AM boleh saja dianggap gagal sebagai Menpora atau
Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun, dengan sikapnya itu, AM
punya reputasi yang baik karena tidak gagal sebagai manusia Indonesia. AM
telah berani mengaku salah dan bertanggung jawab.
Jero Wacik, dalam konferensi pers di rumahnya, Minggu
(3 Februari), menyatakan bahwa Anas Urbaningrum turut menyumbang
kemerosotan citra Partai Demokrat. Pada kesempatan itu, Jero Wacik
sekaligus menyatakan alangkah bagusnya jika Anas berinisiatif mengundurkan
diri (Koran Tempo, 4 Februari). Lebih jauh, Wacik juga memberikan tiga
teori pemikiran hierarki. Pertama, kepentingan negara. Kedua, kepentingan
partai. Ketiga, kepentingan pribadi (Detiknews, 4 Februari).
Implementasinya, kepentingan partai harus dinomorduakan setelah kepentingan
negara. Demikian seterusnya, kepentingan partai harus didahulukan daripada
kepentingan pribadi. Konkretnya, jika ada kader Partai Demokrat yang merasa
menjadi batu sandungan partai karena menjadi bulan-bulanan media terkait
dengan kasus Hambalang, dia harus mengalah demi soliditas partai.
Pernyataan Jero Wacik tersebut cukup memanaskan
atmosfer di awal tahun politik ini, walaupun isu ini sebetulnya sudah bukan
materi baru lagi. Keberadaan beberapa faksi di lingkup internal Partai
Demokrat terkait dengan Anas sudah ada seiring pengakuan Nazaruddin. Anas
juga dikabarkan memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan SBY. Pada
akhir 2012 kabar tak sedap ini sudah mengemuka (21 Desember).
Sedikit-banyak SBY kecewa terhadap track record Partai Demokrat (PD) yang
kian tersendat elektabilitasnya.
Patut diduga, mundurnya Menteri Pemuda dan Olahraga
Andi Alifian Mallarangeng dan pemecatan Ruhut Sitompul menjadi sebagian
dari akumulasi tarik-menarik kepentingan di kalangan internal. Padahal jauh
hari sebelumnya, SBY sudah mengimbau kepada kader PD yang terlibat korupsi
untuk mengundurkan diri. Sampai saat ini publik menangkap sinyal kuat itu
masih mengarah ke Anas Urbaningrum. Bagi Anas, hal ini nyaris menjadi
tuduhan sosial yang menurunkan reputasinya. Reputasi--menurut Mason dalam What Image Do You Project yang
dimuat dalam Management Review
(1993; 82)-suka-tidak suka adalah persepsi publik, melalui media, terhadap
reputasi seseorang. Secara logika, seseorang yang terus-menerus menjadi
pemberitaan negatif sudah akan terganggu kinerjanya. Gencarnya pemberitaan
media dengan sendirinya juga akan mendorong Anas Urbaningrum (AU) menarik
diri.
Secara teoretis--meski fakta di lapangan bisa
sebaliknya--hal ini juga akan berpengaruh terhadap respons jajaran
struktural di kelembagaan tempatnya selama ini ditinggikan. Minimal telah
berpotensi memerosotkan rasa hormat dan kepatuhan dari bawahan. Dengan
demikian, kepemimpinannya menjadi tidak lagi efektif. Maka, di dalam
bingkai sportivitas, pengunduran diri Menpora Andi Mallarangeng (AM) justru
layak diapresiasi. Sekaligus menjadi tamparan bagi pihak-pihak tertentu
yang selama ini masih mencoba dengan keras "menyelamatkan" posisi
AU. Semakin jelas bahwa apa pun skenario yang sudah pernah dijalankan--dan
mungkin juga masih akan dipaksakan untuk dijalankan lagi--akan kandas.
Bagaimanapun, pengunduran diri AM justru berhasil
memberikan image positif baik bagi PD maupun AM sendiri. Publik telah
menempatkan AM dengan sebuah reputasi tertentu. AM boleh saja dianggap
gagal sebagai Menpora atau Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun,
dengan sikapnya itu, AM punya reputasi yang baik karena tidak gagal sebagai
manusia Indonesia. AM telah berani mengaku salah dan bertanggung jawab.
Lalu, bagaimana selanjutnya dengan Anas Urbaningrum, yang telah tercederai
oleh dugaan-dugaan meluas, apakah akan mengambil keputusan serupa ataukah
tetap berusaha menyelamatkan reputasinya dengan segala upaya?
Partai Demokrat, sebagai partai yang di AD/ART-nya
beretika bersih, santun, dan cerdas, mempunyai struktur organisasi yang
menarik. Struktur tertinggi memang ada pada Majelis Tinggi. Secara ex-officio, Ketua Majelis Tinggi
adalah Ketua Dewan Pembina (SBY). Uniknya, Wakil Majelis Tinggi ex-officio
adalah Ketua Umum DPP (AU). Anggota Majelis Tinggi lainnya diangkat dan
ditetapkan oleh Ketua Majelis Tinggi (SBY). Demikian juga Dewan Kehormatan,
yang secara struktural sejajar dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP/AU), ketua
dan wakilnya ex officio adalah SBY dan AU. Hanya Dewan Pembina yang secara
struktural juga sejajar dengan DPP (AU)--mekanismenya tidak mensyaratkan
keberadaan AU. Artinya, apa pun keputusan strategis-yang terkait dengan
AU--akan dengan sendirinya juga melibatkan pertimbangan dari AU. Dengan
demikian, posisi AU secara struktural formal memang sangat sulit digoyang.
Sebaliknya, mekanisme melalui kongres luar biasa (KLB)
yang mempunyai wewenang sama dengan kongres (bab IX, pasal 100, angka 2)
juga masih akan melibatkan peran AU sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi
(ibid, angka 3, huruf a). Bahkan, di dalam KLB, hal itu juga sekaligus akan
menjadi pertaruhan sensitif. Sebab, ketentuan pengajuan KLB dari dua
pertiga DPD dan setengah DPC (ibid, huruf b) akan menunjukkan konfigurasi
sesungguhnya kekuatan lobi AU dan SBY.
Asumsinya, secara struktural SBY masih bisa
mengkondisikan pengaruhnya di tingkat Majelis Tinggi, DP, maupun DK. Namun
belum tentu demikian di tingkatan DPD dan DPC. Muncul kekhawatiran bahwa
jika KLB "diserahkan" mekanismenya di level bawah, bisa jadi
persyaratan dua pertiga DPD dan setengah DPC tidak akan terpenuhi. Kekhawatiran
lebih jauh adalah kemungkinan KLB malah akan bisa dipolitisasi oleh Anas
untuk menggulingkan Ketua Majelis Tinggi, DP, dan DK (SBY). Sebab, selain
kemungkinan besar Anas bisa mengkondisikan arus bawah (DPD dan DPC),
peranannya sebagai penyelenggara KLB juga akan masih bisa mempengaruhi
keputusan KLB. Jika ini yang terjadi, sinyalemen yang ada dalam soal friksi
di lingkup internal PD selama ini benar adanya: bahwa SBY terpenjara oleh
struktur internal PD.
Mekanisme "paling aman" adalah dengan menyelenggarakan KLB
hanya atas permintaan Majelis Tinggi, tanpa perlu menunggu pengajuan dari
DPD-DPC. Dengan demikian, sebagai salah satu aset bangsa, PD tidak perlu
menanggung risiko politik yang lebih besar dari pembersihan terduga
koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar