Sabtu, 09 Februari 2013

Menyambut Hari Pers Nasional Ke-67 Hari Ini


Menyambut Hari Pers Nasional Ke-67 Hari Ini
Djoko Susilo ;   Mantan Wartawan Jawa Pos, Duta Besar RI di Swiss dan Lichtenstein
JAWA POS, 09 Februari 2013


MASYARAKAT pers Indonesia kembali merayakan Hari Pers Nasional. Sebagaimana biasa, puncak acaranya, tahun ini di Manado, akan dihadiri Presiden SBY dan para tokoh pers nasional. Dalam kesempatan itu, akan diberikan pula kartu anggota pers (PWI) nomor 1 kepada sejumlah wartawan atau mantan wartawan, termasuk saya kabarnya.

Secara umum, kondisi pers nasional, khususnya dalam hal ini media cetak, belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Malah, kalau melihat perkembangan secara global, kondisinya memprihatinkan. Beberapa media terkemuka sudah tutup atau menghentikan edisi cetaknya. Terakhir, majalah terkemuka Newsweek menghentikan edisi cetaknya. Sebelumnya, majalah US News and World Report lebih dulu bangkrut. 

Di Eropa, sejumlah media, kalau tidak bangkrut, mungkin juga terpaksa mengurangi karyawannya. Mingguan Le Figaro dan Le Monde Diplomatique yang terbit di Prancis goyah. Koran Frankfurter Runsdschau di Jerman juga bangkrut. Dalam sejumlah kunjungan ke kantor beberapa koran di Swiss seperti Basel Zeitung, Nieu Zuricher Zeitung, Berner Zeitung, saya selalu mendapat keluhan bahwa oplah mereka merosot drastis dari tahun ke tahun. 

Saya lantas mendapatkan pertanyaan umum: Bagaimana nasib media cetak di Indonesia? Harus diakui, nasib media di Indonesia masih sedikit lebih baik daripada umumnya media di Eropa atau AS. Salah satu faktor kuncinya ialah penetrasi media online, meski cukup tinggi, masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Dengan kata lain, pembaca di kota kecil atau di kampung-kampung masih setia menunggu kehadiran korannya pada pagi hari. 

Keunggulan lainnya, media di Indonesia dengan segmentasi yang sampai menjangkau berita lokal, misalnya Jawa Pos Group dengan koran Radar-nya, masih sanggup melawan media online yang tak sedetail koran versi lokal. Keuntungan lainnya, media cetak di Indonesia secara relatif masih dianggap independen dari kekuatan politik dibandingkan media online yang umumnya dimiliki oleh tokoh yang memiliki ambisi atau terkait partai politk.

Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri, media cetak di Indonesia dapat dikatakan jalan di tempat atau menurun. Jumlah oplah dari tahun ke tahun hanya berkisar sekitar sepuluh juta secara nasional. Jumlah itu hampir sama dengan oplah harian masing-masing koran Asahi Shimbun dan Yomiuri Shimbun di Jepang. 

Kenaikan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional ternyata tidak membawa berkah kepada media cetak. Bahkan, beberapa media terpaksa ditutup. Di kalangan umat Islam, hilang dari peredaran majalah Panji Masyarakat, majalah Ummat, majalah Wahyu, sebagai misal. Oplah majalah Sabili pun kabarnya sangat merosot dari puncaknya lima tahun lalu yang lebih dari seratus ribu eksemplar. 

Sebagaimana di Eropa dan AS, media cetak Indonesia akan terus menurun, baik pelanggan maupun pendapatan iklan yang signifikan. Dengan berkembangnya internet, Facebook, mobile communication, dan media social lain, media cetak harus mencari format baru.

Memang, yang pasti media cetak tidak akan kiamat seperti ketika lahirnya TV dan radio tidak mematikannya. Hanya, format akan harus berubah. Hadirnya TV mengakibatkan tutupnya koran sore hampir di seluruh dunia. Sebab, orang sudah berada di rumah ketika menyaksikan tayangan berita petang (evening news). Di sisi lain, radio menjadi survive dengan maraknya budaya komuter dengan mobil yang terjebak kemacetan di jalan. 

Bagaimana media cetak? Saat ini sisipan berita lokal masih membantu memperkuat posisi koran untuk melawan media online. Tetapi, media online juga akan makin tersegmentasi. Misalnya, Detikcom sudah memiliki Detik Surabaya, Detik Bandung, Detik Semarang, dan sebagainya. Kemudian, ada Lensa Indonesia.com yang fokus ke berita Jatim dan Jatim Raya serta inilah.com yang lebih fokus ke entertainment. Karena itu, tantangan wartawan media cetak akan semakin berat. 

Jadi, mengandalkan berita lokal saja tidak cukup, harus didukung berita laporan khusus yang ditulis secara komprehensif. Akan lebih kuat lagi jika koran tersebut memiliki penulis mumpuni dan andalan serta membuat kecanduan. Misalnya, Dahlan Iskan untuk Jawa Pos.

Saya pernah mengadakan survei kecil-kecilan kepada beberapa orang warga saya di Swiss. Pertanyaan saya sederhana, yakni koran dan media cetak apa yang masih dibaca dan mengapa? Mayoritas menjawab, majalah TEMPO,  Koran Kompas, dan Jawa Pos. Ketika ditanya alasannya, jawabannya adalah berita Kompas komprehensif, berimbang, dan lengkap. Untuk Jawa Pos, jawabannya nomor satu karena ada kolom Dahlan Iskan tiap Senin. Kepada saya, banyak yang mengaku setiap Minggu malam memundurkan tidurnya agar bisa cepat-cepat menikmati kolom Dahlan Iskan yang juga disiarkan di JPNN.

Dengan demikian, kekuatan tulisan Dahlan Iskan masih sanggup menjaga loyalitas pembaca Jawa Pos. Seharusnya, Jawa Pos memberikan kesempatan atau meminta kepada para penulis andalannya untuk menulis secara teratur seperti Dahlan Iskan. Ini pula yang dilakukan New York Times dan Washington Post serta koran-koran di Eropa lainnya. Pembaca New York Times pasti hafal dengan nama-nama kolumnis seperti Thomas Friedman, Paul Krugmann, dan Roger Cohen. Di Washington Post, pembaca pasti akan menunggu tulisan Howard Kurtz, Bob Woodward, atau David Broder. 

Tentunya, selain tulisan Dahlan Iskan, masih banyak wartawan senior lain yang cukup mumpuni. Misalnya, Nany Wijaya, Zainal Muttaqin yang spesialis olahraga, Hermawan Kartajaya yang ahli majemen, Azrul Ananda yang ahli F1, dan seterusnya. Kekuatan tulisan para kolumnis telah membentuk konstituen yang loyal kepada koran bersangkutan. 

Bagi saya yang menyukai ulasan ekonomi yang tajam dan kritis di dunia internasional atau AS, saya harus membaca artikel Paul Krugmann. Jika ingin mengikuti analisis domestik AS, saya membaca ulasan Woodward. Untuk Jawa Pos, saya selalu membaca tulisan Dahlan Iskan. Sayang, hanya dia satu-satunya kolumnis pilihan saya dan sebagian warga Indonesia, setidaknya sebagian besar warga Indonesia di Swiss yang sering bertemu dengan saya.

Mungkin, dengan semangat baru setelah Hari Pers Nasional tahun ini, akan ada perubahan yang lebih baik di media cetak kita, termasuk Jawa Pos Group. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar