Jumat, 08 Februari 2013

Mencari Pemimpin


Mencari Pemimpin
Salahuddin Wahid  ;    Pengasuh Pesantren Tebuireng
KOMPAS, 08 Februari 2013


Pertemuan bertema ”Indonesia Mencari Pemimpin” digelar sebuah media. Pihak lain, Gerakan Indonesia Memilih, juga melakukan upaya yang sama. Lembaga Survei Indonesia melakukan survei terhadap 200 pemimpin opini dari seluruh Indonesia untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin Indonesia.

Gerakan untuk mencari tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin bangsa dan negara itu dilakukan karena nama-nama yang sudah ditampilkan sejumlah partai dianggap kurang memenuhi syarat. Tiga nama dari partai sudah beredar, yaitu Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Megawati yang baru saja menyatakan siap untuk maju lagi dalam Pemilihan Presiden 2014. Survei terhadap pemimpin opini oleh LSI menampilkan lima nama, yakni Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, dan Hidayat Nur Wahid. Di samping itu ada tokoh partai yang diduga punya minat untuk menjadi calon presiden/calon wakil presiden, yaitu Hatta Rajasa. Tentu ada nama lain yang akan muncul pada 2013 yang merupakan tahun penentuan bagi siapa pun yang ingin tampil dalam Pilpres 2014.

Kemunculan Pemimpin

Bung Karno tidak dicari. Beliau muncul sendiri secara alamiah melalui perjuangan dalam waktu panjang untuk menggugah kesadaran warga supaya berjuang menjadi bangsa dari negara merdeka. Pidato Indonesia Menggugat masih tetap menjadi bacaan anak-anak bangsa sampai kapan pun. Pidato yang mengangkat Pancasila akan tetap menjadi naskah kesejarahan kita. Pak Harto muncul secara tiba-tiba di tengah kemelut luar biasa dan di saat penuh ketidakpastian. Pada awal Oktober 1965, Pak Harto berani mengambil alih kendali, yang dipegangnya sampai Mei 1998.

Enam kali pemilihan presiden selama era Orde Baru dilakukan MPR yang sebenarnya di bawah kendali Pak Harto. Golkar tidak lain adalah kepanjangan tangan Pak Harto. MPR juga tidak mampu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali sesuai aturan UUD yang rumusannya plastis implisit. Pak Habibie adalah tokoh yang dipersiapkan Pak Harto meskipun tidak semua tokoh di sekeliling Pak Harto mendukungnya. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Ibu Mega bukan pemimpin yang dicari-cari, tetapi muncul secara alamiah karena berani menentang pemerintah Orde Baru. Gus Dur sejak lama menjadi pejuang demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi penganjur pluralisme. Masyarakat Tionghoa dan non-Islam amat merasakan pengayoman Gus Dur.

Ada perubahan besar pada era Reformasi setelah Pemilihan Presiden 2004 dilakukan secara langsung. Banyak tokoh menampilkan diri. Pada Pemilihan Presiden 2004 ada 3 mantan jenderal/mantan menteri, 3 ketua umum partai, 2 pengusaha/politisi, dan 2 tokoh ormas yang maju sebagai capres dan cawapres. Ternyata, tokoh partai dan tokoh ormas tidak bisa menandingi idola sebagian besar masyarakat saat itu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

SBY adalah pemimpin yang muncul dalam situasi yang relatif tenang dibandingkan 1945, 1965, dan 1998. Saya menduga, persiapan untuk bisa menampilkannya telah cukup lama dilakukan dengan cara yang tepat. Bukan partai yang menentukan kemenangan, tetapi SBY.

Pada 2009, persyaratan jumlah kursi untuk bisa mengajukan capres/cawapres dinaikkan menjadi 20 persen. Maka, hanya tiga pasang calon yang bertanding. Kembali SBY tampil sebagai pemenang. Pada 2014, SBY tidak bisa maju lagi sebagai capres. Karena belum ada tokoh yang dianggap ideal oleh masyarakat dan punya peluang besar untuk menang, artinya tokoh yang tampil secara alamiah, tokoh-tokoh yang populer didorong untuk maju sebagai capres/cawapres, misalnya Rhoma Irama.

Suka atau tidak suka, tampaknya salah satu syarat utama untuk maju sebagai capres adalah mempunyai dana dalam jumlah amat besar, bukan kemampuan dan karakter yang bertumpu pada integritas. Tidak heran mereka yang sudah tampil dan yang akan tampil sebagai peminat untuk menjadi capres adalah pengusaha. Mereka tidak muncul secara alamiah. Namun, fenomena Jokowi dalam Pilkada DKI menunjukkan akan ada pihak yang bersedia membantu dana kalau calonnya memberi harapan besar dalam meraih suara pemilih.

Pemimpin Seperti Apa?

Dari berbagai survei, pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang punya integritas, tegas, berani, dan pemimpin yang efektif. Tentu masih banyak lagi persyaratan lain, seperti rasa keadilan, cepat mengambil keputusan, dekat dengan rakyat, dan memihak pada rakyat. Kita juga membutuhkan pemimpin yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan bangsa baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Juga pemimpin yang memahami dan menghargai keberagaman yang merupakan fitrah bangsa Indonesia. Kita perlu pemimpin yang menghargai hak asasi manusia, menyadari bahwa RI belum menjadi negara hukum, dan harus berjuang mewujudkannya.

Kita membutuhkan kombinasi pemimpin berjenis man of action, yaitu manusia petindak atau eksekutor dengan pemimpin berjenis man of ideas, manusia pemikir. Bung Karno dulu mengangkat Ir Juanda sebagai menteri pertama yang merupakan semacam perdana menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Menteri pertama itulah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Presiden adalah kepala negara yang menunjukkan arah ke mana bangsa dan negara menuju dengan visi jangka panjang.

Pak Harto adalah man of action yang punya visi jangka panjang. Namun, Orde Baru tidak menghormati hak asasi manusia dan tidak berhasil mewujudkan negara hukum. Pendekatan kekerasan terlalu diutamakan. Terlalu lamanya Pak Harto menjadi pemimpin membuat beliau kurang peka terhadap tuntutan yang dihadapi seiring perubahan zaman. 

Pak Harto adalah presiden yang amat kontroversial, banyak pengagumnya, tetapi banyak juga yang tidak suka bahkan membenci, seperti korban tindak kekerasan Orde Baru.
Pak Habibie, meski hanya menjabat 17 bulan, mampu menyelesaikan masalah berat yang dihadapi, yakni menaikkan nilai rupiah terhadap dollar AS secara signifikan, memberi kebebasan pers, dan membuka pintu demokrasi dengan mengizinkan berdirinya partai baru untuk ikut Pemilu 1999 yang menjadi pemilu terbaik setelah 1955. Hal tersebut menunjukkan Habibie adalah eksekutor yang baik.

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI membuat laporan pertanggungjawaban Habibie tidak diterima MPR. Karena itu, Habibie tidak bersedia maju sebagai calon presiden. Ahmad Syafii Maarif bersama saya ikut mencoba membujuk Habibie supaya mau dicalonkan, tetapi tidak berhasil.

Besar sekali harapan masyarakat terhadap duet Gus Dur dan Ibu Mega. Sayang sekali, Gus Dur tidak berhasil menyelesaikan masa jabatannya, hanya bertahan selama 21 bulan, karena kurang berhasil menjaga keutuhan pemerintah sehingga terpaksa membubarkan DPR/MPR yang berakibat pada pelengserannya.

Megawati meneruskan masa jabatan Gus Dur selama 39 bulan dan belum banyak prestasi yang signifikan. Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah kombinasi antara man of ideas (SBY) dan man of action (JK). SBY adalah pemimpin yang memikirkan masalah kebijakan jangka panjang, dan JK memikirkan implementasi kebijakan itu dalam operasionalisasi sehari-hari seperti kombinasi Bung Karno dan Ir Juanda. Kita mencatat cukup banyak keberhasilan duet SBY-JK.

Saat ini belum ada tokoh dengan tingkat keterpilihan tinggi yang muncul secara alamiah. Mungkin yang punya potensi seperti itu saat ini adalah Jokowi, tetapi terlebih dahulu harus membuktikan keberhasilan sebagai Gubernur DKI. Karena itu, tokoh tersebut harus dicari dan diperkenalkan kepada publik. Kita juga sulit menemukan satu tokoh yang sekaligus pemikir dan petindak. Maka, kita bisa mencari kombinasi dari kedua jenis pemimpin di atas. Kalau yang satu pengusaha (mungkin man of action), pasangannya jangan pengusaha. Bisa tokoh yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan Indonesia. Kita jangan memilih pemimpin yang punya beban masalah masa lalu. Integritas adalah syarat yang tidak boleh diabaikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar