cara memperbesar gaung pernyataan keprihatinan, kecaman, pun mengusulkan mekanisme dialog ke tataran regional dan internasional—Indonesia tampaknya perlu meluncurkan suatu kebijakan diplomatik khusus dalam situasi krisis.

Inti kebijakan diplomatik dalam situasi krisis ini teletak pada pembangunan beragam skenario seandainya krisis nuklir Korea tidak lagi dapat dikendalikan. Alasannya sangat sederhana. Implikasi dari krisis yang tidak terkendalikan di jazirah Korea akan sangat memengaruhi ekonomi Indonesia.

Tidak hanya karena perairan di wilayah Korea itu menjadi bagian integral dari sea lanes of communications yang penting ke Asia Tenggara, tetapi juga karena Jepang, Korea Selatan, dan China kini merupakan mitra utama ekonomi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar