Jumat, 01 Maret 2013

Pengawasan Mencegah Korupsi


Pengawasan Mencegah Korupsi
Widyapramono Staf Ahli Jaksa Agung RI Bidang Tindak Pidana Umum
SUARA KARYA, 28 Februari 2013


Perilaku koruptif di segala aspek kehidupan, khususnya di tingkat pemerintahan pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap pengertian korupsi. Di samping, kurang diindahkannya seperangkat ketentuan hukum yang melingkupi tindak pidana korupsi dan kurangnya pengawasan. Celakanya, di antara oknum-oknum aparat penegak hukum sendiri turut melakukannya. Ibarat pagar makan tanaman.

Jika demikian, penyebabnya juga karena faktor mental koruptif, greedy (rakus) dan sama sekali tidak memiliki rasa kepekaan, kepedulian bagaimana menegakkan hukum yang seharusnya. Selain berdasarkan keadilan, kebenaran, kejujuran, keterbukaan atau transparansi, penegakan hukum perlu mengindahkankan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk perlu pertimbangan mengedepankan hati nurani.

Perilaku menyimpang atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat lebih-lebih seorang penegak hukum jelas bertentangan dengan kaidah hukum. Risiko atau penaltinya lebih berat daripada jika dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum, atau pejabat pemerintah atau pegawai negeri atau korporasi.

Seorang pegawai negeri, terlebih aparat penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan korupsi atau tindak pidana lainnya, acapkali diinternalnya berhadapan dengan fungsi manajemen. Yaitu, pengawasan (controling) oleh atasan langsung atau setidaknya pejabat yang ditunjuk untuk itu, kecuali ada laporan atau pengaduan kepada penyidik atau tertangkap tangan. Fungsi pengawasan tidak saja meliputi pengamatan, penertiban dan penindakan terhadap setiap penyimpangan, akan tetapi juga termasuk pencegahan agar pegawai dimaksud tidak melakukan perilaku menyimpang atau melanggar rambu-rambu hukum.

Sanksi pidana yang berat masih dipandang tidak menjamin dapat menurunkan tingkat kejahatan di tengah masyarakat. Terkadang justru masyarakat sendiri yang memberi peluang terjadinya kejahatan dalam setiap interaksi sosial atau pribadi yang dapat meluluhlantakkan integritas anggota masyarakat lainnya, petugas atau pihak lain yang terkait dengan kejahatan dan penindakannya. Dalam teori GONE, terdapat 4 (empat) faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan.

Keempat faktor tersebut adalah keserakahan (greed), kesempatan (oportunity), kebutuhan (need), dan untuk pamer (exposition). Kongres PBB mengenai Pencegahan Kajahatan dan Peradilan Pidana (United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) pun telah merekomendasikan penanggulangan kejahatan termasuk korupsi tersebut melalui pendekatan secara integral (komprehensif), baik preventif, represif maupun edukatif. (Marwan Effendy 2011)

Menurut Kongres PBB, terdapat 2 (dua) strategi yang sangat mendasar untuk menanggulangi kejahatan termasuk korupsi. Pertama, penanggulangan kausatif, yaitu mengeliminasi sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

Kedua, pendekatan integral (komprehensif), yaitu menempuh upaya pencegahan kejahatan tidak secara siplistik dan fragmentair, tetapi dari berbagai pendekatan/kebijakan sosial aspeksosial, budaya. ekonomi, politik, pendidikan, agama, moral dan sebagainya. Salah satu kiat agar pegawai atau oknum aparat penegak hukum taat dan atau patuh untuk tidak melakukan penyimpangan, antara lain tidak perlu melindungi pegawai atau oknum tersebut. Aparat penegak hukum yang bersalah harus dikenakan tindakan tegas sesuai bobot atau tingkat kesalahan atas perbuatan tercela yang dilakukannya.

Tentunya, bila terdapat cukup bukti memenuhi unsur tindak pidana dan jika terbukti secara sah dan meyakinkan di pengadilan serta mempunyai kekuatan hukum tetap (penalty). Namun, sebaliknya pemberian penghargaan (rewards) perlu diterapkan bagi yang berkinerja baik, terpuji dan berprestasi.

Pengawasan melekat secara terus-menerus, berkesinambungan, berani, tegas dan konsisten oleh semua pejabat struktural kepada bawahannya sampai dengan dua tingkat ke bawah sangat diperlukan. Tindakan pencegahan pun harus dilakukan secara simultan, agar sistem kinerja dilakukan sesuai dengan tupoksinya dan secara optimal.

Seluruh satuan unit kerja dengan dukungan sarana prasarana yang memadai dan kewenangan oleh aparat yang profesional, proporsional, diharapkan hasil kinerjanya akan diperoleh secara maksimal. Pelayanan kepada publik pun direspon positif. Tindakan pencegahan yang dilakukan selama ini, antara lain dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik, seperti pembentukan palayanan satu atap (one stop service), menampilkan capaian kinerja terpampang dengan jelas/mudah diakses/dilihat jelas prosedur dan pertanggungjawabannya.

Barangkali perlu diberikan dan dikembangkan contoh perilaku terpuji, yang mencerminkan keteladanan prima di segala aspek kehidupan. Para pejabat struktural pun diharapkan dapat meningkatkan integritas dan kredibilitas bawahan hingga tangguh, tanggap, dan tanggon dalam melaksanakan tupoksi masing-masing. Dalam hal ini, peranan pengawasan erat kaitannya dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang menyangkut aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia (SDM).

Apalagi, di era reformasi birokrasi, segala sesuatunya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Selain penataan ulang sistem penyelenggaraan pemerintahan, prosedur dan ketentuan baku/formal lewat pendelegasian pun, perlu diperhatikan secara seksama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar