Perilaku koruptif di segala
aspek kehidupan, khususnya di tingkat pemerintahan pada dasarnya disebabkan
oleh kurangnya pemahaman terhadap pengertian korupsi. Di samping, kurang
diindahkannya seperangkat ketentuan hukum yang melingkupi tindak pidana
korupsi dan kurangnya pengawasan. Celakanya, di antara oknum-oknum aparat
penegak hukum sendiri turut melakukannya. Ibarat pagar makan tanaman.
Jika demikian, penyebabnya
juga karena faktor mental koruptif, greedy (rakus) dan sama sekali tidak
memiliki rasa kepekaan, kepedulian bagaimana menegakkan hukum yang
seharusnya. Selain berdasarkan keadilan, kebenaran, kejujuran, keterbukaan
atau transparansi, penegakan hukum perlu mengindahkankan rasa keadilan yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk perlu pertimbangan
mengedepankan hati nurani.
Perilaku menyimpang atau
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) oleh aparat lebih-lebih seorang penegak hukum jelas bertentangan
dengan kaidah hukum. Risiko atau penaltinya lebih berat daripada jika
dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum, atau pejabat pemerintah atau
pegawai negeri atau korporasi.
Seorang pegawai negeri,
terlebih aparat penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan korupsi atau
tindak pidana lainnya, acapkali diinternalnya berhadapan dengan fungsi
manajemen. Yaitu, pengawasan (controling)
oleh atasan langsung atau setidaknya pejabat yang ditunjuk untuk itu,
kecuali ada laporan atau pengaduan kepada penyidik atau tertangkap tangan.
Fungsi pengawasan tidak saja meliputi pengamatan, penertiban dan penindakan
terhadap setiap penyimpangan, akan tetapi juga termasuk pencegahan agar
pegawai dimaksud tidak melakukan perilaku menyimpang atau melanggar
rambu-rambu hukum.
Sanksi pidana yang berat masih
dipandang tidak menjamin dapat menurunkan tingkat kejahatan di tengah
masyarakat. Terkadang justru masyarakat sendiri yang memberi peluang
terjadinya kejahatan dalam setiap interaksi sosial atau pribadi yang dapat
meluluhlantakkan integritas anggota masyarakat lainnya, petugas atau pihak
lain yang terkait dengan kejahatan dan penindakannya. Dalam teori GONE,
terdapat 4 (empat) faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan
kejahatan.
Keempat faktor tersebut adalah
keserakahan (greed), kesempatan (oportunity), kebutuhan (need), dan untuk pamer (exposition). Kongres PBB mengenai
Pencegahan Kajahatan dan Peradilan Pidana (United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice)
pun telah merekomendasikan penanggulangan kejahatan termasuk korupsi
tersebut melalui pendekatan secara integral (komprehensif), baik preventif,
represif maupun edukatif. (Marwan Effendy 2011)
Menurut Kongres PBB, terdapat
2 (dua) strategi yang sangat mendasar untuk menanggulangi kejahatan
termasuk korupsi. Pertama, penanggulangan kausatif, yaitu mengeliminasi
sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
Kedua, pendekatan integral
(komprehensif), yaitu menempuh upaya pencegahan kejahatan tidak secara siplistik
dan fragmentair, tetapi dari berbagai pendekatan/kebijakan sosial
aspeksosial, budaya. ekonomi, politik, pendidikan, agama, moral dan
sebagainya. Salah satu kiat agar pegawai atau oknum aparat penegak hukum
taat dan atau patuh untuk tidak melakukan penyimpangan, antara lain tidak
perlu melindungi pegawai atau oknum tersebut. Aparat penegak hukum yang
bersalah harus dikenakan tindakan tegas sesuai bobot atau tingkat kesalahan
atas perbuatan tercela yang dilakukannya.
Tentunya, bila terdapat cukup
bukti memenuhi unsur tindak pidana dan jika terbukti secara sah dan
meyakinkan di pengadilan serta mempunyai kekuatan hukum tetap (penalty). Namun, sebaliknya
pemberian penghargaan (rewards)
perlu diterapkan bagi yang berkinerja baik, terpuji dan berprestasi.
Pengawasan melekat secara
terus-menerus, berkesinambungan, berani, tegas dan konsisten oleh semua
pejabat struktural kepada bawahannya sampai dengan dua tingkat ke bawah
sangat diperlukan. Tindakan pencegahan pun harus dilakukan secara simultan,
agar sistem kinerja dilakukan sesuai dengan tupoksinya dan secara optimal.
Seluruh satuan unit kerja
dengan dukungan sarana prasarana yang memadai dan kewenangan oleh aparat
yang profesional, proporsional, diharapkan hasil kinerjanya akan diperoleh
secara maksimal. Pelayanan kepada publik pun direspon positif. Tindakan
pencegahan yang dilakukan selama ini, antara lain dengan meningkatkan
kualitas pelayanan publik, seperti pembentukan palayanan satu atap (one stop service), menampilkan
capaian kinerja terpampang dengan jelas/mudah diakses/dilihat jelas
prosedur dan pertanggungjawabannya.
Barangkali perlu diberikan dan
dikembangkan contoh perilaku terpuji, yang mencerminkan keteladanan prima
di segala aspek kehidupan. Para pejabat struktural pun diharapkan dapat
meningkatkan integritas dan kredibilitas bawahan hingga tangguh, tanggap,
dan tanggon dalam melaksanakan tupoksi masing-masing. Dalam hal ini,
peranan pengawasan erat kaitannya dengan sistem penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya yang menyangkut aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business process)
dan sumber daya manusia (SDM).
Apalagi,
di era reformasi birokrasi, segala sesuatunya tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Selain penataan ulang sistem penyelenggaraan pemerintahan, prosedur
dan ketentuan baku/formal lewat pendelegasian pun, perlu diperhatikan
secara seksama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar